Chapter 40

1128 Kata
Setelah mencurahkan isi hati dan pikirannya, Edgar beristirahat di kamarnya. Edgar benar-benar mabuk karena minum satu botol wine. Namun di sore hari, tiba-tiba Aditama datang ke penthouse nya. Dedrick menyambut kedatangan Aditama dengan sedikit panik. Ia langsung menyajikan wine kesukaan Aditama dan membawakan snack ringan pula. "Saya akan panggil Tuan Edgar dulu, Tuan," ucap Dedrick menunduk sopan. Aditama menganggukkan kepalanya dan mengibas-ngibaskan tangannya di udara. Dedrick berjalan cepat menaiki lantai dua dan mengetuk pintu kamar Edgar. Tok... Tok... Tok... "Tuan Edgar, Tuan besar ada di sini. Keluarlah, Tuan," panggil Dedrick. Hening. Tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya mau tak mau, Dedrick membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Dedrick berjalan masuk dan mendapati Edgar sedang tidur di ranjangnya. Dedrick menggoyangkan tangan Edgar beberapa kali. "Tuan bangun. Ada Tuan besar di luar." Lima menit ia membangunkan Edgar, tapi Tuan nya tak kunjung bangun. Dedrick mengambil air minum di nakas dan mengambilnya sedikit untuk dipercikkan di wajah Edgar. Berhasil. Perlahan kedua kelopak mata Edgar terbuka. "Ada apa?" tanya Edgar dengan suara serak. "Tuan Aditama datang, Tuan." Mata Edgar membola, rasa kantuk dan letih yang ia rasakan seketika sirna. Ia berlari menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah wajahnya terlihat sedikit lebih cerah, barulah Edgar keluar. Dedrick mengikuti langkah sang Tuan dari belakang. "Ada apa, Pa?" Aditama yang sedang menyesap wine nya pun menoleh. "Kenapa lama sekali?" "Maaf, Pa. Aku ketiduran, dan sangat lelah." Edgar duduk di sofa single. Sedangkan Dedrick berbelok menuju dapur. Ia tidak akan menggangu interaksi Edgar dan Aditama. "Aku mendengar kabar pertunangan Hazel dan kekasihnya. Sebenarnya apa yang selama ini kau lakukan, Ed? Kenapa pergerakan mu lambat sekali?" Edgar menghela napas panjang. "Bukankah sudah aku bilang sabar dulu, Pa? Aku sudah memilih rencana bagus." "Rencana bagus apanya? Waktu itu kau mengatakan akan membuat Hazel jatuh cinta padamu. Tapi sekarang bahkan gadis itu mencintai pria lain, bukan dirimu," pungkas Aditama geram. "Rencanaku berubah, Pa. Aku akan menghabisinya di hari pernikahannya nanti. Sebentar lagi," ucap Edgar lugas. Entah dari mana rencana mengerikan itu tiba-tiba terpikirkan olehnya. Rencana itu sangat spontan. Raut wajah Aditama tampak tertarik dengan rencana baru Edgar. "Benarkah kau akan melakukan hal itu?" "Menghancurkan seseorang di hari pernikahannya itu adalah sesuatu yang sangat wow, Pa. Itu adalah rencana terbagus ku. Bukan hanya Keluarga Austen yang lenyap, keluarga Jacob pun harus menanggung malu karena pernikahan yang tak jadi terlaksana." "Kapan pernikahan mereka?" Edgar diam, ia tidak tahu. "Sekitar tiga bulan lagi," jawab Edgar ngasal. "Tiga bulan, ya? Kenapa lama sekali?" "Seharusnya bisa dua bulan lagi, tapi ternyata Hazel menginginkan sebuah acara pertunangan. Jadi yah, tunangan dulu baru menikah," jawab Edgar penuh dusta. Semua jawaban ini sembilan puluh persen dusta. "Kau yakin tidak akan mengecewakan Papamu ini, Ed?" Aditama menatap putra angkatnya dengan serius. Ia sungguh sangat berharap Edgar menghancurkan keluarga Austen. Tidak ada kegagalan, itulah yang ia inginkan. Aditama menyuruh Edgar melakukan hal itu karena tidak ingin mengotori tangannya sendiri. "Apa selama ini aku pernah mengecewakan Papa?" Edgar bertanya balik. Aditama tersenyum dan menggeleng. "Aku yakin kali ini kau tidak akan mengecewakan ku, seperti biasanya. Baiklah, aku akan menunggu permainanmu." Edgar tersenyum, diam-diam ia menghela napas lega. "Baik, Pa." Obrolan keduanya didengarkan oleh Dedrick yang menguping di dapur. Kepala Dedrick menggeleng takjub dengan rencana spontan dari Edgar. Pertanyaannya hanya satu, apakah Edgar benar-benar bisa menghabiskan Hazel nanti? *** Malam ini Hazel makan malam bersama keluarga Jacob. Hanya keluarga inti lelaki itu saja. Sejak siang Hazel memang sudah berada di rumah Jacob. Ia juga membantu Lilian menyiapkan menu makan malam mereka nanti. Hitung-hitung ia mencari nilai tambah di mata calon mertuanya itu. "Gabriel tidak datang, ya?" tanya Andrew, Papa Edgar. Hazel menggeleng. "Maaf, kaki kak Gabriel masih dalam tahap pemulihan. Dan karena kondisi itu ia tak ingin pergi ke manapun." Lilian dan Andrew mengangguk paham. "Oh, i see," sahut Andrew. "Ayo dimakan, jangan cuma bicara terus," kata Lilian. Hazel mengangguk, ia mulai memakan menu makan malamnya. "Bagaimana tanggal pertunangannya? Apa sudah ditentukan?" tanya Andrew. "Saran Mommy lebih cepat lebih baik," celetuk Lilian. "Dua minggu lagi, Mom," jawab Jacob. Lilian terpekik senang. "Ternyata sudah fix. Undangannya bagaimana? Apa kalian membutuhkan Mommy juga untuk persiapannya?" "Tidak usah, Mom. Kami sudah mulai mengangsurnya. Mommy tidak perlu repot-repot," jawab Jacob. Lilian mendesah kecewa, padahal ia ingin membantu menyiapkan pertunangan putranya ini. "Untuk undangan lusa sudah selesai, mungkin Mommy bisa memberikan undangan itu pada teman-teman Mommy," ujar Hazel cepat ketika menyadari raut wajah kecewa Lilian. "Benarkah? Baiklah, nanti Mommy akan menyebarkan undangan setengahnya." Wanita paruh baya itu tampak senang karena bisa ikut andil juga dalam persiapan pertunangan. Obrolan mereka terus berlanjut tentang persiapan pertunangan Hazel. *** Dilain tempat... "Apa semua telah berkumpul?" Seorang wanita menatap anggotanya satu persatu dengan serius. "Sudah, Nona Eliana," jawab ke lima pria secara serentak. Eliana tersenyum. "Bagus. Aku akan mulai rapatnya." Eliana mulai menjelaskan strategi yang akan mereka lakukan. Target pertama, adalah Jacob. Seharusnya Eliana memang melakukan rencana ini untuk Hazel, tapi semua harus diubah saat mendengar kabar pertunangan Hazel dan Jacob yang akan diadakan sebentar lagi. Sekitar dua jam mereka berdiskusi. Akhirnya keputusan telah ditentukan. "Aku ingin semuanya beres, tidak ada kecacatan atau kegagalan apapun. Kalian paham?" "Paham, Nona!" Seringaian di bibir Eliana semakin terbentuk. "Bagus." *** Gabriel mengetuk-ngetukkan tangannya di meja kerjanya. Ansel sudah datang sejak beberapa menit yang lalu. Sahabatnya itu sedang menikmati alkohol yang diambilnya di gudang penyimpanan. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Ansel merasa geram dengan tingkah Gabriel yang sok misterius dalam berpikir. "Aku hanya mencemaskan hari pertunangan Hazel," kata Gabriel. "Pertunangannya masih lama by the way," sahut Ansel acuh tak acuh. "Bukan karena itu. Aku khawatir dengan musuh juga, apakah ia akan menghancurkan hari bahagia Hazel itu?" Ansel mengelus dagunya, tampak berpikir. "Musuh, ya? Aku rasa mereka tak akan melakukan apapun." "Kenapa kau bisa seyakin itu?" "Penjagaan ketika pertunangan Hazel akan diperketat, tamu yang bisa masuk tentunya diperiksa lebih dulu." "Benar juga sih. Tapi tetap saja, bagaimana kalau ada mata-mata dan penyusup?" tanya Gabriel overthinking. Ansel berdecak malas. Ia membukakan kaleng bir lalu menyodorkannya pada Gabriel. "Jangan berpikiran yang tidak-tidak, lebih baik kau minum ini saja," tukas Ansel. "Aku harap tidak hal buruk yang terjadi. Bagaimana pun aku juga trauma, kecelakaanku di Swiss beberapa bulan lalu sangat mencurigakan dan juga pelakunya belum ditemukan hingga sekarang. Aku tidak mau hal buruk menimpa Hazel, hanya dia satu-satunya harta keluarga yang ku miliki sekarang," ungkap Gabriel sendu. "Semua akan baik-baik saja. Aku akan membantu di acara itu, dan memperketat pengamanannya. Tidak perlu khawatir." Gabriel tersenyum. "Terimakasih sudah membantuku dalam banyak hal, Ansel." "Itulah gunanya sahabat." Ansel menyahut santai. *** to be continued... cape bgt nulis kebut²an giniಥ‿ಥಥ‿ಥ jangan lupa tap love yak. sebentar lagi puncak nya nihh. Stay tune sekitar 6 part lagi!! aku bakal up sampai tengah malam nih kayaknya huhuuu TwT
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN