Gejolak Panas di D*da

1110 Kata
"Ch! Kau pikir aku akan percaya begitu saja?" Ariana berdecih sinis, menolak percaya pada pengakuan open mariage Haniel. "Bahkan jika pengakuammu benar, itu artinya kau lebih menjijikan, Dok. Kau mencari pelampiasan di luar bersamaan itu ..." Kalimat Ariana terjeda, pikirannya seketika linglung, tak sanggup untuk melanjutkan, bahkan hampir menangis. GREB! Namun dengan sigap tubuh Haniel segera mendekap untuk menenangkan gadis yang telah menyita perhatiannya belakangan ini. "Tidak. Jangan berpikiran kesana karena aku berani bersumpah dan bahkan bisa membuktikan jika aku sudah tidak berhubungan badan dengan istriku dalam waktu lama." Haniel yang sudah tahu isi kepala Ariana pun segera meluruskan dugaan liar sang gadis. "Haniel, Please. Aku lelah berdebat—" "Ariana, please. Kau sudah berjanji akan mendengarkanku, bukan?"nHaniel melerai pelukannya, tak ingin kentara melebihkan psicaly touch, khawatir Ariana semakin muak. Di sisi lain, Ariana merasa seluruh tubuhnya dipenuhi oleh gelombang emosi yang saling bertabrakan. Ingin rasanya meronta, menolak setiap penjelasan yang keluar dari mulut Haniel. Setiap kata yang diucapkan pria itu seakan menusuk logikanya, membongkar perlahan-lahan dinding pembenaran yang ia bangun selama ini. Tapi anehnya, meski kemarahan masih membara, kakinya tak berdaya sedikit pun untuk beranjak, seakan mati rasa. Suaranya yang ingin meledak-ledak tiba-tiba melemah, mati di tenggorokan, seolah dicekik oleh ketenangan Haniel yang begitu menguasai ruang. Haniel, sosok psikater cerdas dengan jam terbang tinggi—seorang yang telah menghadapi ratusan, mungkin ribuan orang dengan masalah jauh lebih rumit daripada dirinya. Apakah hal tersebut yang membuat ucapannya begitu memikat? Seolah setiap kalimat yang ia lontarkan bukan sekadar kata-kata, melainkan mantra halus yang menyelinap ke dalam pikiran, melumpuhkan keinginan untuk melawan. Ariana tahu ia seharusnya marah dan beranjak pergi, tapi sesuatu dari cara Haniel berbicara, intonasi yang lembut nan tegas serta pilihan kata yang tajam tapi tak menyakiti, membuatnya terjebak dalam diam yang tak kuasa ia lawan. Gadis itu mengeratkan jemarinya, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kemarahan yang masih tersisa. Tapi semakin ia mencoba melawan, semakin kuat pula daya tarik ucapan Haniel. Seakan-akan kemarahan dan penolakan Ariana hanyalah ombak kecil di tengah samudra ketenangan sang pria. Ariana hampir tak percaya betapa mudahnya Haniel meluluhkan perlawanannya, padahal beberapa menit lalu ia begitu yakin akan pendiriannya. Apa karena dia seorang psikater yang sudah terbiasa menghadapi orang-orang sepertiku? pikir Ariana dalam hati. Atau memang ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat siapapun, termasuk diriku sendiri? Hingga pada akhirnya, Ariana pun pasrah dan berkata, "Baiklah. Hanya lima menit, Dok." Senyuman tipis nan manis tesungging dari belah ranum sang pria. Haniel malah berani berjanji bahwa waktu yang ia butuhkan kurang dari lima menit. "Pernikahanku lebih mirip pernikahan kontrak. Direktur rumah sakit ini yang memintaku menikahi putrinya." "What!" Ariana terkesiap tak percaya. Haniel lantas mengakui bahwa awalnya memiliki perasaan khusus pada putri direktur Rumah Sakit bernama Grace Xavier yang pernah ia lihat dalam beberapa kesempatan. Tak lama berselang, Haniel merasa doanya dikabulkan oleh semesta karena secara tiba-tiba Direktur Rumah Sakit bernama Grant Xavier melakukan pendekatan putrinya dengan Haniel bahkan hingga tercetus meminta Haniel menikah dengan Grace. Awalnya Haniel menyangka dirinya tertimpa rezeki nomplok, karena tak ada yang aneh dengan Grace dari awal kenalan hingga menikah. Wanita yang ia taksir seolah menaksir balik. Namun, fakta pahit terungkap setelah beberapa minggu menikah, Grace terpergok membawa pria lain kala Haniel pulang larut. "Normalnya sebagai pria, aku meminta penjelasan dan saat itu Grace memberikannya. Ia mengaku bahwa