Sudah terhitung tiga minggu sejak pertunangan Hazel dan Jacob. Keduanya semakin mesra dan saling berdekatan.
Seperti pagi ini, Hazel berkunjung ke mansion keluarga Jacob dengan membawa kue buatannya dan Emma. Sebenarnya tampilan kue ini kurang menarik, lebih cream dan juga cokelatnya sedikit berantakan. Ini baru pertama kalinya Hazel membuat cake. Ia harap Jacob akan memaklumi hasil usahanya.
"Ya ampun Hazel, kamu apa kabar?" sambut Lilian ketika membuka pintu utama.
"Baik, Mom. Mommy gimana kabarnya?"
Senyum Lilian selalu lebar ketika berjumpa dengan Hazel. "Mommy juga baik sayang, bahkan sangat baik. Ayo masuk!"
Lilian menyelipkan tangannya di lengan kiri Hazel, membawanya masuk dan duduk di ruang keluarga.
"Aku buatin ini untuk Mommy dan keluarga. Maaf kalau hasilnya kurang memuaskan, Mom." Hazel menyerahkan box berisi kue cokelat yang ia buat.
"Kamu membuatnya sendiri?" tanya Lilian yang diangguki oleh Hazel.
"Aku baru belajar buat kue, Mom," aku Hazel.
"Kue buatan tangan orang tersayang sudah pasti sangat memuaskan, Hazel. Jangan berkecil hati," ujar Lilian.
Wanita paruh baya itu membuka box kue tersebut. Tanpa melunturkan senyumnya dia berkata, "Ini sudah bagus lho, Sayang. Untum skills orang yang baru pertama kali membuatnya, ini sudah sangat bagus."
"Lala, tolong ambilkan piring kecil, pisau dan sendok ya!" seru Lilian.
Tak lama kemudian seorang asisten rumah tangga bernama Lala muncul membawakan barang yang dibutuhkan Lilian.
"Mari kita potong kuenya!"
"Tunggu, Mom. Jacob nya mana, ya?" tanya Hazel, memegang tangan Lilian yang tidak jadi memotong kue tersebut.
Lilian menyeringai. "Kamu mau calon suamimu yang memotong kuenya? Baiklah, Mommy panggil dia dulu."
Sebelum mendengar jawaban dari Hazel, Lilian sudah bangkit dan berjalan menaiki lantai atas. Menuju kamar Jacob.
Hazel menatap kue buatannya sekali lagi. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa hasil buatannya tidak buruk.
Tidak lama kemudian Lilian kembali dengan Jacob. Pria itu menatap sang tunangan dengan hangat.
"Harusnya yang memanggilku itu bukan Mommy, tapi dirimu," kekeh Jacob.
Hazel menggeleng. "Modus terus."
"Jac, ini kuenya buatan Hazel. Dia mau kamu yang mencicipi dan memotongnya," ucap Lilian.
Perhatian Jacob beralih pada kue di atas meja. "Wah, ini benaran kau yang buat?" tanyanya antusias.
Hazel mengangguk. "Maaf kalau tampilannya kurang menarik," ringisnya.
"Yang penting yang buat kuenya adalah orang yang menarik," sahut Jacob kembali menggoda.
"Orangnya menarik apanya, Jac?"
"Menarik hatiku," jawab Jacob lalu tertawa.
Lilian juga ikut tertawa dan memukul pundak putranya. "Bisa aja kamu nih! Jadi malu tuh, Hazel nya."
Jacob terkekeh. "Aku sangat senang dibawakan kue seperti ini, kau belajar membuatnya?"
"Iya, ini kue buatanku yang pertama."
"Tidak heran, kan aku calon suamimu. Memang harus menjadi pertama yang mencobanya," kekeh Jacob.
Lilian menepuk bahu Jacob. "Sudah, sudah. Kamu ini banyak ngomong, potong aja cepat. Mommy mau cobain," ucapnya.
Jacob mengangguk, ia duduk di sebelah Hazel lantas memotong kuenya.
"Ini lezat, walaupun katamu tampilan kurang menarik, tapi rasanya sungguh enak." Jacob menatap Hazel dengan sungguh-sungguh.
