Hati Ariana tiba-tiba terasa seperti diremas-remas, sakitnya menusuk dalam-dalam. Pernyataan Zeyana barusan masih bergema di telinganya, seolah menggantung di udara, tak mau hilang.
Haniel sudah menikah.
Kalimat itu begitu sederhana, tapi dampaknya seperti petir yang menyambar di siang bolong. Dad*nya sesak, napasnya tersendat, dan dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar.
Bagaimana bisa aku sebodoh ini?
Pikiran itu menghantamnya tanpa ampun. Ariana memandang ke bawah, jari-jemarinya gemetar mengepal. Selama ini, dia begitu yakin, begitu nyaman dengan Haniel. Sentuhannya yang hangat, senyumannya yang menenangkan, kata-katanya yang selalu tepat—semuanya membuatnya terbuai. Seolah tak ada yang salah. Seolah Haniel benar-benar tempat ternyaman di dunia versinya.
Tapi nyatanya, di balik semua kelembutan itu, ada kebohongan besar. Haniel telah mengikat janji dengan orang lain, dan Ariana? Dia hanya orang bodoh yang terlalu malas mencari tahu. Ariana terlalu percaya dan kini ia merasa kotor.
Mengapa aku tidak mengecek? Kenapa aku begitu naif? Air matanya mati-matian ditahan di depan Zeyana imbas malu dan kecewa. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan. Dia terjebak dalam ilusi, dan sekarang, ilusi itu hancur berkeping-keping—menyisakan luka yang mungkin tak akan pernah benar-benar sembuh.
"Nona Ashford. Bisakah kita bicara?" panggilan Haniel menyeruak di tengah pikiran Ariana yang sedang kacau.
"Tidak. Aku ... harus pulang," tegas Ariana panik dan kecewa. Dirinya buru-buru pergi setelah sempat pamitan singkat pada Zeyana.
Di sisi lain, Haniel yang merasa ada yang tak beres, tak langsung bereaksi panik atau pun mengejar. Profesinya sebagai psikiater sudah membuat pria berusia 27 tahun itu terlatih untuk tenang di tengah situasi apapun.
Terlebih, Zeyana masih ada di sana, memasang mimik sedikit curiga pada gelagat Haniel dan juga sikap Ariana.
Tak ingin dicurigai, Haniel dengan nada datarnya pamit berlalu dari hadapan Zeyana.
Tak sampai beberapa langkah—masih di lorong rumah sakit, Haniel mulai mempercepat langkah, nyaris setengah berlari untuk mengejar Ariana lewat jalan lain menuju parkiran dimana mobil sang gadis terparkir.
Di sisi lain, Ariana berjalan terhuyung dengan da*anya yang cukup sesak menuju mobil sport-nya.
Ia masih tidak percaya dengan kejadian barusan dan ingin segera pergi dari sana secepatnya.
"Ari."
Tak lama, Ariana terkejut hebat kala Haniel memanggil namanya bersamaan saat akan membuka handle pintu mobil.
Sempat menoleh ke arah Haniel dengan tatapan benci, Ariana dengam cepat berniat masuk ke dalam mobil.
Sayangnya, Haniel lebih dulu bergerak cepat mencegah. "Apa aku melakukan kesalahan? Apa ada metodeku membuatmu tersinggung, hmm?" tanya Haniel lembut.
"Tidak ... tapi kau telah berbohong, Dok."
"Berbohong? Apa maksudmu?"
"Aku tau kau sudah menikah dan kau hanya ... memanfaatku untuk bersenang-senang?" tuduh Ariana disertai sorot amarah.
Sementara Haniel terdengar menghela napas. "Ari, listen to me."
"No, Dok. Aku tidak mau mendengar penjelasan. Aku tau kau pasti beralasan pertemuan pertama kita memang sama-sama yang menginginkan, bukan? Fine, aku bisa terima. Tapi, tadi pagi, saat kali kedua." Ariana mengusak frustrasi wajahnya. "Kau punya kesempatan. Dok. Kau punya kesempatan memberitahuku, tapi kau tidak berusaha."
"Ari, please. Calm down. Aku akan menjelaskan, ok." Haniel tetap bersikap tenang, tak ingin gegabah meski saat maju satu langkah, Ariana seolah jijik dan mundur.
"Aku bilang tidak, Dok. Minggir atau aku teriak," ancam Ariana pelan, tapi penuh tekanan.
Dalam ilmu psikologi manusia, sekalipun pembelaan benar, emosi lawan bicara yang sedang kacau tak akan pernah bisa menerima dan malah akan semakin memperburuk keadaan.
Terlebih, posisi perdebatan dirinya dan sang gadis berada di parkiran rumah sakit. Haniel memutuskan untuk tidak terbawa arus emosi Ariana meski sebenarnya ingin menjelaskan.
"Baiklah. Hubungi aku jika kau sudah tenang, Ari. Maka kau akan mendapat jawaban." Haniel membukakan pintu mobil Ariana penuh ketulusan, meski sebenarnya tak rela gadis itu pergi tanpa mau mendengar penjelasannya.
Sementara itu, tanpa membalas pernyataan Haniel, Ariana masuk dan lalu membanting pintu mobilnya kasar. Mesin khas mobil sport lantas menderu, mulai melaju kencang meninggalkan Haniel yang menetap di sana.
Derai bulir bening cukup lebat keluar dari pelupuk mata Ariana, sembari sesekali ia memukul setir mobil penuh emosi, meratapi kebodohan dirinya.
Bagaimana bisa setelah diselingkuhi, dalam rentan waktu singkat malah dimanfaatkan oleh pria beristri.
Kau benar-benar bodoh, Ari. Arggg!!!
***
Setelah sampai di rumah, Ariana mendekam di kamar, tak memilki mood keluar lagi. Dirinya hanya ingin bersembunyi dibalik kehangatan selimut walau aksinya jelas tidak menyelesaikan masalah.
Ariana juga bersyukur Bianca sang mama masih sibuk di galery karena jika tidak, Bianca mungkin sudah menceramahinya. Belum lagi, sang mama bagaikan pemantau penghubung asmara dirinya dan Max.
TOK TOK!
"Ari, apa kau di dalam?" tanya Luis.
"Ya, Papa."
Ariana lantas mempersilahkan Luis masuk.
"Hey, bagaiamana harimu?" Luis mendekat dan lalu duduk di tepi ranjang sang putri.
"I'm good, Pa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kilah Ariana.
Luis pun menatap lekat putrinya untuk sejenak. Ia merasa ada keresahan di wajah putrinya. "Benarkah? Tapi mengapa aku merasa ada keresahan yang kau sembunyikan?"
Sial. Ariana hampir lupa bahwa Luis juga sempat mengambil ilmu psikolog untuk mempelajari psikologis manusia.
"Kau ingat kan saat memutuskan untuk mengambil jurusan psikolog, bukan? Saat itu kau ingin sekali memahami emosi diri sendiri dan juga orang lain. Tapi, Nak ... " Luis menjeda kalimatnya sejenak. "Jangan lupa bahwa kau pun makhluk yang memerlukan bantuan jika sedang kesulitan. Papa atau mama akan selalu bisa kau andalkan."
Mendengar kata penenang dari Luis, Ariana sedikit merasa tenang. Namun, tetap saja, ia tidak bisa menceritakan sebuah keputusan bodoh yang sudah terlanjur belakangan ini. Luis pasti akan marah besar.
Ah, ini saatnya aku bertanya pada papa mengenai peluang pemutusan pertunangan dengan Max.
"Cukup tentang diriku, Pa. Aku hanya mengalami bad mood biasa karena kelelahan."
"Apa kau yakin?"
Ariana pun menganggukkan kepala dan lantas menggeser topik pembicaraan. "Omong-omong. Bagaimana perkembangan proyek penelitian dengan para ilmuan? Apa sudah membuahkan hasil?"
"Belum signifikan, Nak. Kami semua terus berupaya berkolabkrasi dengan tim untuk menemukan penjinak kanker yang lebih efektif dari segi apapun dari kemo."
"Lalu bagaimana seandainya jika ... aku ingin membatalkan–"
DRTTT!
Getar suara ponsel milikbLuis mendadak menyeruak sebelum Ariana menyempurnakan kalimatnya. "Maaf, Nak. Papa harus mengangkat panggilan ini dulu, ok?"
Terlihat seolah panggilan penting, Luis pun berlalu dari kamar Ariana.
"Ergh, mengapa harus ada gangguan?" decak Ariana cukup kesal.
Ngmong-ngmong soal ponsel, Ariana belum melihat benda pintar miliknya itu sedari pulang magang dalam keadaan marah tadi sore. Ia lantas memutuskan memeriksanya.
DEG!
Betapa terkejutnya Ariana saat membuka layar pertama, beberapa panggilan dan pesan dari, Max, Barbara dan Haniel tertampil di sana.
Seperti biasa, Max protes merasa diabaikan begitu juga dengan Barbara yang berpendapat sama.
"Bahkan pesan duo sampah ini dikirim dalam waktu hampir bersamaan. Aku yakin mereka sedang mengulang aksi panas lagi." Ariana yang muak hanya bergumam seraya memutar bola mata dengan malas.
Di satu sisi, Ariana bersyukur pengkhiatan Max sudah tidak terlalu berdampak pada hatinya. Ia tinggal memikirkan jalan keluar dari pertunangan ini karena keharmonisan dua keluarga besarlah taruhannya.
Di sisi lain, luka baru dari Haniel terlanjur tercipta di hatinya. Meski baru mengenal beberapa hari, harus Ariana akui, chemistry dengan Haniel terjalin begitu luar biasa bahkan jika seandainya dengan gadis jatuh cinta padanya, Ariana mungkin akan mati-matian membuat Haniel menjadi miliknya.
Sayangnya, Haniel ternyata milik sah seseorang yang seharusnya tidak boleh diganggu gugat dan juga terlarang untuk tebar pesona. Sungguh memuakan.
DRRRRT!
Saat sedang jauh berangan sendu, panggilan Haniel masuk di layar ponsel Ariana.
Namun, sang gadis yang masih kesal langsung menggeser tombol merah pertanda menolak.
Tak lama setelahnya, pesan singkat dari Haniel masuk.
Dari Dokter Haniel:
Beri aku satu kesempatan menjelaskan, setelah itu keputusan ada di tanganmu.
Balasan dari Ariana:
Ok, satu kesempatan dan kupastikan apapun di antara kita akan berakhir.