Ayu Kinanti menundukkan wajahnya sambil tersipu malu, gadis itu belum pernah berpacaran. Seumur hidup pria pertama yang dia sukai adalah Anggara Lesmana. Melihat wajah Ayu memerah, Anggara berdiri dari kursinya lalu membopong tubuh Ayu Kinanti masuk ke dalam kamarnya! Kamar di mana dirinya dan Andini biasa tidur bersama.
Ayu sempat panik, dia tidak percaya kalau Anggara akan membawa tubuhnya ke dalam kamar yang seharusnya dihuni hanya oleh sepasang suami-istri. Gara menarik baju Ayu Kinanti.
“Mas Gara, aku,” Ayu Kinanti menahan bajunya sendiri dengan menggenggamnya erat-erat. Gadis itu beringsut mundur menjauh, sementara Anggara sudah menopang tubuhnya di atas tubuh Ayu Kinanti menggunakan kedua lengannya.
Anggara mengukir senyum licik, pria itu mencekal salah satu tungkai Ayu Kinanti. “Kamu nggak mau? Kamu nggak cinta lagi sama aku, hem?” Tanya Anggara seraya menatap kedua mata milik Ayu.
“Bukan begitu Mas, tapi ranjang ini.. ummm!” Anggara memotong ucapan Ayu dengan melabuhkan bibirnya pada bibir Ayu Kinanti.
Ayu Kinanti memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Hanya suara deru nafas antara dirinya dengan Anggara yang kini terdengar, sesekali kedua tangannya meremas seprei di bawah tubuhnya. Rasa nyeri dan ngilu kemarin belum sembuh dan kini Anggara menambah rasa nyeri itu lagi.
“Mas, Gara.” rintihnya seraya memeluk erat tengkuk Anggara Lesmana.
Keringat Anggara jatuh bercucuran membasahi tubuh Ayu Kinanti. Pria itu tersenyum puas melihat Ayu Kinanti pasrah dalam permainan yang dia hidangkan selama tiga puluh menit lamanya.
Sama seperti sebelumnya, setelah semuanya selesai Anggara segera menarik diri dari atas tubuh Ayu Kinanti lalu menyodorkan baju milik Ayu agar segera dipakai kembali tanpa memberikan kesempatan pada gadis itu untuk mengatur napas sejenak.
“Ini, pakai. Jangan sampai kepergok Andini, jangan lupa ini kamar kami.”
Ayu Kinanti hanya bisa mengangguk lalu mengambil baju dari uluran tangan Anggara. Dengan sangat santai Anggara segera menukar bajunya dengan baju untuk mengajar di kampus. Ayu memakai bajunya satu-persatu. Setelah selesai dia segera turun dari atas ranjang Anggara.
“Mas, aku pulang dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan.” Sahut Anggara seraya menatapnya dari pantulan cermin.
Ayu Kinanti berjalan pelan keluar dari dalam kediaman Anggara. “Kakiku sakit sekali, Mas Gara selalu kasar.” Bisik Ayu dalam hatinya. “Kenapa aku selalu nggak nyaman setiap Mas Gara menatapku dengan tatapan cuek? Jelas-jelas dia bukan pria lajang. Sebenarnya apa yang aku harapkan dari pria seperti itu?” Susah payah mencari jawaban yang tepat dalam benaknya, tetap saja Ayu Kinanti tidak pernah menemukan jawaban itu.
Ayu Kinanti mencegat taksi, sampai di rumah dia rebah di atas ranjangnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu dan sakit.
Pukul empat sore. Andini pulang ke rumah, wanita itu melihat Keisya dan Firdan sedang duduk di ruang tengah bersama Dita. Dua anak itu sedang belajar menggambar.
“Loh, Dit? Mobil Mas Gara kok nggak ada? Dia belum pulang?” Tanya wanita itu pada Andita.
“Belum Mbak, kayaknya ngisi kelas malam.” Sahut Andita seperti biasa saat kakaknya belum kembali lewat pukul tiga sore.
Andini tidak bertanya lagi, wanita itu masuk ke dalam kamar tidurnya. Andini menatap ke arah ranjang. Semalam dia dan Anggara tidak sempat memadu cinta karena tubuhnya terasa sangat penat. Sekarang sprei di atas ranjangnya terlihat kusut sekali.
Andini tiba-tiba teringat, sebelum pergi dia meninggalkan Anggara dan Ayu Kinanti sendirian di kediaman itu.
“Mas Gara dan Ayu? Nggak mungkin kan?!” Ucapnya seraya menggelengkan kepalanya berulangkali. Karena kesal Andini menarik sprei tersebut, Andini mengendusnya. Di sana memang ada parfum Anggara, saat mencium aroma lain juga tertinggal di sana Andini langsung melemparkan sprei tersebut ke lantai. Dibiarkan saja kamar itu tetap dalam keadaan berantakan.
Andini duduk di tepi ranjang sambil mengusap air matanya, dia tidak bisa menepis bayangan Anggara sedang memadu cinta dengan wanita lain di dalam kamar mereka berdua! Hatinya terasa hancur dan sakit.
Sekitar pukul lima sore Anggara baru tiba di rumah. Pria itu masuk ke dalam lalu menyapa Firdan dan Keisya.
“Kalian sudah makan belum, kok masih nonton tv jam lima sore? Kalian juga belum mandi? Mama di mana?” Tanya pria itu seraya berkacak pinggang di dalam ruang tv di mana Firdan dan Keisya sedang duduk menonton tayangan kartun. Mainan berantakan di mana-mana. Andita sepertinya juga pergi.
Anak-anak itu tidak menyahut, mereka hanya menatap ayahnya dengan tatapan takut.
“Keisya! Jawab Papa!” Bentaknya.
“Mama di dalam kamar, Pa.”
Anggara dengan langkah lebar segera masuk ke dalam kamarnya. Andini dengan tubuh berbalut baju mandi duduk di kursi meja rias. Kamar mereka berdua berantakan seperti kapal pecah.
“Malam, sayang.” Anggara memeluk leher Andini dari belakang punggung wanita itu.
“Mas Gara, tadi tidur di dalam kamar sama siapa? Sama Ayu!?” Tanya Andini langsung tanpa basa-basi.
“Ayu? Ayu Kinanti?” Anggara melepaskan pelukan dari leher Andini. “Kamu malah bahas Ayu, lawong dia langsung pulang dan nggak mau sarapan pas aku tawari pagi tadi. Katanya nggak mau karena ada janji sama temannya. Aku juga nggak nahan dia, masa sudah nolak aku paksa, Ndin?” Sahutnya seraya berdiri memunggungi Andini. Anggara melepaskan bajunya lalu menggantungnya di gantungan dinding kamar mereka.
“Sudahlah Mas, kenapa nggak ngaku saja? Aku nyium parfum kamu sama parfum Ayu di atas ranjang kita!” Bentaknya pada Anggara dengan wajah penuh amarah.
“Parfum? Parfum apa sih Ndin? Aku itu nggak ngerti apa yang kamu bilang. Coba kamu hubungi Ayu, tanyakan sama dia apa dia yang numpahin parfum di atas ranjang kita? Kamu kan tahu jadwal aku ngisi kuliah. Jam segitu aku harus nyampe di kampus. Kamu juga bisa hubungi temanku ngajar kalau nggak percaya.” Elaknya.
“Mas Gara nggak mau ngaku!? Terus saja seperti ini! Kemarin-kemarin aku baca chat kamu sama mahasiswimu! Aku lihat dengan jelas kalau kalian janjian akan ketemu cek in di hotel! Kamu juga ngeles dan bilang semuanya itu bohong, kan?! Aku itu sudah cukup sabar Mas ngadepin kamu!” Andini marah sekali, wanita itu berdiri dan memukuli tubuh Anggara menggunakan kedua tangannya.
“Ndin, Ndin, jangan begini, masa kamu suruh aku ngaku kalau aku sama Ayu memiliki hubungan? Aku sama Ayu nggak mungkin seperti itu Ndin, dia itu sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Sama seperti Dita.” Ucapnya seraya mendekap tubuh Andini ke dalam pelukan dan Andini berhenti memukulinya, wanita itu masih kesal dan kini menangis dalam dekapan Anggara.
“Ndin, sudah hampir malam. Anak-anak belum mandi, mereka juga belum makan malam, aku mau mandi dulu.” Ucapnya pada Andini lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
“Mas Gara!” Bentaknya dengan kesal.
“Aku capek Ndin, aku itu baru pulang kerja! Sudah urus saja anak-anak, kamu itu malah ngomong yang nggak-nggak tentang Ayu sama aku,” ucapnya lagi.
“Kamu selalu begini, Mas. Ngeles terus! Nggak pernah bisa jujur! Sudah jelas-jelas aku tahu ini itu-”
Anggara membanting pintu kamar mandi, dia tidak ingin mendengar omelan istrinya lagi. “Aku sudah tes DNA, Keisya dan Firdan ternyata bukan anakku! Anak siapa mereka Ndin?!” Geram Anggara sambil meninju cermin dalam kamar mandi sampai cermin tersebut pecah berantakan.
Sayangnya Andini tidak mendengar apa yang dia gumamkan. Ya, selama ini Anggara menyimpan sakit hati itu seorang diri. Jika bukan karena ancaman dari keluarga Andini untuk menghancurkan karirnya maka pernikahan antara mereka berdua tidak akan pernah terjadi.