Jantung Aric tidak baik-baik saja saat Vanya tidak juga memberi jawaban atas lamarannya. Begitu jelas terkejutnya gadis itu sampai kehilangan kata-kata lalu air matanya jatuh. "Aric.." Vanya memanggil namanya dengan pelan. Tatapan mata mereka beradu dalam, Aric mengangguk. "Aku menunggu jawabanmu, Vanya." Merasakan jemari Aric menyeka air matanya. "Aku berharap air matamu karena rasa haru dan bahagia." Vanya mengangguk kaku, senyum Aric melebar seiring tangannya meraih cincin tersebut. Kilau permata birunya sungguh menawan. "Ya?" Aric memperjelas. "Yes, I do! Ayo kita menikah!" mantap Vanya. Aric semakin semangat dan bahagia. "Cincin ini milik Oma. Ketika Opa masih hidup, saat usiaku masih tiga belas tahun saat itu.. Opa mengatakan padaku bila cincin ini spesial, mereka mau aku memb