Chapter 30

1151 Kata
Sepulangnya dari kantor, Hazel dan Edgar pergi berbelanja menuju supermarket, membeli bahan-bahan makanan dan juga camilan lainnya. Emma dan Julia di hari yang sama memutuskan izin libur karena ada beberapa masalah di keluarga mereka. Ayah dari Julia meninggal dunia, oleh karena itu ia libur beberapa hari. Sedangkan Emma, pergi merawat Ibunya yang tiba-tiba masuk rumah sakit karena penyakitnya yang kambuh. Tidak ada yang memasak untuk mereka, dan terpaksa Hazel mengurus rumah, termasuk memasak untuk mereka semua. Edgar mendorong trolley dan berjalan di belakang Hazel yang sibuk-sibuknya melihat sekitar. "Makan malam nanti apa, ya?" tanya Hazel bingung sendiri. "Kau ada saran, Ed?" "Apa saja yang dimasak, pasti akan makan oleh Tuan Gabriel," sahut Edgar enteng. Hazel mengangguk setuju. Gadis itu berjalan menuju etalase pendingin yang tersedia berbagai jenis daging. Lantas ia mengambil dua kotak daging sapi dan juga satu kotak yang berisi daging ayam full. Setelah memilih daging, ia beralih menuju tempat bumbu-bumbu. Walaupun Hazel dibesarkan di lingkungan berada, semuanya telah terpenuhi, tak membuat Hazel tidak tahu apa-apa saja bahan dapur. Mamanya dulu selalu mengajaknya masak dan mengenalkan berbagai jenis bumbu masakan dan juga mengajarkan beberapa resep. Hazel membaca list belanjaannya di kertas, untuk bahan makanan pokok semua telah masuk ke keranjang. "Kira-kira apalagi, ya?" "Menurut saya sudah lengkap semua," sahut Edgar. "Baiklah, kita ke rak-rak camilan ringan." Hazel melangkah menjauhi tempat bahan-bahan masakan. Ia menuju rak makanan ringan dan memasukkan beberapa snack, sereal dan biskuit ke keranjang. "Ada sesuatu yang kau inginkan, Ed?" tanya Hazel tanpa menatap Edgar. Gadis itu sibuk memilih rasa mie instan. "Tidak ada. Em, stok bir kaleng di kulkas sudah habis. Tuan Gabriel berpesan untuk membelinya," ungkap Edgar. "Sudah ku duga dia berpesan padamu untuk membeli bir kaleng," dengus Hazel. Selesai memilih makanan ringan dan instan, Hazel berjalan menuju lemari pendingin. Ia membeli dua s**u kotak dan juga satu ember es krim. "Untuk birnya, kau ambil saja sendiri ya, Ed. Di situ kotaknya," suruh Hazel. Edgar mengangguk. Pria itu mengambil satu dus yang berisi dua puluh empat kaleng bir. Hazel menepuk dahinya melihat keranjang yang sangat penuh. "Akan ku ambil keranjang baru lagi, kau tunggu di sini." Mau tak mau Edgar mengangguk, ia meletakkan dus bir itu di lantai karena keranjang sebelumnya tidak ada ruang lagi. Beberapa menit kemudian Hazel kembali dengan keranjang dorong. Hazel menambah stok minuman dingin setelah Edgar memindahkan dus bir ke keranjang. "Sudah semua?" tanya Hazel. Edgar mengangguk. "Sudah, Nona." Hazel dan Edgar sama-sama mendorong trolley tersebut menuju kasir. Setelah selesai membayar, Edgar mendorong trolley yang berisi plastik belanjaan dan menuju parkiran. Pria itu memasukkan seluruh barang belanjaan ke dalam bagasi, setelahnya ia meletakkan trolley di tempat khusus trolley di luar supermarket. "Langsung pulang, Nona?" "Iya." *** Setelah membersihkan badan, Hazel berjalan menuju dapur. Belanjaan tadi sudah selesai disusun oleh Edgar di lemari penyimpanan dan juga di kulkas. Sekarang waktunya ia masak. Hazel akan memasak Chicken and chips. Hidangan kesukaannya dan Gabriel ketika dimasakkan oleh Sophia. Seluruh bahan yang butuhkan telah Hazel sediakan di atas meja. Hazel mulai memotong ayam dan mengambil bagian d**a dan sayapnya saja. Di temani oleh instrumental piano milik Jacob, Hazel terlihat enjoy ketika memasak. Tanpa gadis itu sadari, Edgar berdiri di pintu dapur dan mengintip. Melihat bagaimana riang dan santainya Hazel ketika memasak. Senandung-senandung kecil pun keluar dari bibir pink