"Benarkah?"
Mata Jacob menyipit. "Kau belum mencicipi kue buatanmu sendiri?"
Hazel menggeleng polos. "Kan ini buatanku yang pertama, tentu aku belum mencobanya."
Jacob menyuapkan kue itu ke dalam mulut Hazel. "Bagaimana? Enak 'kan?"
Hazel mengangguk dan tersenyum lebar. "Rasanya lembut dan manis. Gulanya pas!"
Jacob mengusap-usap puncak kepala Hazel.
Lilian pun ikut merasakan kue buatan Hazel. Mereka larut dalam obrolan yang tercipta.
***
Siang harinya, setelah makan siang. Jacob meminta Hazel ikut bersamanya. Pria itu ingin menunjukkan lagu yang ia ciptakan pada Hazel. Perilisan lagu-lagu sebentar lagi, dan Jacob ingin Hazel menjadi yang pertama mendengar lagunya tersebut.
Jacob melajukan mobilnya menuju studio musiknya. Ia bertemu dengan beberapa rekan kerjanya, tentu saja Jacob juga mengenalkan Hazel pada team yang membantunya.
Jacob mendudukkan Hazel di sebuah kursi. Ia memasangkan earphone pada telinga Hazel lalu memutar lagu tersebut.
Hazel memegang earphone di telinga kanannya. Matanya menatap Jacob yang berdiri di depannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas seiring alunan instrumental piano itu terdengar.
"Ini bagus! Aku suka, apa judulnya?" Gadis itu menunjukkan keantusiasannya.
"Hazel eyes."
"Eh, ada namaku," kata Hazel.
"Memang, matamu sangat indah. Berwarna Hazel. Jadi ini lagu dariku untukmu, babe."
Kedua pipi Hazel memerah. Ia merasa sangat dispesialkan oleh Jacob.
"Aku suka lagunya, tunanganku memang hebat," puji Hazel memeluk pinggang Jacob.
***
Di suatu tempat...
Eliana menatap tiga anak buahnya dengan serius.
"Kali ini, lakukan pekerjaan kalian dengan baik. Mengerti?"
Ketiga pria itu mengangguk. "Baik, Nona."
"Urusan mobil Jacob, apa sudah berhasil diatasi?" tanya Eliana pada pria berambut hitam gondrong.
"Sudah, Nona. Kira-kira setengah jam lagi Jacob dan Hazel akan meninggalkan studio," jawab lelaki gondrong tersebut.
"Itu bagus. Kita tunggu saja kabar mereka di televisi." Eliana menyunggingkan senyum lebarnya, lalu perempuan itu tertawa bak iblis sedang membayangkan keberhasilan rencananya nanti.
***
Pukul empat sore, Hazel telah puas berada di studio Jacob. Kini saatnya Jacob mengantarnya pulang.
Perjalanan menuju mansion Austen memang melalui jalan yang sepi, namun tetap ada satu atau dua kendaraan yang lewat.
"Besok aku akan menjemputmu. Besok kau kerja 'kan?"
Hazel mengangguk. "Iya, aku kerja."
"Baguslah. Besok aku free satu hari, jadi aku akan menemanimu bekerja. Tidak apa bukan?"
"Tentu saja tidak masalah. Malah aku senang."
Seperti kebiasaannya, Jacob mengacak rambutnya Hazel dengan gemas.
"Hei, jalannya ada pembelokan. Jangan kencang-kencang Jac," peringat Hazel.
Jacob yang menyadari kecepatan mobilnya tiba-tiba bertambah mendadak menjadi aneh sendiri. Padahal ia menekan gas tidak terlalu kuat. Kenapa ia merasa ada yang mengendalikan mobil ini?
Wajah Jacob berubah pias ketika mencoba menekan rem. Mobil tidak berhenti. "Kuatkan seat belt mu, Hazel."
"Ada apa?!" tanya Hazel cemas.
"Rem nya tidak bisa, ini tidak berfungsi. Secara tiba-tiba kecepatan mobilnya juga bertambah!" seru Jacob panik.
Wajah Hazel berubah pucat pasi. Apa yang terjadi?
Hazel melihat Jacob kesulitan mengontrol mobilnya sendiri. Hingga yang Hazel rasakan adalah tabrakan dengan pembatas jalan, lalu ia merasa mobilnya seperti melayang lalu terhempas dengan kuat.
Kepala Hazel terasa seperti di putar dan sesekali terbentur dengan kaca jendela.
BRAK!
Kepala Hazel terasa sangat berat, seperti himpit oleh beban ratusan kilo gram.
Kepala gadis itu menoleh ke samping kirinya dengan lemah. "Jac ... bangun..."
Namun, pria itu tidak bangun. Darah segar keluar dari pelipis dan kening Jacob. Darah yang keluar begitu banyak.
Di sisa-sisa kesadaran yang ia miliki, Hazel meraih ponselnya yang berada di dalam tas kecil di pangkuannya.
Nomor yang Hazel tuju adalah Edgar. Tidak butuh waktu lama, sambungan telepon terhubung.
"Halo, Nona?"
"E-Edgar ... T-tolong aaku..."
Hazel tak sanggup lagi, kesadarannya pun hilang bersamaan ponselnya yang luruh dari telinga dan pegangan tangannya.
"Hazel?"
"Nona Hazel?"
"Hazel jawab, kau di mana?"
Suara Edgar masih terus terdengar pertanda telepon tersambung. Namun tidak ada balasan yang berarti untuk pria itu.
***
Edgar mencengkeram ponselnya erat. Ia memakai meraih kunci mobil dan berlari keluar dari penthouse nya. Sambungan teleponnya masih bersambung dengan Hazel namun gadis itu tidak merespon.
Perasaan Edgar berubah tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu.
Di dalam mobil, Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimum. Ponselnya berada di dashboard, menunjukkan lokasi Hazel sekarang. Edgar berucap syukur berkali-kali karena GPS yang ada di ponsel Hazel hidup. GPS itu menunjukkan Hazel berada di antara jalan yang akan menuju mansion.
Mata Edgar membola saat ia berhasil sampai di tujuan. Ia menatap ngeri ke arah depan. Edgar mengenali mobil putih milik siapa yang sedang terbalik itu.
Itu adalah mobil Jacob.
Tubuh Edgar membeku bagai disambar petir. Wajahnya berubah pucat pasi. Jantungnya seakan dicabut paksa dari rongga dadanya melihat kondisi mobil yang begitu mengenaskan, kalau mobil terlihat sangat mengenaskan, apalagi orang yang berada di dalam?!
Edgar turun dari mobil dengan raut wajah panik. Ia mendekati mobil putih itu.
Hanya ada dua orang di sini, yang melihat. Edgar merasa geram, dua orang itu hanya menonton dari luar, tak ada niat membantu.
"Apa kalian sudah memanggik polisi dan ambulance?!"
Salah satu dari mereka mengangguk.
Kaki Edgar mendekat ke arah balik kemudi. Matanya melotot melihat kepala Jacob yang sudah penuh dengan darah.
Edgar beralih ke sisi kanan, tempat Hazel.
Tangan Edgar bergetar ketika menyentuh jendela kaca yang pecah. Wajah Hazel, tergores oleh kaca. Darah tampak mengalir dari pipi dan pelipis Hazel.
"Nona Hazel..."
"Hazel..." panggil Edgar dengan suara bergetar.
Tak lama terdengar suara sirene ambulance. Edgar membuka pintu mobil dan mengeluarkan Hazel dengan hati-hati.
Hati Edgar terasa diiris dan disiram oleh air perasan jeruk. Sangat perih melihat Hazel tak sadarkan diri dengan kondisi yang jauh dari kata baik-baik saja.
Dua ambulance datang, Hazel lebih dulu ditangani karena sudah di keluarkan oleh Edgar.
Hazel di bawa ke rumah sakit begitu cepat. Edgar tidak mempedulikan mobilnya yang tertinggal. Ia duduk di sisi kanan Hazel sembari menggenggam tangan gadis itu.
Bertahanlah, Hazel!
***
Sesampainya di rumah sakit Hazel dan Jacob di tangani di ruang yang berbeda.
