Edgar melajukan mobilnya menuju mansion keluarga Jacob. Tentunya ia dituntun dengan GPS chips yang ia sematkan di tas Hazel tadi.
Ketika ia tiba di depan mansion, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Edgar menurunkan kaca mobilnya, tatapan matanya terlempar keluar, menatap pagar yang menjulang tinggi ke atas dan tertutup rapat.
Bagaimana ia bisa masuk kalau pagarnya ditutup rapat seperti ini?
***
Hazel melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah jam sebelas kurang lima menit. Ini sudah sangat malam, berbagai chat dari Gabriel pun sudah ia dapatkan beberapa menit lalu.
Acara ulang tahun Yumna sudah selesai sejak satu setengah jam yang lalu. Namun Hazel ditahan di sini, berkumpul bersama keluarga besar Jacob. Ia memang disambut baik di keluarga ini, bahkan tak butuh waktu lama untuk dirinya mengakrabkan diri di keluarga Jacob ini.
Hazel menarik pelan lengan baju Jacob, ia mendekatkan bibirnya di telinga pria itu. "Jacob, aku mau pulang sekarang," pinta Hazel dengan berbisik.
Jacob menoleh, kemudian beralih menatap jam di dinding. Matanya membulat menyadari sudah pukul sebelas malam. Pria itu lantas mengangguk, mengiyakan permintaan Hazel.
"Pa, Ma, sudah sangat larut. Aku harus mengantar Hazel pulang," izin Jacob.
Lilian memekik heboh. "Ya ampun, kita berbincang tak kenal waktu. Sudah sangat larut, bagaimana kalau kamu menginap di sini saja, Hazel?" tawar wanita itu.
Hazel menggigit bibir bawahnya, ia menggeleng dengan sopan. "Maaf, Mom. Kak Gabriel sendiri di rumah, aku harus pulang."
Terlihat raut wajah kecewa Lilian. "Baiklah. Maaf ya, kami mengajakmu mengobrol lupa waktu," sesalnya.
Hazel nyengir pelan. "Tidak apa, Mom. Justru aku senang, karena aku merasa sangat disambut di keluarga ini."
Lilian tersenyum lebar mendengar penuturan Hazel, ia mengangguk setuju. "Sebentar lagi, kita pasti akan menjadi keluarga sesungguhnya."
"Amin!"
"Amin! Semoga cepat sebar undangan."
Mereka yang menyimak segera mengaminkan ucapan Lilian.
Setelah berpamitan, Jacob menuntun Hazel menuju pintu luar. Ia membukakan pintu untuk Hazel, dan setelahnya barulah ia masuk.
Perlahan, mobil Jacob keluar dari halaman. Pagar besar yang tinggi itu dibuka.
Tiba-tiba ada yang mencegat mobil Jacob. Keduanya terkejut menyadari itu adalah Edgar.
Hazel buru-buru melepaskan seatbelt lalu turun. "Apa yang kau lakukan di sini, Ed?" tanyanya heran.
"Menjemput anda, sudah sangat larut malam, Nona. Tuan Gabriel mencemaskan anda," jawab Edgar.
Hazel mengangguk paham. Gadis itu kembali menghampiri mobil Jacob dan membuka pintunya.
"Maaf, Jac, sepertinya aku pulang dengan Edgar," ujarnya dengan nada tak enak.
"Bersamaku saja, Edgar bisa dengan mobilnya sendiri," sahut Jacob bersikeras ingin mengantar Hazel.
Hazel menggeleng. "Tidak. Ini sudah larut, lebih baik kau istirahat saja. Terimakasih sudah mengundangku, sampai jumpa besok!"
Jacob menghela napas. "Baiklah. Hati-hati, besok aku akan mengantarmu ke kantor dan sebelum itu kita sarapan bersama."
Hazel tersenyum dan mengangguk. "Okay."
Gadis itu berbalik dan menghampiri sang bodyguard. "Ayo pulang."
Edgar mengangguk singkat dan melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Mobil melaju membelah jalanan raya yang tidak padat. Hazel menatap pinggiran jalan yang tidak terlalu ramai. "Ed, berhenti di cefe itu, aku mau beli sesuatu!" Hazel menepuk bahu Edgar berkali-kali karena refleks.
Dengan spontan Edgar membelokkan mobilnya ke kiri, untung saja di belakang tidak ada kendaraan yang lain.
