BAB 4 Tugas Melukis

1981 Kata
Masih ingatkan tugas melukis yang di berikan Pak Hasan, guru prakarya di kelas Matcha dan Nara?  Melukis di atas kain kanvas dengan tema persahabatan. Di kerjakan berkelompok. Dan, betapa beruntungnya Matcha bisa sekelompok dengan Nara berkat kebaikan hati gurunya semenjak kelas delapan. Itu sih menurut Pak Hasan, ya? bukan menurut pendapat Matcha. Tanpa terasa tinggal tiga hari lagi tugas melukis itu harus di kumpulkan. Sedangkan sampai detik ini, dua bocah ingusan konyol itu sama sekali belum membahas tentang penyelesaian tugas mereka. Matcha yang sedang membantu mama menyiapkan makan malam di dapur, sayup-sayup mendengar papa sedang ngobrol dengan seseorang. Tak berapa lama, Nara sudah menyembulkan kepalanya di dapur yang penuh dengan aroma nikmat masakan Mama Matcha yang di jamin pasti menggoda iman seseorang yang sedang lapar. “Hemmm ... baunya sedap banget, Tante,“ sapa Nara basa basi. Yang segera membuat Tante Julie menoleh dengan diiringi sebuah senyum begitu mengenali suara itu. Suara serak khas abg cowok yang menginjak baligh dan selama ini sudah di anggap bagai putra sendiri sangking dekatnya keluarga mereka. “Ikut makan malam disini aja, Ra. Orang tua kamu lagi pergi antar Aya ke dokter gigi, kan? pasti lama. Daripada kamu makan malam sendirian di  rumah,” tawaran tulus Tante Julie yang membuat bibir putrinya mencibir penuh arti. Matcha diam saja dengan cibiran yang belum menghilang  dari bibirnya, walaupun sebenarnya dalam hati udah ngedumel nggak karuan. Tumben-tumbenan Kunyil memasang wajah dan tingkah manis saat masuk rumahnya kalau bukan karena ada maunya. Dan pasti urusannya bukan hanya sekedar cari teman makan malam. “Tapi saya sungkan makan malam disini, Tan,” jawab Nara sambil senyum-senyum penuh arti. “Sungkan sama siapa kamu, Ra?” kali ini suara Om Teddy -Papa Matcha- yang terdengar. Kedua tangan pria muda itu sudah memegang bahu Nara kanan dan kiri dengan akrab. “Sama Chacha, Om. Khawatir dia nggak rela saya ikut makan malam disini,” ucap Nara sambil sengaja melihat ke arah Matcha yang sedari tadi sok-sok cuek padanya. Namun, begitu mendengar kata-kata Nara barusan, cewek itu segera menoleh sambil mengacungkan sendok sayur di tangannya. “Tuh kan, Om. Chacha nggak rela saya makan malam disini,” goda Nara dengan suara yang dia buat se-memelas mungkin, yang membuat kedua orang tua Matcha terkekeh geli. “Sudah, jangan perdulikan Chacha. Katanya kamu mau ngajak dia beli peralatan melukis, cepetan makan malam dulu gih.” Suara terakhir yang terdengar dari Om Teddy menjadi penutup sapa basa basi malam itu. Walaupun Matcha hanya mendelik kesal karena tanpa bicara dahulu dengannya seenaknya saja Nara sudah minta ijin ke papa buat ngajak dia pergi beli peralatan melukis. Ya meskipun sebenarnya tugas melukis itu untuk mereka berdua, sesungguhnya Matcha mau lepas tangan aja biar di beresin oleh Nara. Termasuk urusan t***k bengek perlengkapannya. Toh, nantinya juga Nara yang bakal nentuin lukisan apa yang bakal mereka kumpulin ke Pak Hasan.   *****   “Bawa  sepeda elo sendiri emang kenapa sih, Kun?” protes Matcha yang saat ini duduk di boncengan belakang sepeda gowes-nya. Sedangkan Nara mengayuh dengan santai di bagian depan. “Udah gue bilang, sepeda gue ban-nya kempes, masih aja tanya terus. Emang kenapa sih kalau gue bonceng gini, elo nggak PD, ya, karena nggak secakep gue? Malu di lihatin orang-orang?” Sebuah cubitan kecil menyapa pinggang Nara. Membuat cowok itu menjerit kecil kemudian tertawa-tawa, merasa godaannya pada gadis yang dia bonceng saat ini berhasil membuatnya kesal. Dan, itu menjadi satu hiburan tersendiri bagi Nara yang sangat memuaskan dan menyenangkan hatinya. Mereka berhenti di sebuah toko buku yang sekaligus menjual beragam keperluan alat tulis. Letak toko tersebut kebetulan masih berada di dalam komplek perumahan mereka. Sebuah toko yang tidak terlalu besar, tapi cukup lengkap barang jualannya. Selesai membeli perlengkapan melukis, mereka pulang ke rumah kembali masih tetap dengan berboncengan sepeda. Formasi tetap seperti pada waktu berangkat. Nara di depan dan Matcha cukup duduk manis di belakang sebagai penumpang. Sebuah tas kresek bertuliskan nama toko tadi berada dalam genggaman Matcha. Iseng di bukanya tas kresek itu, karena tadi pada waktu belanja dia sama sekali tak mengikuti Nara. Semua dia serahkan pada cowok itu, sedangkan dia sendiri malah asyik baca novel teenlit di bagian lain toko buku. “Cuman belanja gini doang elo pake repot ngajak gue segala sih, Kun?” tanya Matcha begitu melihat isi belanjaan Nara. Terdengar tawa Nara, di sambung suara cowok itu yang berucap santai, “Enak aja, namanya juga tugas kelompok, masa gue harus ribet sendiri, ya ogah lah. Elo harus ikut di berdayakan dong, meskipun cuma sebagai asisten gue.” “Sok adil, lo.” “Bawel amat, sih. Cuma nemenin gue, naik sepeda berdua, di bonceng dengan romantis sama gue, rugi apa sih,  lo?” “Dasar Kunyil, mulai kapan sih lo sok-sok romantis gini, hah? Jijay gue rasanya.” Nara kembali tertawa ngakak sepanjang jalan, sehingga cukup menarik perhatian pengguna jalan lain yang kebetulan melihat dan memperhatikan mereka. Tak satu dua orang yang melihat adegan berbonceng sepeda itu menyumbangkan senyum mereka. Membuat Matcha rasanya ingin menumpahkan isi tas kresek di pangkuannya, kemudian menggunakannya sebagai penutup kepala. “Cho, lihat tuh. Ada penjual arum manis disana, kita beli, yuk.” Tanpa menunggu persetujuan Matcha, Nara sudah mengarahkan sepeda ke taman komplek yang hendak mereka lewati. Setelah memarkir sepeda tak jauh dari penjual arum manis keduanya segera mendekat dan bergabung di antara kerumunan pembeli lain yang lagi antri. Saat ini mereka berdua sedang menunggu giliran mereka untuk menyampaikan pesanan dan mendapatkan makanan manis itu. “Elo mau warna apa, Cho?” tanya Nara sok-sok baik. Padahal ya, semua arum manis yang di jual Si Bapak semua berwarna merah muda. Otomatis pertanyaan konyol Nara itu cukup membuat pembeli lain yang antri tidak bisa menahan senyum lagi, bahkan beberapa sudah tertawa lepas. Matcha sudah bersiap-siap menjitak kepala Nara ketika mendengar suara cowok itu lagi. “Elo pasti mau warna merah muda, kan?” “Kalau gue bilang mau warna ungu atau biru emang elo bisa kasih?” sewot Matcha. “Ya kalau elo minta warna itu kasian Bapaknya kan elo bikin repot, jadinya gue jawab aja, nggak ada yang warnanya itu, Macho, yang sabar dan sadar diri, ya.” Matcha pengin melempar sandal jepitnya ke arah Nara saat itu juga, namun keburu terdengar suara Si Bapak penjual yang menanyakan pesanan mereka. “Mau pesan berapa, Mas?” “Dua aja, Pak. Yang satu warna merah muda, ya.“ Nara mengucapkan pesanannya tanpa rasa berdosa, yang jelas membuat bingung penjualnya. “Lho, Mas, ini yang di jual warna merah muda semua?” “Lah, saya kan cowok, Pak. Masa saya juga di kasih warna merah muda juga?” Penjual itu masih kebingungan menatap Nara, hingga kemudian terdengar pekikan lirih cowok itu ketika salah satu tangan Matcha sudah menjewer pelan kupingnya. “Elo tadi bilang apa ke gue? Sudah tau juga yang di jual nggak ada selain warna merah muda sekarang malah elo bikin bingung Si Bapaknya. Sudah, Pak, jangan hiraukan musuh saya ini, Bapak tolong bikin dua ya buat kami.” Beberapa orang termasuk si Bapak penjual hanya tersenyum-senyum geli melihat tingkah konyol dua bocah ingusan itu.   *****   “Have a nice dream ya, cewek Macho. Jangan mimpiin gue. Dan inget, besok pulang sekolah kita melukis, oke?” pamit Nara setelah meletakkan sepeda Matcha di garasi dan bersiap menuju ke rumahnya. “Amit-amit deh kalau sampai gue mimpiin elo.” “Liat aja ntar, kena karma mimpiin gue sampai nggak bisa bangun pagi, kapok lo ya,” ujar Nara tertawa penuh, dan sebelum berlari pulang cowok itu menyempatkan untuk mengacak asal rambut Matcha, membuat gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal.   *****   Esok harinya sepulang sekolah. Rumah sepi, di jam segini mama dan papa pasti masih sibuk mengajar. Di ruang tamu Matcha menemukan Bi Imah asisten rumah tangga di rumahnya yang sepertinya baru datang dari acara pulang kampungnya sedang membersihkan perabot.  “Bibi baru datang, ya?” sapa Matcha dengan ramah. “Udah sedari tadi kok, Mbak. Ini Bibi sudah sempat masak buat makan siang Mbak Chacha.” “Oh, makasih ya, Bi. Chacha capek banget tadi habis pelajaran olah raga. Ya udah, Chacha ganti baju dulu, ya.” “Iya, Mbak Chacha buruan makan terus langsung istirahat biar capeknya hilang,” jawab Bi Imah dengan senyum lembut keibuan pada gadis yang di asuhnya sejak kecil itu. Sehabis menikmati makan siangnya seorang diri, Matcha berniat duduk santai dulu di sofa ruang keluarga beberapa saat sambil melihat TV. Dia ingat kalau sudah janjian dengan Nara untuk melukis bersama. Namun, karena hari ini tubuhnya terasa capek banget, awalnya dia hanya berniat istirahat sebentar tapi tanpa sengaja dia malah ketiduran. Hampir satu jam Matcha ketiduran. Ketika terbangun, satu hal yang langsung dia ingat adalah janjinya dengan Nara. Segera cewek itu berlari ke kamar mandi, mencuci muka, kemudian segera berlari menuju rumah Nara. Entah tumben sekali, jam segini di carport mobil sudah terlihat Om Adi yang sedang mencuci mobil. Sedangkan Nara, tak terlihat  membantu papanya seperti yang biasa dia lakukan. “Selamat sore, Om Adi,” sapa ramah Matcha. “Eh, Chacha. Sore juga, cari Aya atau cari Nara, nih?” tanya Om Adi yang kadang usil juga suka mengganggu Matcha. “Cari Nara sih, Om. Tapi kalau ada Aya juga sepertinya lebih asyik.” “Oh, mereka berdua di lantai atas, langsung kesana aja.” “Baik Om, terima kasih.” “Yang rukun, ya. Jangan berantem melulu, nanti berjodoh jadi mantu Om, lho.” Matcha tertawa, “ Nggak berani kasih jaminan, Om.” Dan, Papa Nara hanya bisa tersenyum sambil geleng kepala. Sudah sangat hafal di luar kepala kebiasaan para bocah itu.   *****   Matcha menemukan Nara sedang sibuk bersama Aya mencoret-coret kertas putih yang banyak bertebaran di dekat mereka berdua. “Eh, Mbak Chacha datang,” sapa Aya dengan girang. Matcha tersenyum, kemudian mengusap lembut rambut halus Aya. “Sori Kun, gue ketiduran tadi,” ucap maaf Matcha pada Nara. “Iya, gue tahu. Tadi gue ke rumah elo, eh elo nya masih tidur nyenyak mirip bayi, nggak tega bangunin gue daripada di seruduk sama elo,” jawab Nara tanpa menoleh ke arah Matcha. “Dasar elo ya, emangnya gue sapi yang suka seruduk sana seruduk sini?” jawab Matcha sambil memperhatikan beberapa lembar kertas di dekat Nara. “Itu gambar apaan? Sketsa lukisan, ya?” Nara mengulurkan kertas-kertas yang di maksud Matcha. Matcha segera mendelik takjub dengan mulut menganga melihat sketsa yang sudah di buat oleh Nara. “Kun, elo ini bikin lukisan bertema persahabatan atau orang pacaran, sih?” Belum sampai Nara menjawab, Aya sudah mengeluarkan suaranya. “Mas Nara sama Mbak Chacha kan mau pacaran, makanya Mas Nara bikin gambar seperti itu.” “Eh, Aya cantik, siapa yang ajarin ngomong gitu?” tanya Matcha dengan mata sedikit mendelik, gusar. “Mas Nara. Tadi cerita gitu pas Aya tanya-tanya.” Nara tertawa ngakak mendengar celoteh Aya. Sedangkan Matcha sudah mendaratkan cubitan-cubitan kecilnya di lengan dan tubuh lain Nara yang terjangkau olehnya. “Gue bingung, Cho. Persahabatan sama pacaran kan beda tipis kalau di aplikasikan dalam sebuah lukisan, jadi sengaja ini gue buat sketsa ide dulu biar bisa di lihat sama elo.” Matcha merasa geli sekaligus mual melihat konsep lukisan Nara. Tangannya mulai sibuk meraih kepala Nara, yang berusaha di tangkis dengan cekatan oleh cowok itu. Ternyata cowok sejenius Nara bisa juga bingung nentuin konsep lukisan. Masa iya, persahabatan di gambarkan dengan: Bunga+Kumbang, Korek Api+Api, Kepala cewek+cowok yang berhadapan dan Piring+Sendok. Ya bener sih, gambar-gambar tersebut melambangkan kebersamaan, tapi rasanya kok intim banget, ya? Bikin ngakak nggak sih? Akhirnya dengan sebuah diskusi pendek dan perdebatan kecil, mereka memutuskan menggambar tangan yang saling menggenggam erat. Seolah tangan tersebut tidak akan terpisahkan oleh apapun yang akan berusaha melepaskan genggaman itu. Mungkin tanpa mereka sadari, itu adalah gambaran kehidupan mereka di masa depan. Bahwa kasih sayang dan cinta adalah pemenang dalam sebuah kebersamaan. Sekian jam kemudian, mereka berdua tersenyum melihat hasil karya lukisan mereka. Meskipun hanya sekedar ikut memoleskan sedikit warna pada lukisan itu, tapi setidaknya Matcha sudah menyumbang sebuah ide.   *****    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN