Setelah pertunangan, kehidupan mereka kembali seperti semula. Bedanya setiap pagi Jacob akan menjemput Hazel dan mengantarnya ke kantor lalu di sore hari mereka terpisah.
Sesampainya di depan gedung perusahaan, Hazel tak langsung turun. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Aku membuat ini pagi tadi," kata Hazel. Ia menyodorkan kotak bekal pada Jacob.
Ketika Jacob hendak membuka kotak bekal itu, Hazel menahannya. "Jangan dibuka, ini untuk makan siangmu nanti. Pagi ini kau kan sudah sarapan."
"Baiklah, apapun perintah tunanganku tercinta."
Hazel terkekeh. "Kalau begitu aku turun. Semangat kerjanya!"
Jacob mengangguk, lelaki itu menahan tangan Hazel karena ada sesuatu yang tertinggal. "Ada yang tertinggal, sayang."
"Hah? Apa?" Hazel memeriksa tasnya kembali.
Jacob memegang dagu Hazel lembut dan mendaratkan kecupan singkat di bibir pink alami Hazel. "Ini yang tertinggal," bisik Jacob dengan suara serak yang terdengar seksi di telinga Hazel.
Mata Hazel membulat. "Aku pikir ada barang yang tertinggal, nggak taunya!" geram gadis itu.
"Makin cantik kalau lagi marah gitu," goda Jacob.
Kontan wajah Hazel memerah. "Aku turun!"
Jacob tergelak. "Semangat kerjanya, Zel!"
Hazel membalikkan tubuhnya dan mengangguk. Gadis itu mengacungkan jempolnya.
Tanpa mereka berdua sadari, seseorang memperhatikan mereka sejak tadi.
Di balik pilar, Edgar berdiri. Ia melihat kemesraan Hazel dan Jacob. Darahnya mendidih melihat Jacob mengecup bibir Hazel. Rasanya ia tidak terima dan ingin menghapus jejak Jacob.
Tapi lagi-lagi Edgar harus menyadarkan dirinya sendiri.
***
Setelah cuti empat hari, ternyata pekerjaan Hazel menumpuk. Percuma saja ia menyuruh Ansel menghandle beberapa pekerjaan, pria itu tidak menjalankan perintahnya dengan benar.
"Ed, kepalaku pusing sekali. Tolong ambilkan obat pereda sakit kepala," pinta Hazel.
Edgar mengangguk patuh. Ia berjalan menuju laci rak buku, di laci itu terdapat kotak obat yang cukup lengkap. Setelah mendapatkan obatnya, Edgar berjalan menghampiri Hazel dan memberikan obat tersebut.
Dengan sigap Edgar juga membukakan tutup botol air mineral untuk Hazel yang memasukkan pil obat itu.
Hazel menyingkirkan kertas-kertas di meja dan menyusunnya di laci. Setelah beres ia menjatuhkan kepalanya di atas meja lalu memejamkan matanya.
"Beri aku waktu istirahat sejenak," gumam Hazel.
Edgar hanya memperhatikan gadis itu, dia memang terlihat sangat letih.
Tiba-tiba kilasan kejadian pagi tadi kembali di dalam benak Edgar. Ia mendekati Hazel dan menatap wajah cantik gadis itu.
Tatapan Edgar turun ke bawah tepat di bibir Hazel, dengan kurang ajarnya memorinya tentang tidak sengaja melihat Hazel ketika berganti pakaian kembali terputar diingatannya.
Edgar menepuk pipinya. "Sadarlah, Ed! Dan menjauh darinya!" peringatnya pada dirinya sendiri.
Edgar berjalan menjauhi Hazel dan duduk di sofa.
Cklek!
Kepala Edgar sontak menoleh ke arah pintu.
"Ada apa?" tanya Edgar pada Ansel.
"Aku membutuhkan tanda tangannya," kata Ansel sembari mengangkat map yang ia bawa.
Edgar berjalan menuju Ansel. "Aku akan memintanya tanda tangan nanti. Dia tidur," ucapnya.
Tatapan Ansel beralih menatap sosok Hazel yang kepalanya rebahkan dia tas meja.
"Baiklah, kalau bisa secepatnya suruh dia tanda tangan."
Edgar hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya Ansel pergi meninggalkan ruangan.
Edgar membaca map itu, terdapat tujuh halaman. Ini adalah proposal mengenai pembangunan hotel yang akan dilakukan di Swiss. Edgar membaca keseluruhan isi proposal tersebut dan ternyata memang tinggal menunggu persetujuan dari Hazel saja lagi.
