Aku setengah berlari menyusuri koridor sekolah. Aku datang di waktu yang sangat mepet sehingga harus benar-benar mengejar waktu. Karena selain karena tidak mau masuk BK, jam mata pelajaran pertama adalah Matematika.
Yups, benar. Pak Lele alias pas Hamidi adalah guru pengajar Matematikaku. Aku pasti akan jadi bahan sambel kacangnya jika sampai telat.
Aku pun mempercepat lariku dan tanpa sengaja menabrak seseorang yang muncul mendadak, membuatku terhempas dan terjatuh.
"Aduh," rintihku saat kurasakan sakit di sekitar pantatku karena jatuh duduk.
“Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Aku membeku. Aku kenal suaranya!!!
Aku mendongakkan kepalaku dan senyum lebar.
"Mas Angga!!" pekikku girang.
Mas Angga tersenyum geli mendengarku teriak. Kakak kelasku yang ganteng itu mengulurkan tangannya.
"Sini, aku bantu berdiri!" katanya dengan senyuman maut.
Aku mengangguk. Kuterima uluran tangannya dan bangun dari dudukku.
"Makasih, mas!" kataku.
Mas Angga senyum lagi.
"Sama-sama,"
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya mas Angga.
"Ah, nggak apa-apa kok, mas!" jawabku.
"Syukur, deh!"
"Kok belum masuk mas?" tanyaku.
"Ah, iya, ini mau ke lab, ntar lagi praktek!" katanya.
"Oh," kataku sambil ngangguk-ngangguk.
"Terus kok Ina nggak masuk kelas?" tanya mas Angga heran.
"Waduh!!" pekikku panik.
Baru ingat kalau pak Hamidi selalu on time.
"Mas, aku masuk dulu ya! Bye!" pamitku lalu bergegas ke kelasku.
Jreng..
Aku membatu. Pintu kelas sudah tertutup rapat, itu artinya pak Hamidi sudah di dalam. Lalu gimana caranya aku mnembus nih pintu biar nggak ketahuan?
Aku terus berpikir sambil berdiri depan pintu, tidak berani ngetuk apalagi masuk. Tak lama kemudian setelah sepuluh menit berlalu, pintu terbuka.
Keajaiban!!
"Lho, Na? Kok nggak masuk?"
Aku diam, mengerutkan dahi dan jujur saja sedikit menganga.
"Alfa?!!!" seruku kaget.
"Iya, ini aku. Kamu pikir siapa?" tanya Alfa santai.
"Pak Hamidi mana?" tanyaku.
"Oh, hari ini nggak masuk!" jawab Alfa santai.
"Hah? Terus ngapain aku berdiri kayak kecoak terhadang banjir sejak tadi?" tanyaku kesal.
"Yah salahmu sendiri! Suruh sapa nggak masuk," kata Alfa lagi-lagi dengan nada santai.
"Ya, kan aku nggak tahu pak Hamidi nggak masuk, Fa!" kataku membela diri.
Alfa senyum.
"Makanya lain kali jangan telat!" katanya sok memberi nasehat.
"Kayak kamu nggak pernah telat aja!" gerutuku kesal.
"Emang nggak pernah, kamu tuh keseringan telat!" balas Alfa.
"Bawel!" kataku lalu masuk kelas.
"Lah, dinasehatin malah marah!" omel Alfa.
Aku pun mengabaikan Alfa, terus berjalan lalu duduk di dekat Alka, sahabat plus teman sebangkuku.
"Lama amat, Na! Aku pikir kamu nggak masuk," kata Alka.
"Masuk, cuma tadi aku bangunnya kesiangan," kataku menjelaskan.
"Pasti jam wekermu nggak nyala lagi," tebak Alka.
Aku menggeleng.
"Nyala, kok!" sanggahku.
"Terus kok masih telat bangun?" tanya Alka heran.
"Aku bunuh," jawabku.
Alka ngakak.
"Dasar!!" kata Alka sambil ketawa.
Aku pun ikutan tertawa.
"Ngomong-ngomong, cerita dong gimana ceritanya kamu bisa kenalan sama mas Angga?" tanya Alka mulai menagih ceritaku soal kronologis perkenalanku dengan mas Angga.
"Jadi, kemarin pas aku kena hukum keluar kelas, kepalaku kena timpuk bola basket," kataku mulai cerita.
"Eh? Kena timpuk? Siapa yang nimpuk kamu?" tanya Alka penasaran.
"Mas Angga,"
"Wadow, kebetulan amat ya!" komentar Alka.
"Huum, banget! Terus pas aku ke parkiran ngambil sepeda motorku, aku ketemu lagi sama mas Angga," kataku melanjutkan ceritaku.
Alka ngangguk-ngangguk.
"Terus?"
"Terus mas Angga nyapa aku, akhirnya kita kenalan, deh!" kataku mengakhiri ceritaku.
"Gitu doang?" tanya Alka heran.
Aku ngangguk.
"Kamu nggak nanyain nomernya?" tanya Alka.
Aku menggeleng. Sementara Alka menepuk ringan jidat.
"Terus gimana caranya kamu pdkt kalau gitu, Na!" kata Alka sambil nepuk jidat.
Aku hanya nyengir.
"Barusan aku ketemu lagi," kataku.
Alka menatapku tidak percaya.
"Sumpah kamu?" tanyanya tidak percaya.
Aku mengangguk.
"Wah, kalian udah takdir tuh! Gebet, pepet sampe dapet!" kata Alka semangat.
"Apanya yang dapet?"
Pertanyaan tiba-tiba itu seketika membuatku dan Alka menoleh. Alfa sudah berdiri di dekat bangku kami.
"Mau tahu aja, ini urusan cewek!" kata Alka sewot.
"Idih, sok urusan cewek! Kalian gosipin aku ya?" kata Alfa kepedean.
"Njir, ogah gila gosipin kamu!" sanggah Alka.
"Terus kalian ngomongin apaan?" tanya Alfa lagi.
"Ada, deh!" jawab Alka main rahasia.
"Tuh kan, nggak ngasih tahu! Fix, kalian ngomongin aku, iya kan?" kata Alfa ngotot.
"Nggak, Fa! Kami nggak gosipin kamu, kok!" kataku meyakinkan Alfa.
"Terus ngomongin siapa?" tanya Alfa masih penasaran siapa yang kami bicarakan.
"Kami lagi bicarain mas Angga," jawabku.
Alfa manyun.
“Angga? Yang wakil ketua OSIS itu?” tebak Alfa.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Kamu beneran mau sama dia?" tanya Alfa rada BT.
"Emang kenapa? Dia ganteng, tuh!" celetuk Alka.
"Gantengan juga aku," sanggah Alfa.
"Hah? Gantengan kamu darimana? Dari ujung sedotan?" dengus Alka kesel.
"Dari kaca pembesar juga udah kelihatan kalau aku lebih ganteng," balas Alfa.
Alka mendecih.
"Kepedean gila!" dengus Alka.
"Bukan kepedean, kenyataan!" sahut Alfa lagi.
"Najis,"
"Kamu aja katarak!"
"Udah-udah, jangan berantem!" leraiku.
"Gantengan aku," kataku menimpali.
Alfa dan Alka kompak melirikku.
"Hah?"
“Aku cowok buat Alfa, jadi aku lebih ganteng daripada dia atau mas Angga. Sebagai cewek, aku nilai Alfa dan mas Angga sama-sama ganteng, udah gitu!" kataku.
Alka manyun.
"Alfa aja katarak ngatain kamu cowok," ujar Alka.
"Heh, aku nggak katarak ya!" bantah Alfa.
"Kalau nggak katarak, trus apa? Silinder atau juling?" tantang Alka.
"Mataku normal, tauk!"
"Aduh, berisik amat dah! Diem!!" teriakku saat Alfa dan Alka berantem lagi.
"Udah, Fa! Kamu ke bangkumu sana!" usirku.
Alfa manyun.
"Istirahat ikut aku, Na!" kata Alfa.
"Hah? Kemana?" tanyaku heran.
"Ke kantinlah," jawab Alfa.
"Ngapain? Uang sakuku mepet," kataku.
"Aku traktir,"
"Tumben," kataku heran.
Alfa senyum.
"Anggap aja kencan," kata Alfa pelan.
"Eh?"
"Aku mau buktiin kalau aku bisa melihatmu sebagai cewek," kata Alfa.
"Cewek sebagai nenek-nenek umur 60 tahun lagi?" tanyaku.
Alfa menggeleng.
"Sebagai Ina yang remaja," sahutnya sembari senyum.
Deg!
Jantungku berdebar!
Aku terdiam, sepertinya ruhku baru saja mendarat di Venus.
"Na, Ina!!!" teriak Alka.
Aku tersadar lalu menoleh pada Alka.
"Apa?" tanyaku dengan wajah masih setengah sadar.
"Alfa itu cuma cowok BBF!" kata Alka menegaskan.
Aku masih diam.
"Jangan baper, kalau nggak sesuai ekspektasimu nanti sakit hati lagi lho!" Alka mengingatkan.
Aku mengangguk sembari menghela napas panjang.
"Kamu harus nyoba buka pintu hatimu buat cowok lain," saran Alka.
Aku hanya mengangguk.
"Alfa kamprett!!!"
Teriak itu membuatku dan Alka menoleh. Si Alfa-cowok yang katanya mau nyoba ngeliat aku sebagai cewek itu lagi asyik bercanda sama si Sonia, mantan gebetannya.
"k*****t!" dengusku kesal.
Bener kata Alka, Alfa itu cuma cowok BBF.
Oke, mulai detik ini aku bersumpah, bakal ngemusnahin si Alfa dari hidupku.
Pasti.