Pukul tujuh pagi, Hazel sudah selesai mandi dan memakai setelan formal yang ia miliki. Kemeja putih dan memakai blazer berwarna cokelat s**u dengan rok hitam selutut. Tidak lupa ia mengambil dan memakai salah satu heels koleksi miliknya yang ada di walk in closet.
Hazel akan mengantikan posisi Gabriel sebagai CEO di perusahaan keluarga mereka, dan kepuutsan itu sudah disepakati oleh para petinggi perusahaan pula.
Gadis itu mematutu dirinya di depan cermin panjang yang ada di sudut kamarnya, setelah melihat penampilannya yang rapi, ia pun mengambil tas kemudian berjalan keluar dari kamar. Lang kah Hazel terdengar menggema dan ketukan suara heels yang gadis itu gunakan terdengar jelas. Hazel menuju ruang makan.
“Kau tampak sempurna dengan setelah seperti itu,” puji Gabriel mengacungkan kedua jempolnya.
Hazel tersipu malu. “Aku sudah tahu itu,” sahutnya kemudian mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
Gabriel mendengus pelan melihat kesombongan di wajah Hazel yang tampak mengesalkan di matanya. “Duduklah, dan sarapan!” titahnya.
Hazel meletakkan tasnya di kursi sebelahnya dan ia duduk. Emma langsung menyiapkan sarapan untuk sang Nona. “Anda ingin waffle atau pancake, Nona?”
“Bacon, telur dan roti seperti yang dimakan Gabriel,” jawab Hazel yang tak ada sangkut pautnya dengan sarapan yang ditawarkan.
“Baik, Nona. Akan saya buatkan.” Emma berlalu pergi ke dapur.
Selagi menunggu Emma kembali membawakan sarapannya, Hazel meraih buah apel dan memakannya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang makan. “Di mana Edgar?” tanyanya.
“Kau bertanya padaku?” Gabriel bertanya balik.
“Apa ada manusia lain selain aku dan dirimu di sini?” pungkas Hazel jengkel.
“Mungkin dia lagi bersiap-siap,” sahut Gabriel sekenanya.
Hazel mengangguk paham. “Omong-omong, sampai kapan aku akan bekerja menggantikanmu, kak?”
“Sampai aku bisa berjalan dengan sempurna lagi.”
“Kalau kakimu sudah jauh lebih baik dan seandainya masih tetap memakai kruk untuk berjaga-jaga, apa tidak langsung bekerja saja?”
Gabriel menggeleng tidak setuju. “Ketampananku akan berkurang jika memakai kruk saat ke kantor. Pesonaku langsung jatuh di hadapan karyawan dan gadis cantik,” jawabnya.
“Dasar sinting,” umpat Hazel. Tingkat kepercayaan Gabriel memang sangat tinggi, membuat siapapun merasa geli mendengar kenarsisan-nya.
“Aku mendengarmu,” tegur Gabriel. “Pokoknya aku akan memutuskan kembali kapan nantinya. Jadi selagi ada waktu, kau pelajari semuanya, aku ingin kau juga mandiri. Paham?”
Mau tidak mau Hazel menganggukkan kepalanya. “Paham.”
Emma datang membawa sarapan untuk Hazel. Setelah itu ia kembali ke dapur. Hazel langsung menyantap sarapannya dengan lahap.
“Selamat pagi, Tuan, Nona.” Edgar tiba-tiba datang, pakaian lelaki itu memekai kemeja putih polos dengan celana hitam panjang, tanpa memakai jas formal seperti bodyguard kebanyakan.
“Kau dari mana saja?” tanya Gabriel.
“Saya memanaskan mobil, Tuan.”
Gabriel mengangguk paham. “Lebih baik sekarang kau sarapan juga.”
“Saya akan sarapan di belakang bersama pelayan lain,” tolak Edgar.
“Sudah, di sini saja!” seru Gabriel menunjuk kursi yang kosong.
Mau tidak mau Edgar duduk di sana, ia mengambil sarapan yang sudah tersaji saja tanpa merepotkan pelayan lain.
***
Edgar menjadi sopir sekaligus bodyguard untuk Hazel. Kini mobilnya sudah terparkir di parkiran khusus para petinggi perusahaan.
Hazel turun setelah pintu dibukakan oleh Edgar. Keduanya berjalan memasuki lobby perusahaan. Beberapa karyawan tampak menyapa Hazel dan menyambut kehadiran gadis itu. hazel sebenarnya cukup dikenal oleh karyawan karena beberapa kali sudah pernah keluar masuk perusahaan saat Cole Austen masih hidup.
