Sesampainya di rumah sakit, tiba-tiba Gabriel meminta dibelikan s**u. Alhasil Ansel bersama Hazel pergi ke supermarket yang tak jauh dari rumah sakit.
Edgar bertugas berjaga di ruang inap Gabriel.
Posisi Gabriel sudah berganti menjadi duduk, ia menatap Edgar serius.
"Ed, aku ingin kau berjanji padaku. Selalu lindungi Hazel di mana pun dia berada. Aku tidak ingin dia jadi korban sepertiku sekarang," ucap Gabriel serius.
Edgar hanya diam membisu, menunggu Gabriel kembali melanjutkan kalimatnya karena ia merasa Gabriel akan kembali berbicara.
"Aku akan memberikan banyak uang padamu sebagai imbalan, syaratnya cuma satu. Lindungi Hazel. Apakah kau mau melakukan itu?" lanjut Gabriel.
Beberapa detik Edgar diam akhirnya ia memilih mengangguk. "Akan saya lakukan, Tuan."
Edgar melihat Gabriel tersenyum lega. Setidaknya Gabriel sudah sedikit tenang. Ia belum bisa berjalan dan tak bisa melindungi Hazel, oleh karena itu ia membuat perjanjian dengan Edgar.
Cklek!
Pembicaraan mereka benar-benar terhenti karena Hazel dan Ansel masuk ke dalam kamar.
"Aku membeli roti kesukaanmu, kak!" seru Hazel ceria. Gadis itu langsung duduk di kursi sebelah bangsal Gabriel seraya memegang kantung plastik berisi barang belanjaan.
Hazel memberikan roti cokelat kesukaan Gabriel yang ternyata ada dijual di negara ini. Setelah itu ia mengambil cola dingin dan memberikannya pada Edgar dan Ansel.
Setelah memberikan minuman pada dua lelaki itu. Hazel kembali duduk di sebelah Gabriel. Gadis itu membukakan plastik roti dan menyuapkan ke mulut Gabriel.
"Aku membeli banyak sekali roti, agar kau cepat pulih, kak. Ansel bilang makanan tadi pagi kau tidak menghabiskan sarapanmu," ujar Hazel sendu.
Gabriel tersenyum samar, tangan pria itu berada di atas punggung tangan kiri Hazel. "Aku akan cepat pulih dan setelah itu kita pulang."
Hazel mengangguk. "Itu harus!"
Hazel kembali memasukkan potongan roti ke mulut Gabriel. Sedangkan Edgar menjadi penonton kedekatan mereka dan Ansel tampak sibuk dengan iPad ditangannya. Sepertinya sedang melakukan pekerjaan.
***
Sore ini Dokter mengatakan keadaan Gabriel sudah semakin membaik, dan di prediksi jika kemajuannya semakin pesat, Gabriel sudah bisa pulang dua hari lagi walaupun masih harus berada di atas kursi roda.
Setelah memastikan Gabriel aman dijaga oleh Ansel dan Deo di rumah sakit. Hazel mengajak Edgar pergi ke suatu tempat untuk menghirup udara segar.
Tujuannya adalah ke Zurich Botanical Garden yang tak jauh dari rumah sakit. Edgar tanpa protes tetap terus mengikuti Hazel dan mengawasi gadis itu. Taman tersebut tidak terlalu ramai pengunjung, jadi Hazel semakin merasa bebas.
Hazel duduk di salah satu kursi panjang, menatap berbagai jenis bunga dan rumput hijau yang sangat menyegarkan mata.
"Kenapa rasanya lelah sekali?" tanya Hazel dengan suara pelan. Terdapat makna tersirat di kalimat gadis itu
"Ed, apakah kau pernah kehilangan seseorang?" tanya Hazel tiba-tiba. Gadis itu juga menarik Edgar agar duduk di sebelahnya dan tidak berdiri lagi.
Edgar berdeham pelan. "Tentu pernah."
"Sejak kepergian Papa dan Mama, aku merasa sangat lelah dengan dunia. Ditambah dengan kejadian yang menimpa kak Gab," ujar Hazel sendu.
Edgar diam membisu pandangannya ia edarkan ke tanaman di taman ini dan menyimak saja kalimat yang dikeluarkan di mulut Hazel.
"Aku bahkan pernah terpikirkan akan mengakhiri hidupku karena ingin menemui Papa dan Mama," lanjut Hazel lirih.
Refleks kepala Edgar langsung menoleh menatap Hazel, ia menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apakah itu keputusan yang tepat? Untuk mengakhiri hidup?" tanya Hazel pada dirinya sendiri.
Edgar menarik napas. "Sesulit-sulitnya hidup, anda jangan pernah berpikiran untuk mengakhiri hidup. Milyaran orang yang sakit ingin meminta disembuhkan, jangan menyia-nyiakan hidup ini, Nona." Kalimat itu mengalir lancar keluar dari bibir Edgar.
Edgar sendiri tak mengerti kenapa ia bisa mengatakan hal seperti itu.
Hazel menghela napas pelan. "Kau bilang kau pernah kehilangan seseorang, siapa itu?" tanyanya, menatap kedua manik Edgar lurus.
"Ayah saya."
"Apa yang kau lakukan saat itu? Apakah kau juga berpikiran akan mengakhiri hidup?"
Edgar menggeleng. "Dendam. Justru saya merasa harus membalas mereka yang telah membunuh Ayah saya."
Mata Hazel terbelalak kaget. Jadi, Ayah Edgar juga dibunuh seperti Papanya.
"Maukah kau menceritakannya padaku?"
Edgar tersenyum miring. "Anda benar-benar ingin mendengarkan cerita saya?"
Hazel mengangguk dua kali. "Ya."
"Saat itu saya masih berusia delapan tahun. Ibu saya sudah meninggal ketika melahirkan saya, dan ayah saya lah yang merawat saya. Ketika usia saya delapan tahun, saat itu masa kejayaan perusahaan keluarga saya. Namun ada satu orang yang entah punya masalah apa, ia mengakuisisi perusahaan keluarga saya tiba-tiba. Yang saya tahu, ketika itu Ayah saya sudah tergeletak tak bernyawa di ruangan kerjanya di perusahaan. Dengan bekas cekikan di lehernya. Seseorang telah membunuhnya." Edgar bercerita tanpa ekspresi.
Hazel tertegun. Ia merasa sangat simpati pada Edgar karena ia merasakan hal yang sama pula.
"Jadi? Apa yang terjadi selanjutnya?"
Edgar tersenyum tipis. "Saya diadopsi sebuah keluarga, saya di didik dan dirawat oleh mereka. Ketika itu pula saya mencari tahu semuanya termasuk pelaku..." Edgar menjeda kalimatnya.
"Apa pelakunya ketemu?" tanya Hazel penasaran.
Edgar mengangguk. "Pelakunya sudah ketemu, dan sudah mati."
Hazel berdecak pelan. "Harusnya jangan mati dulu sebelum kau balas."
Edgar tersenyum misterius usai mendengar kalimat Hazel tersebut.
"Huft, aku berharap pelaku yang membunuh Papa dan Mama ditemukan, termasuk orang yang telah mencelakai kakakku," harap Hazel.
Edgar tidak bereaksi, ia hanya diam.
"Kau telah berjanji padaku, akan menemukan pelakunya. Aku berharap sangat banyak padamu, Ed."
Kali ini, barulah Edgar bereaksi dengan anggukan kepala. Meski ia tahu, pelaku pembunuhan itu tak akan pernah ketemu karena ialah pelakunya.
Mereka diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga lima belas menit kemudian hari sudah semakin sore dan malam akan segera tiba.
"Langit sudah mulai menggelap, Nona. Lebih baik kita meninggalkan taman sekarang," ucap Edgar.
"Baiklah, ayo kembali ke rumah sakit."
***
Pada pukul sembilan malam, Hazel dan Edgar kembali ke hotel. Kali ini Hazel sudah bisa masuk ke dalam kamarnya sendiri dan tidak merepotkan Edgar lagi.
Usai berendam membersihkan diri, Hazel menghabiskan waktu sebelum kantuk menyerang dengan membuka sosial media.
Hazel melihat begitu banyak foto yang Laila post, tentunya kedua temannya itu masih berliburan hingga kini.
Tringg!
Hazel langsung mengetuk notifikasi itu. Pesan dari Laila ia terima.
Laila.
Maaf baru menghubungimu sekarang, Hazel. Bagaimana keadaan kak Gabriel?
Dengan cepat Hazel membalas pesan sahabatnya itu.
Hazel.
Dia baik-baik saja, kemungkinan dua hari lagi sudah bisa pulang.
Laila.
Tepat sekali, kami juga besok akan pulang. Apa kau ingin menitipkan sesuatu?
Hazel menimang-nimang sejenak, memikirkan apa yang bisa ia dapatkan dari Bali sana. Nama Pie s**u terlintas di dalam benaknya.
Hazel.
Aku ingin dua dus pie s**u. Itu saja.
Laila.
Okay, aku akan membelikannya untukmu. Jaga kesehatan mu, Hazel. Jangan sampai sakit, ok?
Hazel tersenyum kecil.
Hazel.
Iya. Kau juga jaga kesehatan.
Laila.
Jantungku belakangan ini selalu berdebar, Zel.
Hazel.
Maksudmu?
Laila.
Belakangan ini hubungan ku dan Saka semakin dekat. Kan jadi berdebar.
Hazel terkekeh membaca pesan Laila.
Hazel.
Tidak lama lagi, sepertinya ada yang akan melepas status jomlo.
Laila.
Hahaha, aku menantikan itu. Jadi tinggal kau sendiri yang jomlo.
Hazel mengirimkan stiker beruang yang sedang marah.
Hazel.
Sudah dulu, aku sudah mengantuk. Bye, bye.
Tanpa menunggu balasan dari Laila, Hazel meletakkan ponselnya di nakas dan bersiap akan tidur.
***
to be continued...
jangan lupa komen dan tap love yup^^
thanks for reading!