Tidak ada yang aneh dengan isi proposalnya, seluruhnya ditulis dengan sangat baik dan pas.
Edgar berjalan mendekati Hazel. Map itu ia letakkan di atas meja. Wajah polos dan damai ketika tidur terlihat seakan menggodanya.
Perlahan tapi pasti, Edgar mendekatkan wajahnya di wajah Hazel lalu bibir mereka bertemu.
Edgar terkejut, buru-buru ia menjauhkan dirinya sebelum Hazel terbangun. Ia memegang bibirnya yang baru saja menempel dengan bibir gadis itu.
Lembut dan halus. Ia suka.
"Nghh,"
Mata Edgar melotot, sontak ia menjauh dan berekspresi senatural mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Em, Ed?"
"Iya, Nona?"
"Sudah berapa lama aku tidur?"
Edgar pura-pura melirik arlojinya. "Sekitar tiga puluh menit, Nona."
"Apa ada sesuatu saat aku tidur?" tanya gadis itu lagi.
Apakah gadis itu menyadari ada yang menciumnya tadi? Edgar harap tidak!
"Ansel mengantarkan map putih itu tadi. Dia mengatakan butuh tanda tangan anda." Edgar menunjuk map putih yang diberi Ansel tadi.
Hazel mengusap wajahnya lalu meraih map yang Edgar maksud. Matanya menatap malas deretan kalimat di kertas itu.
"Apa kau tadi membacanya?" tanya Hazel seraya memijit pelipisnya.
Edgar mengangguk jujur.
"Menurutmu bagaimana? Apa sesuai kesepakatan meeting sebelumnya? Aku malas membacanya," keluh Hazel.
"Semua sama Nona."
"Okay, aku percaya padamu." Hazel langsung membubuhi kertas-kertas itu dengan tanda tangan.
"Apakah setelah ini jadwalku masih ada? Kepalaku masih sangat sakit," keluh Hazel.
"Anda bisa izin, Nona. Jangan terlalu memaksakan diri," ujar Edgar mengingatkan.
Hazel mengangguk. "Ya kau benar. Ya sudah, ayo pulang!"
"Saya bantu antarkan ini pada Ansel dulu." Edgar mengambil map putih yang telah selesai Hazel tanda tangani.
Setelah mengantarkan berkas penting itu, Edgar kembali ke ruangan Hazel. Jalan Hazel tampak sempoyongan, karena tidak tega Edgar menggendong Hazel membawanya keluar.
Di lantai bawah, banyak tatapan karyawan yang menatapnya dan Hazel. Ada juga yang panik melihat Hazel yang lemah di dalam gendongannya.
"Apa yang terjadi?" Salah seorang pegawai bertanya.
"Nona Hazel sakit." Edgar menjawab singkat dan berjalan cepat menuju mobilnya.
Setelah memastikan Hazel duduk nyaman barulah ia masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju mansion.
Sesampainya di mansion, Hazel sudah tertidur. Dengan penuh kehati-hatian Edgar mengangkat tubuh Hazel dan membawanya masuk.
"Apa yang terjadi pada Hazel?!" pekik Gabriel heboh sendiri.
"Nona tampak kelelahan, ia tertidur setelah minum obat," jawab Edgar.
"Saya akan menidurkannya di kamarnya, Tuan."
Gabriel menganggukkan kepalanya, ia berdiri di ujung tangga karena tak bisa melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Rasa khawatir jelas masih mendera dirinya, tapi ia tak bisa melihat Hazel karena kondisi kakinya sekarang.
Gabriel berdecak kesal. "Seharusnya aku membuat lift di mansion ini!" kesalnya.
Tidak bisa apa-apa, akhirnya Gabriel memilih duduk di sofa seraya menunggu Edgar turun.
Sepuluh menit kemudian Edgar turun dan menghampiri Gabriel.
"Apa tubuhnya demam?" tanya Gabriel cemas.
Edgar menggeleng. "Nona hanya mengeluh pusing."
Gabriel menghela napas lega. "Baguslah kalau begitu."
"Ketika ia bangun nanti suruh Emma untuk langsung antarkan makan siangnya ya."
Edgar mengangguk. "Baik, Tuan."
Edgar berjalan menuju dapur untuk menemui Emma.
"Emma, sesekali periksa kamar Nona Hazel. Kalau dia sudah bangun, segera siapkan makan siangnya. Itu perintah Tuan," kata Edgar.
Emma mengangguk paham. "Baik, aku akan memeriksa kamarnya secara berkala. Tapi, apakah Nona sudah minum obat?"
"Sudah."
***
to be continued...
2 part lagi, stay tune!ಥ‿ಥ