Tak sedikit pula karyawan yang curi-curi pandang ke arah Edgar yang berjalan satu langkah di belakang Hazel. Dengan berbisik-bisik mereka membicarakan rupa Edgar dan juga tubuhnya yang kekar ketika memakai kemeja.
Hazel langsung masuk ke dalam lift, ia kira Ansel akan menyambutnya di lantai bawah. Tapi ternyata sahabat kakaknya itu tidak ada di lantai bawah dan kemungkinan pria itu sudah berada di lantai atas.
Sesampainya di lantai sembilan, ia langsung menuju ruangan CEO.
“Akhirnya kau datang juga,” sambut Ansel berdiri dari sofa.
“Bagaimana dengan ruangannya? Aku sudah menambahkan beberapa camilan manis di kulkas agar jaga-jaga untuk camilanmu di kala sibuk,” kata Ansel menunjuk kulkas mini di sudut ruangan dekat rak buku.
“Terimakasih.”
Hazel duduk di kursi besar yang sebelumnya ditempati oleh Gabriel. Dahinya mengernyit melihat papan nama panjang yang dituliskan dengan namanya. “Kenapa namaku? Sebelumnya ini ruangan Kak Gab bukan?” tanyanya heran.
Ansel duduk santai di sofa. “Tentu saja, sekarang kau yang memimpin. Jadi nama Gabriel di singkirkan sementara,” jawabnya enteng.
“Ah begitu. Aku mengerti. Jadi, apa tugasku?”
“Ed, kau bisa duduk. Tidak usah berdiri di sudut seperti itu,” ujar Ansel sebelum menjawab pertanyaan dari Hazel.
Edgar melirik ke arah Hazel yang juga menatapnya, seolah ia meminta izin pada Hazel. “Duduklah, jangan segan begitu,” kata Hazel. Edgar mengangguk.
Maka Edgar berjalan mendekati sofa lalu duduk di sana dengan santai.
Ansel mulai membuka beberapa file dokumen di atas meja Hazel. “Ini yang harus kau baca dan pahami. Jam satu siang nanti ada rapat mengenai laporan bulanan, seharusnya ini tugas Gabriel. Tapi yah, kau yang harus menghadiri rapatnya.”
Hazel mengangguk patuh. “Jadi ini bahan yang akan di bicarakan saat rapat nanti?”
Ansel menjentikkan jarinya. “Tepat sekali. Ah, iya sepertinya nanti kau harus berkenalan dengan wakil direktur dan juga manager.”’
“Siapa nama mereka?”
“Wakil Direktur Antonio, dan manager Sandra.”
“Perempuan? Aku kira keduanya laki-laki,” komentar Hazel.
“Yup, asal kau tahu, Sandra itu tergila-gila dengan Antonio. Sedangkan Antonio itu adalah playboy cap kuda, jadi kau harus hati-hati dengan mereka jika di luar kantor. Bisa saja Antonio mendekatimu lalu Sandra terbakar api cemburu. Bisa-bisa kacau,” celoteh Ansel yang seperti ibu-ibu komplek penggosip.
“Aku akan menjaga sikapku juga dan tidak menanggapi mereka di luar perusahaan.”
“Itu bagus. Kalau begitu aku kembali ke ruanganku dulu. Kalau ada yang membingungkan langsung tanyakan saja padaku.”
“Okay, aku mengerti.”
Setelah kepergian Ansel, Hazel mulai menekuri seluruh berkas yang ada di atas mejanya. Satu bersatu map ia baca dan pahami sebisa mungkin.
***
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, waktunya jam istirahat. Hazel langsung menutup map laporan di atas meja. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi, otak dan pikirannya sudah lelah.
“Ayo, Ed! Kita makan siang!” ajak Hazel.
Edgar yang sejak tadi membaca buku tentang bisnis pun menutup bukunya lalu berdiri. “Anda ingin makan di mana?”
“Di depan ada restoran sushi, kita makan di sana saja. Ah, iya, kita harus memanggil Ansel untuk ikut serta.”
Edgar mengangguk paham. “Saya akan memanggilnya.”
Pria itu langsung meninggalkan ruangan Hazel, sedangkan Hazel sebelum pergi ia merapikan mejanya yang sedikit berantakan lalu meraih ponsel dan tasnya.