gadis itu. Krek! Edgar terkesiap, buru-buru ia menyingkir ketika tidak sengaja mendorong pintu dan menimbulkan suara. Ia bersembunyi agar Hazel tidak menyadari keberadaannya. “Kak Gab?” Pertanyaan penuh keheranan itu keluar dari bibir Hazel, tentunya gadis itu sadar ada seseorang di balik pintu dapur tadi. “Siapapun dirimu, keluarlah. Aku mendengar suara pintu di dorong tadi,” tukas Hazel datar. Edgar berdehem kemudian masuk ke dalam dapur. Hazel bernapas lega ternyata itu adalah Edgar, pikirannya tadi sudah macam-macam mengira yang membuat pintu terdorong adalah sosok hantu. “Oh, ternyata kau.” “Maaf mengganggu,” ringis Edgar. “Tidak apa, aku hanya terkejut sedikit,” kata Hazel kemudian melanjutkan kegiatannya melumuri ayam tersebut dengan bumbu. Edgar yang merasa canggung dengan situasi ini pun menggaruk kepala yang tak gatal lalu berjalan menuju kulkas, mengambil air dingin. “Apa yang anda buat?” tanya Edgar usai meneguk air dingin itu. “Chicken and chips, kau suka tidak?” Edgar tertegun. “Kenapa bertanya pada saya?” Hazel menatap Edgar dengan gemas. “Karena nanti kau kan juga ikut makan. Gimana, sih? Suka atau tidak? Jujur aku kan tidak tahu apa makanan favoritmu, takutnya kau tidak suka dengan ini,” celoteh gadis itu. “Saya suka,” jawab Edgar singkat. “Baguslah kalau begitu, di rumah ini Cuma ada kita bertiga. Jadi aku akan masak tiga porsi saja.” “Tukang kebun? Biasanya dia juga makan malam di sini ‘kan?” tanya Edgar heran. “Pak Gio sudah pulang, entah kenapa dia pulang lebih awal. Biasanya pulangnya malam,” sahut Hazel. “Satpam?” “Tadi aku sempat bertanya padanya, ternyata dia sudah membeli makanan di luar,” jawab Hazel. “Sudah jangan banyak tanya lagi, aku sibuk,” lanjutnya. Edgar mengunci rapat mulutnya, matanya mengamati sang Nona yang sibuk memasak. Tak bisa Edgar pungkiri, aroma dari bumbu yang digunakan Hazel tercium harum. Ayam yang telah dibumbui tersebut perlahan di goreng oleh Hazel, semakin membuat perutnya lapar. “Tolong ambilkan piring besar di lemari, Ed,” titah Hazel. Ia sedang mengangkat ayam yang telah di goreng dan meniriskannya dari minyak. Edgar berdiri dan mengambilkan benda yang dibutuhkan Hazel dan menyerahkannya. “Ada lagi, Nona?” “Supaya cepat selesai, lebih bagus kau bantu aku goreng kentangnya,” celetuk gadis itu. Kedua manik Edgar menatap kentang goreng yang telah di potong-potong tipis yang berada di mangkuk. Ia meraih mangkuk itu dan mulai menuangkan minyak panas ke dalam wajan. Sesuai dengan perintah, pria itu menggoreng kentang tersebut. “Ed, sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Apa kau akan mengambil cuti seperti yang lain?” tanya Hazel tiba-tiba. Edgar melirik Hazel sekilas, dahinya mengerut dalam. Apakah pekerja di sini mendapatkan cuti musim dingin? “Memangnya boleh?” tanya pria itu ragu. “Ya, setiap musim pekerja di sini memang diberi cuti seminggu. Kak Gabriel tidak mengatakannya padamu saat awal akan bekerja?” kepala Hazel miring ke kiri, menatap Edgar. “Saya tidak tahu.” “Mungkin Kak Gab lupa memberitahunya. Jadi, sekarang kau sudah tahu. Apa kau juga akan cuti?” “Entahlah, Nona. Tugas saya kan harus berada di sisi anda terus, apa bisa cuti?” Edgar bertanya balik. “Tidak perlu terlalu menjagaku, lagia pula apa yang dikhawatirkan Gabriel tidak benar-benar terjadi. Buktinya sampai sekarang tidak ada yang mencelakaiku,” sahut Hazel enteng. ‘Karena yang akan mencelakai anda itu saya,’ balas Edgar dalam hati. “Lihat nanti, Nona. Lagi pula ke mana saya akan pulang?” alibi Edgar. Hazel menghela napas pelan. Ia baru ingat bahwa Edgar pun tidak memiliki tempat pulang alias keluarga. “Maaf, seharusnya aku tidak menanyakan ini.” Sesalnya. “Tidak apa, Nona.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN