Sore ini tumben-tumbenan terlihat Matcha dan Nara duduk santai dengan rukun di teras rumah Matcha.
Seperti biasanya, permen bentuk kaki yang bisa bikin bibir berwarna merah itu tenggelam dalam hisapan mereka.
"Elo yakin bakal lulus SMP setelah ujian nasional kita berakhir hari ini, Cho?" tanya Nara dengan gaya cueknya seperti biasa.
Matcha yang mendengar itu hanya menatap Nara dengan sedikit menyipitkan mata. Mencoba menerka arti dari pertanyaan cowok yang seringnya lupa cara berhenti jahil pada dirinya.
"Elo ngomong apaan, sih? Elo mau curhat kalau aslinya lo ngerasa khawatir nggak lulus, ya?"
Nara pura-pura mendesah, kemudian bersuara pelan seolah benar-benar merasa sangat khawatir.
"Nggak sih, Cho. Gue khawatir elo yang nggak lulus, kan kasihan kalau sampai elo harus mengulang SMP lagi, nggak ada gue yang seringkali bantu elo beres-beresin tugas prakarya kita."
Tanpa menunggu jeda waktu lama, permen yang masih terbungkus utuh di tangan Matcha nimpuk manis wajah Nara. Cowok itu nggak marah, malah yang ada terkekeh geli melihat raut marah wajah imut di depannya. Masih sopan yang di lempar Matcha bukan permen yang ada di mulutnya saat itu, bukan sandal atau pot bunga milik mama yang ada di teras itu juga.
"Nyumpahin gue, lo?"
"Ya enggak sih, Cho. Kan gue ya pasti ikut nyesel dan sedih kalau elo sampai nggak lulus. Otomatis penguntit kehidupan gue bakal hilang dan gue bakal kesepian dong. Hidup gue di sekolah akan terasa hampa, hidup terlalu tenang itu nggak ada seninya Macho sayang, gue nggak suka."
"Kunyillll ... yang ada itu elo yang selalu aja nguntit kehidupan gue. Dari TK sampai sekarang kita satu sekolah, amit-amitnya lagi nih, kita sekelas, udah berapa tahun itu? Kun, coba hitung. TK 2 Tahun, SD 6 Tahun, SMP 3 Tahun, SMA, Kuliah? Aduh ... amit-amit deh, Kun ... masa gue di takdirin selalu di kuntit elo, sih?"
"Bukan di takdirkan di kuntit sama gue, Cho. Tapi mungkin kita di takdirkan untuk selalu bersama."
"Ogah, Kun ... bosen gue," kali ini Matcha berteriak dengan cukup keras, sedangkan Nara malah tertawa terbahak-bahak. Ada kepuasan tersendiri melihat wajah kesal Matcha saat itu.
*****
Sabtu malam.
Di sebuah restoran yang lumayan bagus di kota itu dua keluarga sedang berkumpul di satu meja menikmati acara makan malam bersama. Satu keluarga bersama seorang putra yang sudah remaja dan seorang putri berusia lima tahun. Satu keluarga lagi bersama seorang putri mereka yang sudah remaja, seusia dengan remaja putra keluarga yang semeja dengan mereka.
Itulah keluarga Matcha dan Nara yang saat ini menikmati weekend dengan dinner bersama merayakan kelulusan SMP putra putri mereka yang mendapatkan nilai dengan sangat memuaskan.
"Jadi, Mas Adi, besok kalau daftarin Nara ke SMA saya sekalian nitip Chacha, ya. Kebetulan saya sama Mas Teddy ada seminar yang wajib di ikuti," ujar Mama Julie ketika acara makan malam mereka sudah dalam sesi menikmati dessert.
Bibir Matcha langsung manyun, secara reflek matanya melihat ke arah Nara. Dan benar saja, cowok itu juga tengah melihat ke arahnya, bibirnya bergerak mengucapkan satu kata tanpa suara, "pe-ngun-tit".
"Chacha nggak mau satu sekolah sama Nara, Ma."
Semua mata segera menatap ke arah satu gadis yang sedang menampilkan wajah muram dan cemberut. Sedangkan Nara pura-pura menggoda Aya yang sedang memainkan sedotan pada minumannya.
"Kenapa, Cha? Itu salah satu SMA terbaik di kota kita lho, lagian kan kamu sama Nara bisa selalu dekat dan bisa saling menjaga," ujar mama dengan lembut.
"Karena Chacha nggak mau jadi penguntit hidup orang."
Matcha memang bukan tipe cewek yang suka basa basi. Apa yang ada di hatinya saat itu segera terucap dengan jujur.
Dan, kali ini empat pasang mata orang dewasa itu beralih menatap Nara. Mereka mengenal karakter Matcha, sehingga dengan segera bisa mengetahui alasan Matcha menolak satu sekolah dengan Nara.
"Nara, kamu kah yang bilang Chacha menguntit hidup kamu?" kali ini Mama Anisa yang mengeluarkan suaranya. Dan, Nara hanya senyum-senyum sambil menggeleng pelan.
"Enggak, Ma. Chacha aja yang suka baper."
"Bohong, Nara emang ngomong gitu kok, dan lagi Chacha juga udah bosen selalu satu sekolah sama dia."
Kembali keempat orang dewasa itu menggeleng pelan sambil menghembuskan nafas berat yang semenjak tadi menggumpal di d**a mereka.
"Keputusan tidak bisa di ganggu gugat, Chacha tetap satu sekolah dengan Nara. Titik." Papa Teddy yang biasanya jarang bersuara kali ini menggunakan kekuasaan diktatornya untuk mengatur sekolah Matcha.
Dan, semua terdiam. Termasuk Matcha yang sempat melayangkan protes. Sebenarnya gadis itu oke-oke saja satu sekolah dengan Nara, hanya saja dia sedang membela harga dirinya di depan cowok itu yang telah mengatainya "penguntit".
*****
Masa-masa liburan sekolah tahun ajaran baru.
Matcha dan Nara sedang menunggu detik-detik mereka berubah wujud menjadi remaja SMA berseragam putih abu-abu. Haha, seperti power ranger aja ya pakai berubah wujud segala.
Dari balkon rumahnya, Matcha melihat Aya yang sedang naik sepeda kecilnya dengan bantuan dua roda kecil di bagian belakang khas milik anak kecil untuk menjaga keseimbangan. Di belakangnya Nara dengan sabar mengikutinya.
"Aya cantik ... mau kemana?" teriak Matcha yang sangat menyukai gadis cilik menggemaskan itu.
Aya segera mendongak sambil melambai-lambaikan tangannya. Senyum bocah itu terukir manis di bibir mungilnya. Tiba-tiba Nara membisikkan sesuatu di telinga Aya. Dan, tak berapa lama gadis cilik itu membalas teriakan Matcha.
"Mau ke laut, Mbak Cha," teriak Aya yang di sambung dengan tawa keras Aya dan Nara. Dahi Matcha berkerut sebentar, dan tak berapa lama, kepalan tangannya yang membentuk bogem di tunjukkan kepada Nara. Cowok itu hanya menjulurkan lidahnya.
"Mbak Cha, kita mau ke taman, ikut yuk."
Tak menunggu lama Matcha sudah bergabung bersama Nara dan Aya. Mereka berjalan santai menuju taman komplek yang biasanya cukup ramai di hari minggu seperti ini.
Di taman yang cukup ramai dengan anak kecil dan ada beberapa penjual yang mengais rejeki memanfaatkan keramaian hari minggu, Matcha dan Nara duduk berdua di sebuah bangku. Tak jauh di depan mereka, Aya asyik main perosotan bersama seorang bocah seusianya yang barusan dia kenal.
Tiba-tiba Nara terkikik geli.
"Udah gila, lo? ketawa-ketiwi sendiri," celetuk Matcha yang menatap heran ke arah Nara.
"Lihat dua anak kecil yang lagi main ayunan itu, gue jadi ingat kepala benjol elo gara-gara gue dorong terlalu kencang terus elo nyolot dan terjatuh dari ayunan. Sudah dahinya benjol, hidungnya mimisan lagi. Aslinya saat itu gue takut bukan main, takut elo mati, gue khawatir."
Tangan Matcha sudah terjulur meraih kepala Nara dengan mata mengikuti arah pandang Nara. Seperti Nara, ingatannya melayang ke beberapa tahun silam ketika mereka masih seusia Aya dan juga sangat suka main di taman ini.
"Dan, sampai sekarang elo nggak pernah minta maaf sama gue."
"Jatuh gitu doang mah buat cewek macho macam elo kan udah biasa."
"Biasa embah lo? Sakit banget waktu itu. Kata elo barusan khawatir? Yang bener mana? Banyak bohong, lo."
"Iya, tiba-tiba gue inget juga rasa sakit elo pasti sama sakitnya seperti dahi gue yang benjol gara-gara elo lempar sekuat tenaga pakai botol Tupperware, jadi khawatirnya gue revisi aja."
Matcha tertawa ngakak juga, teringat insiden sepulang sekolah jaman SD mereka.
"Salah sendiri sengaja numpahin ke baju putih gue dengan cat air, ujung-ujungnya bikin gue di marahin mama gara-gara baru seminggu ganti baju baru eh udah minta lagi."
Nara dan Matcha tertawa ngakak bersama mengenang masa kecil mereka.
"Eh Cho, elo nggak kangen Pak Asep sekutu elo itu?"
Nara tiba-tiba mengingatkan Matcha pada satpam komplek mereka yang selalu menjadi pendukung Matcha tiap kali mereka berdua bertengkar di saat turun dari mobil antar jemput sekolah.
"Ya kangen juga, sih. Tapi mungkin Pak Asep yang seringkali elo kerjain itu sekarang udah jadi petani sukses di Bandung sana, ya?"
Dengan tatapan lurus kedepan kedua remaja itu mengukir senyum di bibir mereka.
"Cho, kapan sih elo mau damai sama gue? Kan bentar lagi kita udah SMA, Cho."
"Sampai kapanpun gue nggak mau damai sama elo."
"Eh, dosa lo ngomong gitu."
"Elo yang lebih dosa sama gue, bolak balik janji bakal damai sama gue, ujungnya juga usil lagi."
Nara tertawa ngakak tak tertahan mengingat janji-janji palsunya selama ini. Hingga suara Aya membuyarkan keasyikan ngobrol dua orang yang tumben banget bisa duduk tenang berdekatan tanpa gencatan s*****a.
"Mas Nara sama Mbak Chacha jadi pacaran, ya? Kok tumben nggak berantem, malah ketawa-tawa," celoteh Aya sambil menatap dua orang di hadapannya.
Matcha segera mengelus sayang rambut Aya. Karena mama tidak bisa memberinya seorang adik, jadi Matcha sudah menganggap Aya bagai adik kandungnya sendiri. Gadis itu sangat menyayangi Aya.
"Aya cantik banyak nonton sinetron ya, ngerti pacar-pacaran segala. Pulang aja yuk, udah mulai panas, nih, nanti kulit kita jadi hitam," ajak Matcha sambil menahan tawa. Sedangkan tangan Nara sudah terulur mengacak rambut panjang Matcha yang terurai indah. Di liriknya kulit putih gadis itu yang emang benar sudah sedikit memerah. Nara yang lebay khawatir kulit Matcha akan menjadi semerah bibir mungil gadis itu yang menjadikannya terlihat sangat cantik. Kalau sampai semerah itu apa bedanya tomat dengan Matcha, atau apa bedanya udang rebus bersaos tomat dengan Matcha yang berkulit kemerahan. Ahahaha … Nara tertawa sendiri dengan imajinasinya yang mendapat pendelikan aneh dari Matcha hingga membuat simbol miring dengan jari telunjuk di dahinya.
Akhirnya mereka bertiga melangkah meninggalkan taman.
"Ay, mau beli arum manis, nggak?" tanya Nara begitu melihat penjual arum manis di taman itu.
"Mau ... mau ... " teriak girang Aya sambil segera mengarahkan sepedanya ke penjual arum manis.
"Elo mau, Cho?"
Matcha terdiam sejenak.
"Mau, asal elo nggak ngerjain Si Bapak dengan permintaan warna yang aneh-aneh."
Kembali Nara tertawa mengingat kekonyolannya sendiri tiap kali bersama gadis itu. Dan dengan segera cowok itu menarik tangan Matcha menyusul Aya yang sudah berdiri di depan penjual arum manis dengan wajah mupeng dan liur yang hampir netes alias ngiler.
*****