Beberapa hari kemudian...
Siang ini mansion Austen kedatangan tamu yang tak lain adalah Jacob dan Yumna. Kedua kakak beradik itu datang dengan membawa buah-buahan dan juga brownies cokelat.
"Duduklah, aku panggil Kak Gab dulu," kata Hazel. Gadis itu melangkah menuju kamar Gabriel.
Tak lama, Hazel datang bersama Gabriel. "Mereka Jacob dan Yumna, kak. Saat liburan kemarin kami berlibur bersama."
"Jacob Similian?" Gabriel tampak mengenali Jacob.
Jacob tersenyum. "Iya, senang bertemu denganmu Tuan Gabriel. Ini adikku Yumna, pernah satu sekolah dengan Hazel."
Gabriel mengangguk paham. "Aku mengenalmu karena sering melihat potret dirimu di beberapa majalah dan internet. Panggil aku Gabriel saja, tidak usah pakai Tuan."
Jacob adalah pianis terkenal, tentunya dikenali oleh banyak orang, termasuk Gabriel.
Jacoh hanya nyengir kuda kemudian berdeham singkat. "Bagaimanamu Gabriel?" tanyanya dengan mode tidak formal seperti di awal.
"Sudah lebih baik."
"Apakah kakinya terlalu parah hingga pakai kursi roda?" Kini Yumna yang bertanya.
Hazel terkekeh. "Tidak, sebenarnya dia bisa saja menggunakan kruk. Tapi memang dasar kakakku saja yang melebih-lebihkan minta pakai kursi roda," ujarnya dengan nada mengejek.
Gabriel menatap adiknya tajam, walaupun yang dibilang Hazel benar. Tapi tidak seharusnya mengatakannya secara langsung seperti itu. Menyebalkan.
Jacob yang melihat tatapan Gabriel yang kesal pada Hazel pun berusaha mengalihkan topik. "Ah, kami membawa ini untukmu," ucap Jacob menunjuk brownies dan buah yang ada di meja.
"Terimakasih."
***
Satu jam yang lalu, Jacob dan Yumna sudah meninggalkan kediaman Austen.
Hazel tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tidak ada kegiatan yang berarti yang ingin ia lakukan. Sejak tadi pun ia hanya menghela napas dengan bosan, Gabriel yang ada di sebelahnya pun jadi jengkel.
"Kenapa menghela napas terus? Kalau bosan lakukan sesuatu," tukas Gabriel.
"Bosan, aku tidak tahu harus apa."
Gabriel memutar bola matanya malas kemudian menutup buku yang sebelumnya ia baca. "Bukankah kemarin sudah ku bilang, pelajari masalah di perusahaan dan bantu aku mengelolanya selagi aku tidak bisa," dengus pria itu.
Hazel menggaruk kepala belakangnya. "Ansel sedang tidak ada di sini, dia sudah pergi duluan tadi," kilahnya.
"Banyak alasan, jelas tadi pagi kau menolak pergi dengan dalih Jacob dan Yumna akan datang," cibir Gabriel.
"Tapi kan mereka memang datang," debat Hazel.
Gabriel mendengus jengkel. "Terserahmu lah!"
Hazel melipat kedua tangannya di depan d**a, ia melirik Gabriel yang kembali fokus pada buku bacaannya.
"Lebih baik aku melukis!" Hazel berdiri lalu pergi meninggalkan Gabriel sendirian di ruang tengah.
Hazel berjalan menuju ruangan di lantai dua yang tak lain adalah studio lukis mini miliknya. Hazel memang bisa melukis, karyanya pun sudah banyak di pajang di kamarnya dan juga kamar Gabriel. Tapi ia tidak pernah mempublikasikannya di publik, jadi orang-orang tidak tahu tentang bakat hebatnya.
Hazel meraih apron kain dan memasangnya, agar bajunya tak terkena cat. Ia menyiapkan kanvas dan juga peralatan lukis yang terletak di rak khusus peralatan.
Hazel berencana membuat laut biru dan juga langit senja.
Satu setengah jam berlalu...
Asik melukis sendiri, membuatnya lupa dengan sekitar. Hazel bahkan tidak menyadari Edgar memasuki ruangan itu dan menatap Hazel dengan tangan bersedekap. Mata Edgar mengawasi tiap pergerakan tangan gadis itu dan juga mengamati wajah cantik Hazel dari samping. Hazel masih belum menyadari kehadirannya, bahkan dari sudut ekor matanya pun tidak sadar.
