Anin dandan. Ya, kan, mau makan malam di luar. Kalau nggak dandan, nanti kelihatan habis nangisnya. "Kita berasa mau ngapel, Dek." Ngapel? Oh, kencan? Anin menatap Bang Seril dari pantulan cermin rias. "Ya ... anggap aja begitu, Mas. Jangan lupa izin dulu sama Mbak Prita." "Sudah." Wew. "Apa katanya?" "Dia ikut." Anin tertawa. "Lha, terus aku jadi obat nyamuk?" Ngenes amat, Ya Allah! "Mending aku makan sendiri—oh, bener. Gini aja, turunin aku di minimarket nanti. Kita pisah di situ, terus pas pulang ketemu lagi di sana." Anin letakkan gincunya. Dia betul-betul dandan. Well, kok, Anin cantik banget, sih? Tapi, kok, nasibnya nggak secantik muka, ya? Kenapa, deh? Anin berbalik. Bang Seril menatapnya. "Lihat nanti." Dikantonginya ponsel itu, lalu meraih kunci mobil. "Oh, ya, kamar