Ketika keluar dari gedung konser, ternyata beberapa penggemar dan juga media masih ada di luar. Sontak saja, mereka jadi berbondong-bondong menghampiri Hazel dan Jacob yang keluar.
"Apakah kalian memiliki hubungan khusus?" tanya salah seorang jurnalis perempuan.
"Kalian terlihat sangat cocok," ujar salah satu orang yang mengerubungi mereka.
"Jacob, anda menjalin hubungan dengan Hazel Chloe Austen? Ayo beritahu kami."
Hazel menutup wajahnya dengan tas yang ia bawa sementara Jacob melindunginya dari beberapa paparazi hingga akhirnya mereka masuk ke dalam mobil.
Jacob langsung tancap gas meninggalkan pekarangan gedung tersebut. Ketika sudah jauh, Jacob memelankan laju mobilnya.
"Maaf, aku tidak menyangka mereka masih ada di luar," ujar Jacob dengan nada sesal.
"Mereka terlihat sangat mengerikan jika berdesakan seperti itu," kata Hazel takut.
"Aku tak menduganya, kalau tahu begitu aku akan meminta manager dan orang-orangku untuk menghalangi mereka. Maaf."
Hazel menghembuskan napas mendengar kata maaf dari bibir Jacob berkali-kali. "Tidak apa, aku memakluminya."
“Terimakasih,” kata Jacob. Pria itu melirik Hazel sekilas, “Aku lapar, bagaimana kalau kita makan dulu?”
Hazel mengangguk dengan cepat, sejujurnya ia pun merasa sangat lapar. Ia makan jam empat sore tadi.
Jacob melajukan mobilnya ke sebuah restaurant bergaya klasik bertingkat dua. Restaurant yang tampak indah dari luar karena design-nya yang klasik dan simple, terlihat sangat aesthetic.
“Ini adalah restaurant Mommy-ku,” ucap Jacob memberitahu.
Kepala Hazel langsung menoleh menatap Jacob kaget. “Benarkah? Aku baru tahu itu.”
“Ayo turun dan masuk!” ajak Jacob dengan semangat.
Hazel melepas seat belt dan turun. Gadis itu mengikuti langkah Jacob memasuki restaurant.
“Selamat datang Tuan Muda,” sambut seorang pelayan laki-laki seraya membungkuk sedikit pada Jacob.
Jacob mengangguk singkat, lantas menggenggam tangan Hazel untuk menuju sebuah ruangan private yang biasanya diisi oleh keluarganya.
“Hidangkah menu terbaik di sini,” titah Jacob pada dua orang pelayan yang ikut masuk bersama mereka tadi.
“Baik, Tuan.”
Kedua manik Hazel berselancar bebas mengamati seluruh sudut ruangan dan juga dekorasinya. Lampu yang berwarna kuning yang tidak terlalu terang membuat matanya terasa sangat nyaman ketika memandang sekitar. Terkadang Hazel tidak suka dengan restaurant yang lampunya terang benderang, membuat sakit mata.
Beberapa tanaman sebagai penghias ruangan juga terdapat di sudut-sudut ruangan. Bunga-bunga yang harum pun terdapat di atas meja.
“Bagaimana menurutmu mengenai tempatnya?” tanya Jacob.
Hazel tersenyum samar. “Aku sangat suka, aesthetic dan klasik. Terlebih ada alunan instrumental piano yang indah.”
Jacob terkekeh kecil. “Mommy memutar lagu milikku terus di restaurant ini.”
“Itu bagus, tandanya Mommy-mu sangat menyukai karyamu dan ingin menunjukkannya pada orang-orang jika anaknya sangat berbakat,” puji Hazel.
Kepala Jacob mengangguk. “Aku juga berpikir begitu.”
“Omong-omong, bagaimana dengan hari-harimu menggantikan kakakmu?” tanya Jacob semakin membuka percakapan diantara mereka.
“Aku menikmatinya, bekerja tidak terlalu buruk,” jawab Hazel ngasal.
Jacob mengangguk paham. Pria itu kemebali memutar otak untuk mencari topik pembicaraan agar tidak ada keheningan di antara mereka.
“Hazel, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Gadis itu tampak tertarik dengan pertanyaan yang akan diutarakan oleh Jacob. “Boleh, apa?”
“Apa kau memiliki kekasih?”
Hazel menggeleng. “Tidak.”