"Ekhem," Edgar berdeham sekilas, menarik perhatian Hazel.
Hazel menoleh. "Sejak kapan kau di sini?"
Edgar menurunkan tangannya. "Beberapa menit yang lalu, Nona," jawabnya.
Hazel mengangguk paham. "Mendekatlah," titahnya yang langsung dilakukan oleh Edgar.
"Bagaimana menurutmu lukisanku?"
"Belum bagus, di bagian sini masih terlihat kanvas yang putih," komentarnya.
Hazel mendengus kesal. "Tentu saja bagian ujung itu belum terkena cat warna, ini belum selesai semua. Komentarmu benar-benar buruk," kesalnya.
Edgar diam membisu. Hazel kembali melanjutkan aktivitasnya, mengabaikan Edgar.
"Bisa bawakan air dingin untukku?" pinta Hazel setelah lima menit mengabaikan Edgar.
Edgar mengangguk singkat lalu pergi keluar mengambilkan air dingin.
"Terimakasih," ucap Hazel saat Edgar memberikan botol air mineral yang dingin.
"Sini saya buka." Edgar mengambil kembali botol itu untuk membuka tutupnya, atas inisiatif sendiri karena gadis itu tampak agak susah.
Hazel tersenyum dan mengambil botol yang sudah dibuka. Karena kehausan ia langsung menegak air itu hingga tandas setengah.
"Sekarang aku sudah lelah, aku lanjut lukisan ini nanti saja," pungkas Hazel.
Edgar melirik kanvas itu, memang masih belum terlalu sempurna tapi setidaknya apa yang dilukis Hazel sudah tampak jauh lebih baik.
"Kalau begitu saya permisi, Nona." Dengan membawa botol air yang diserahkan Hazel barusan, ia pergi meninggalkan studio mini itu.
Hazel menyimpan kanvasnya di sudut ruangan dekat dengan rak khusus cat.
"Aku akan menyelesaikanmu esok hari," ucap Hazel pada lukisannya.
Setelah mematikan lampu studio nya, Hazel melangkah keluar. Ia kembali ke ruang tengah hendak menjumpai Gabriel.
Hazel meringis melihat posisi Gabriel yang tidur duduk di atas kursi roda.
"Edgar!" panggil Hazel.
Tak lama setelah itu, Edgar langsung muncul dari balik dapur. "Ya?"
"Bantu pindahin kak Gab ke kamarnya." Hazel menunjuk Gabriel yang masih terlelap.
Hazel mengambil buku yang merosot turun ke paha Gabriel dan buku itu dalam keadaan terbuka lebar.
Edgar mendorong kursi roda Gabriel menuju kamar sang Tuan yang tidak jauh dari ruang tengah.
Hazel memperhatikan Gabriel yang sudah terbaring nyaman di tempat tidur. Ia melihat kantung mata hitam di bawah mata kakaknya itu dan juga wajah Gabriel sedikit tak terurus, tampak sedikit kusam walau masih terlihat tampan sedikit. "Sepertinya dia benar-benar kelelahan selama ini."
"Ed, apa kau mengerti cara mengelola perusahaan?" tanya Hazel tiba-tiba.
Edgar menggeleng. "Saya hanya bodyguard, hanya bisa berkelahi, menembak, melumpuhkan lawan, berkuda, dan yang lainnya. Masalah perusahaan saya tidak mengerti," dustanya.
Omong kosong! Sedari dulu ia sudah diajar tentang perusahaan oleh Aditama. Lagi pula jurusannya kuliah adalah management bisnis.
Hazel mendesah kecewa. "Sepertinya hanya Ansel yanh bisa ku harapkan untuk mengajariku," lirihnya.
"Anda benar-benar ingin mengambil alih perusahaan?" tanya Edgar penasaran.
Hazel mengangguk yakin. "Aku harus membantu kak Gab, selama ini ia yang mengurus semuanya. Setidaknya kami bisa saling membantu," ucapnya bijak.
"Ya anda benar. Itu terdengar jauh lebih baik."
"Selama proses aku belajar nanti, kau juga harus membantuku walau ini bukan bidangmu. Apa kau mau melakukannya?"
Edgar diam membisu untuk beberapa saat, hingga pria itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Nona. Saya akan membantu sebisa saya."
Hazel tersenyum puas, jawaban Edgar cukup membuat puas.
***
to be continued...