"Tadi, Yumna bilang waffle es di sini bikin nagih," ujar Hazel tanpa diminta.
Meski kesal dengan kelakuan Hazel barusan yang bisa saja membahayakan mereka berdua, Edgar mengangguk singkat. "Belilah sekarang, Nona."
"Kau juga mau?" tawar Hazel.
Edgar menggeleng. "Saya harus menyetir, Nona."
Gadis itu menjentikkan jarinya. "Gampang itu." Tanpa menunggu balasan Edgar, Hazel turun dan masuk ke cafe itu.
Hazel yang memang pecinta es krim, tidak heran langsung penasaran dengan rasa es krim waffle yang tadi di rekomendasikan oleh Yumna. Untung saja mereka melewati cafe itu, jadi tidak perlu menunggu esok hari untuk mencicipinya.
Lima belas menit kemudian Hazel kembali dengan membawa dua es krim yang cone nya adalah waffle. Es yang dipesan Hazel rasanya sama.
Setelah memastikan Hazel duduk di sebelahnya dan pintu sudah tertutup rapat. Edgar melajukan mobilnya membelah jalanan.
Hazel mencoba es-nya lebih dahulu lalu memekik heboh. "Yumna tidak bohong, ini benar-benar manis dan lezat."
"Cobalah." Hazel menyodorkan es satunya lagi ke mulut Edgar.
Edgar berdehem pelan dan membuka mulutnya. "Semua rasa es krim sama saja, Nona."
Hazel mencibir. "Kau tidak pandai menilainya kalau begitu," dengusnya.
Hazel kembali menikmati es krimnya di tangan kiri, sedangkan es di tangan kanannya masih ia sodorkan pada mulut Edgar.
Sekali lagi Edgar tiba-tiba berdehem, dengan tangan kirinya, pria itu mengambil es di tangan Hazel. "Saya makan sendiri."
Hazel mengangkat bahunya acuh, membiarkan Edgar menikmati es-nya sendiri sambil menyetir.
"Harusnya aku membelikan untuk kak Gab juga tadi," gumam Hazel merasa menyesal.
"Sepertinya Tuan Gabriel sudah tidur."
"Oh ... Begitu. Baguslah." Gadis itu kembali menikmati es krimnya dengan pandangan lurus ke depan.
***
Pagi ini, Hazel bangun sangat lama. Akibat tidur pada pukul dua belas malam.
Saat turun ke lantai bawah menuju dapur, gadis itu dikejutkan dengan kehadiran Jacob di dapurnya yang bersambung dengan ruang makan. Gabriel pun sudah duduk di kursinya, menikmati sarapan paginya.
"Kamu sudah datang?" ucapnya basa-basi.
Jacob mengangguk. "Hari ini sampai sore, aku akan menemanimu."
Hazel memiringkan kepalanya ke kiri. "Memangnya kamu tidak bekerja?"
Jacob mengangkat bahunya santai. "Pekerjaanku tidak banyak."
"Di mana Edgar?" tanya Hazel menyadari Edgar tidak ada di sekitar.
"Hari ini dia full izin, katanya ada suatu urusan. Makanya aku akan menemanimu seharian," jawab Jacob.
Hazel terdiam, entah mengapa ia merasa sedikit kecewa. Edgar pergi tanpa izin padanya.
"Duduklah, kita sarapan. Aku memutuskan untuk membeli sarapannya dan membawanya ke sini," kata Jacob.
Hazel mengangguk patuh kemudian duduk di kursi sebelah Gabriel.
Mac and cheese, dan juga s**u cokelat sudah tersaji dihadapan Hazel.
"Terimakasih, Jac."
Jacob mengangguk. "Selamat makan."
Interaksi keduanya diamati oleh Gabriel, berbagai pikiran muncul di pikiran pria itu. Hingga akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat naik.
Jacob dan Hazel, mereka tampak serasi dan baik-baik saja dengan hubungan mereka. Gabriel berharap keduanya bisa serius hingga ke jenjang pernikahan.
Bagaimana pun juga, Hazel harus bahagia. Dan Jacob mungkin adalah orang yang tepat untuk menjaga dan menyayangi Hazel. Karena Gabriel sendiri, tidak bisa mengawasi Hazel dalam dua puluh empat jam.
"Kalian terlihat sangat cocok. Bagaimana kalau kalian menikah?" Gabriel tak bisa menahan dirinya untuk bertanya itu pada Hazel dan Jacob.
***
to be continued...