Diam-diam, Jacob menghela napas lega. “Kau sangat cantik, aku yakin sekali banyak yang menyukaimu.”
Kedua pipi Hazel tampak merona, membuat Jacob merasa gemas dan ingin mencubitnya. Namun ia menahan diri.
“Aku tidak pernah menjalin kasih,” ujarnya.
Kedua mata Jacob melotot. “Yang benar saja!” serunya tak percaya.
“Aku serius. Ketika sekolah dan menempuh pendidikan di universitas aku tidak pernah berpikir untuk menjalin kasih dengan siapa pun,” ujar Hazel jujur.
Ucapan Hazel tentu membuat Jacob merasa kagum dan semakin ingin menjadikan Hazel sebagai kekasihnya.
“Lalu sekarang? Apa kau memikirkannya?”
“Kekasih? Em, tidak terlalu.” Hazel menjawab dengan nada sedikit cuek.
Walaupun jawaban Hazel begitu, tak membuat Jacob akan mundur. Nanti ia akan terus mencoba mendekati gadis ini.
Ketika Jacob hendak bicara lagi, tiga orang pelayan datang membawakan berbagai jenis makanan dan dihidangkan di atas meja panjang ini.
Mulut Hazel sedikit terbuka melihat banyaknya makanan yang disajikan di atas meja, membangunkan cacing-cacing di perutnya dan berdemo meminta untuk segera diisi.
Melihat Hazel yang tampak ingin segera makan, Jacob menelan kembali pertanyaannya.
“Makanlah sepuasmu, dan berikan nilainya nanti,” ucap Jacob kemudian mengedipkan sebelah matanya.
Hazel mengangguk. Tangannya mulai menggapai piring lasagna. Dihidangkan dengan berbagai jenis makanan seperti ini, jika Hazel lupa diri, bisa-bisa ia kalap. Kalap akan menghabiskan semuanya.
“Selamat makan, Jacob!” seru Hazel tanpa menatap Jacob. Fokus gadis itu sudah sepenuhnya pada makanan di hadapannya.
Jacob mengulum senyumnya. “Ya, selamat makan juga untukmu. Jangan malu-malu, okay?”
Hazel terkekeh geli lalu mengangguk.
Di tengah-tengah lahapnya mereka makan, tiba-tiba pintu private room tersebut terbuka.
Cklek!
“Oh my god, Mommy pikir apa yang dibilang Derian bohong! Kau benar membawa seorang gadis ke sini,” ucap seorang wanita paruh baya dengan heboh. Nyaris membuat Hazel tersedak.
“Mommy membuat Hazel hampir tersedak,” omel Jacob kesal. “Maafkan Mommy-ku Hazel,” lanjutnya.
Hazel menoleh ke belakang, menatap sosok Mommy-nya Jacob yang tidak pernah ia lihat. Kedua sudut bibirnya membentuk senyuman tipis nan canggung.
“Halo, Tante,” sapa Hazel kemudian berdiri.
Lilian—Mommy Jacob—menarik Hazel ke pelukannya lalu melakukan cipika cipiki khas wanita.
“Namamu Hazel ya? Senang bertemu denganmu, sayang,” ucap Lilian.
Hazel tersenyum kaku. “Iya, Tante. Ayo duduk, Tan,” ajaknya.
Lilian segera duduk di sebelah Hazel. Wajah wanita paruh baya itu masih sama, terlihat cerah dan antusias menatap Hazel.
“Panggil Mommy Lilian saja,” ujar Lilian seraya mengibas-ngibaskan tangan di udara.
Mata Hazel berkaca-kaca, panggil Mommy saja...
Mengingat tentang orangtua, membuat hatinya bergemuruh menahan kerinduan pada kedua orangtuanya yang telah tiada.
Melihat mata Hazel yang berkaca-kaca, refleks Lilian menjadi panik sendiri. “Eh, kok mau nangis? Mommy ada salah? Aduh!”
“Hayoloh, My. Tanggung jawab,” gertak Jacob memanas-manasi.
Mata Lilian berubah tajam melirik sang putra. Dari isyarat matanya, ia menyuruh anaknya agar diam. Jacob tidak bicara apapun lagi.
Lilian menarik Hazel ke dalam pelukannya, airmata Hazel luruh begitu saja. Wanita paruh baya itu mengusap-usap punggung Hazel lembut. “Sssst, kamu kenapa tiba-tiba nangis? Maafkan Mommy atau anak Mommy ya kalau kami salah,” ujarnya lembut.
Hazel menggeleng lemah. “Bukan karena Tan—Mommy dan Jacob. A-Aku hanya... hiks, merindukan Mama.”
Hazel melepaskan pelukan Lilian, wajahnya penuh dengan airmata. Sejenak Lilian mengamati wajah Hazel hingga ia sadar, gadis ini adalah Hazel Chloe Austen. Putri Cole Austen dan Sophia.
Tentu saja Lilian mengenal kedua orang itu. Cole dan Sophia adalah pasangan terharmonis yang ia tahu, dan jug akeluarga mereka dikenal luas orang masyarakat karena kesuksesan Cole dan perusahaan keluarga mereka. Berita tentang pembunuhan Cole dan Sophia juga masuk ke telinganyya, bahkan Lilian dan suaminya Andrew juga pergi ke mansion Austen ketika jenazah Cole dan Sophia dikebumikan.
“I’m so sorry. Kamu pasti sangat merindukan Sophia, sayang.” Lilian mengelus puncak kepala Hazel dengan lembut.
Sepuluh menit kemudian emosi sedih yang bergejolak di dalam diri Hazel reda. Jacob memandang gadis yang ia sukai dengan sendu. Tentu saja ia ikut merasakan sedih seperti yang dialami Hazel.
“Sudah lebih tenang?” tanya Lilian.
Hazel mengangguk. “Terimakasih, Tante.”
Wajah Lilian berubah kesal. “Kenapa panggil Tante lagi? Panggil saja Mommy, Hazel. Kamu bisa mengobati rasa rindumu pada Sophia melalui aku,” ucap Lilian kembali melembut.
Hazel tersenyum. “Terimakasih, Mommy.”
Malam itu, Hazel dan Lilian berubah jadi sangat dekat. Yang tadinya Hazel merasa canggung dengan Lilian, kini sudah tidak lagi. Kedua perempuan itu asik bertukar cerita dan tertawa bersama setelah euforia ruangan itu diisi oleh kesedihan tadi. Keduanya bahkan mengabaikan Jacob yang berada di sana.
***
Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Setelah puas makan malam bersama Lilian, Jacob membawa Hazel keluar dari restaurant. Niat Jacob hendak membawa Hazel ke suatu tempat jadi batal karena Hazel dan Lilian terus saja bercengkrama ria membahas berbagai hal dan melupakan kehadirannya di sana.
Seperti janjinya pada Gabriel, Jacob akan mengantar Hazel pulang. Mobil Jacob sudah berhenti di depan pagar mansion Austen yang menjulang tinggi ke atas.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” ujar Jacob, mencegat pergerakan Hazel yang hendak turun.
“Tentang apa?”
“Hazel ... aku tidak tahu ini akan membuatmu nyaman atau tidak nyaman. Tapi aku harus menyampaikannya,” ujar Jacob sedikit dilanda kebimbangan.
Hazel mengangguk lembut. “Katakan saja.”
“Aku menyukaimu, dan aku ingin kita menjalin hubungan. Apakah menurutmu itu mungkin?” tanya Jacob hati-hati.
Wajah Hazel tampak terkejut, namun dengan segera ia menormalkan ekspresinya. “Aku tidak tahu, tapi kau adalah pria yang baik.”
Jacob tersenyum mendengarnya. “Maukah kau memberiku kesempatan? Kita jalani saja dulu, bagaimana?”
Tiga menit Hazel berpikir, hingga akhirnya gadis itu memutuskan mengangguk. “Baiklah aku setuju.”
Senyum Jacob mengembang. “Mulai malam ini, berarti kita kencan.”
Senyum Jacob seakan mengundang senyum Hazel pula. Gadis itu juga tersenyum lebar lalu mengangguk. “Ya, kita kencan.”
Tanpa diduga, Jacob meraih tangan Hazel lalu mencium punggung tangan gadis itu dengan lembut. “Aku akan membuatmu nyaman bersamaku.”
Tidak bisa Hazel pungkiri, ia merasa senang dengan perlakuan Jacob. Jantungnya pun tiba-tiba berdetak dengan kencang dan ia merasa wajahnya memanas. Perlakuan Jacob yang manis, mmebuatnya terbawa perasaan.