Edgar menghubungi Ansel lebih dulu, menyuruh Ansel datang ke rumah sakit dan menjemput Gabriel di mansion. Sedangkan keluarga Jacob, Edgar tidak tahu...
Walaupun Edgar membenci Jacob yang berhasil mendapatkan hati Hazel, ia juga merasa kasihan. Keluarga Jacob harus tahu, tapi ia tak punya satu pun kontak keluarga pria itu.
Dua puluh menit kemudian, Ansel datang bersama dengan Gabriel yang berada di atas kursi roda.
"Apa kaki anda terluka lagi?" tanya Edgar.
Gabriel menggeleng. "Aku pakai kursi roda karena akan sangat lama berjalan dengan menggunakan kruk. Sekarang di mana Hazel?!"
"Di UGD."
"Jacob?" tanya Ansel.
"ICU. Keadaan Jacob lebih parah, dan aku tidak tahu kontak keluarga lelaki itu."
Ansel menganggukkan kepalanya. "Aku sudah menghubungi Daddy Jacob. Sebentar lagi mereka akan datang."
"Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa tahu kecelakaan ini?"
"Sebelum hilang kesadarannya, Nona Hazel menghubungi saya. Beruntung GPS di ponselnya aktif, jadi saya menemukan mereka dengan cepat. Sekarang polisi sudah di tempat kejadian, memeriksa seluruhnya."
"Siapa yang melakukan ini semua?!" geram Gabriel.
Tiba-tiba Ansel memegang bahu Gabriel, ia menatap snag sahabat dengan raut wajah pias. "Apakah pelakunya sama dengan pelaku yang menyabotase mobilmu di Swiss dulu?"
"Bisa jadi iya, bisa jadi tidak." Edgar menyahut.
Gabriel mengumpat keras. Berani-beraninya mereka menyakiti adik kesayangannya!!
Keluarga Jacob datang tak lama setelah itu. Wajah Lilian sudah dibanjiri oleh airmata.
Lilian mendekati Gabriel. "Apa yang terjadi? Kecelakaan bagaimana?!"
"Polisi sudah berada di tempat kejadian, kejadian ini pasti akan diusut apa penyebabnya." Ansel menjawab.
"Bagaimana keadaan Jacob? Di mana putraku?"
"Jacob berada di ICU, karena kondisinya sangat parah Nyonya," jawab Edgar.
Tangis Lilian semakin pecah mendengar hal itu. Wanita paruh baya itu bersandar pada sang suami.
"Di mana ruangan ICU?" tanya Andrew.
"Di atas lantai ini, Tuan," jawab Edgar.
Andrew segera membawa sang istri menuju lift. Mereka harus melihat dan bertenaga pada dokter yang menangani Jacob.
"Yumna? Kau tidak ikut bersama kedua orangtuamu?" tanya Gabriel.
Yumna menggeleng. "Aku takut ..."
Gabriel mengangguk paham. Ia menunjuk kursi tunggu yang berderet panjang.
"Duduklah di sana dan tunggu."
Yumna langsung duduk di kursi yang ditunjuk oleh Gabriel.
"Kenapa ini bisa terjadi. Bahkan kak Jacob dan Hazel meninggalkan mansion siang ini, mereka ke studio dan semua baik-baik saja."
"Kemungkinan ada yang menyabotase mobilnya. Ketika mobil Jacob sedang tidak diawasi dan berada di parkiran studio," sahut Ansel.
Airmata yang sedari tadi ditahan Yumna akhirnya luruh juga. "Aku harap kak Jacob dan Hazel baik-baik saja."
Mendengar hal itu Edgar juga berharap yang sama. Tiba-tiba tangan Edgar terkepal saat mencurigai seseorang. Entah kenapa nama itu muncul begitu saja di dalam benak.
Seakan memberitahu tahu, bahwa pelakunya memang adalah sosok yang ia kenal.
***
to be continued...
partnya terpanjang dari yang lainnya, sekitar 1800+ words. jangan lupa tap love dan comments yupp!^^
follow igku: Kangnield (dm aja kalo mau di follback)