selama ini, bahkan sebelum menikah denganku, Grace memiliki kekasih yang ia cintai. Mereka melanjutkan memadu kasih sementara Grace menawarkanku untuk menjalani pernikahan terbuka," beber Haniel seraya mengenang masa lalu kelam itu. "Aku tentu marah, Ari. Hari itu juga aku menelpon ayah mertuaku dan protes bahwa Grace telah memiliki kekasih yang sama-sama saling mencintai. Aku bertanya kenapa tidak menikahkan Grace dengan pria itu. Dan kau mau tau jawaban direktur apa?" Haniel kini melempar tanya pada Ariana. Spontan Ariana menggeleng kepala pelan. "Direktur membongkar semuanya, menawarkan sesuatu yang tak bisa kukembalikan sebagai imbalan. Tuan Xavier sengaja menikahkanku dengan putrinya untuk menjaga reputasi nama besar keluarga dan mengorbankan perasaan tulus ini." Lagi-lagi, Haniel terlihat tegar padahal ia sedang menceritakan kepedihan nasibnya. Ariana pun takjub sekaligus prihatin. "I'm so sorry to hear that, Dok," ujar Ariana merasa bersalah. "Kau tidak salah, Ari. Aku justru ingin mengucapkan terima kasih." Haniel menyelipkan lembut rambut Ariana. "Thanks for coming into my life," lanjut Haniel tulus disertai tatapan teduh. Meski jawaban dari Haniel terkuar fetail, tetap saja, Ariana butuh waktu untuk memproses. "Tapi ... sejujurnya aku tidak tahu lagi tentang kita, Dok. Aku ... perlu waktu untuk memproses." "I know. Take your time, Ari. Aku selalu di sini." Tak lama, Ariana memutuskan untuk pergi dari ruangan Haniel tanpa bertanya lebih lanjut. Dilema pun memghantui. Di tengah hubungan yang hanya sebatas chemistry partner s*x, Ariana bisa saja memutuskan berhenti. Nanum, aneh, hati kecilnya seakan berbisik kebalikan, tak ingin mengakhiri apapun yang terjadi antara dirinya dan Haniel karena terlanjur candu. Beberapa saat kemudian. Ariana yang sudah memiliki janji mengunjungi rumah tunagannya Max malah membelot menerima ajakan makan malam bersama di rumah Zeyana. "Kau yakin meng-ghosting tunaganmu?" tanya Zeyana memastikan pada Ariana yang sedang menyetir. Kali ini, giliran Zeyana yang numpang mobil Ariana. "Hmm, aku yakin. Tunangan sialan itu pantas mendapatkannya," jawab Ariana enteng. Zeyana pun tertawa lepas. "Kau ternyata diam-diam berbakat sadis, Ar. Bedanya aku lebih suka frontal." Obrolan kedua sahabat itu mengalir natural dan hangat. "Oh, iya. Aku akan membeli beberapa menu makanan. Dan juga, kau jangan kaget nanti saat bertemu kakak tiriku, ok. Dia sedikit playboy," tutur Zeyana memperingatkan. "Kau tenang saja, aku sudah mahir mengatasi playboy, AHAHAHA. Aku calon psikiater cemerlang di masa depan." Obrolan mereka berlanjut seru hingga tak lama keduanya sudah tiba dirumah kediaman Zeyana. "Hey, Zee," sapa sang mama pada Zeyana. Kestrel terlihat menyambut putrinya di ruang tamu dekat pintu. "Hey, Mom," sapa balik Zeyana santun. "Uhm, omong-omong, dimana temanmu? Apa dia tidak jadi datang?"btanya Kestrel penasaran. "Ada, Mom. Ari akan segera masuk." Benar saja, tak sampai sepersekian detik, Ariana memunculkan presensinya. "Selamat malam, Tante." Di saat bersamaan, kenangan masa lalu Kestrel seakan tertuang saat itu juga. Kestrel menatap lekat ke arah Ariana yang kini sudah tumbuh dewasa sedangkan dirinya mulai menua. Tidak salah lagi, kau putri Bianca, gadis kecil yang sangat kusayangi dulu, batin Kestrel seketika menyendu. "Hai, Ariana. Senang bertemu denganmu, Gadis Cantik," cicit balik Kestrel, membawa Ariana ke dalam pelukan singkat. "Terima kasih, Tante. Kau pun sangat cantik." Kestrel hanya membalas pujian Ariana dengan senyuman singkat, seakan ada sesuatu tersembunyi di sana. "Sayang sekali kita sudah menjadi asing, Ari. Ini semua karena keserakahan mamamu yang saat masih bersuami tapi juga selingkuh dengan pria incaranku. Tapi, melihatmu hari ini semakin membuatku yakin jika semesta ... mengizinkanku untuk memberikan karma perbuatan Bianca, si sahabat serakah," guman Kestrel dalam hati yang mulai bergejolak panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN