Setelah seharian berjibaku dengan tugas-tugas klinis dan pertarungan batin yang tak kunjung reda, Haniel akhirnya menyerah pada lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga sesak yang menggerogoti dad*nya imbas apa hal menyakitkan yang dilakukannya pada Ariana tadi pagi. Bar kecil itu menjadi pelariannya. Tempat sempit dengan cahaya remang-remang, hanya diisi deretan botol alkohol dan alunan musik instrumental yang sayup-sayup membaur dengan gumaman para pengunjung lain. Meski begitu, Haniel tidak mendengarkan musik dan juga tidak juga peduli pada sekitar. Tangannya mencengkeram kuat gelas, menenggak isinya dengan cepat, seolah cairan pahit itu bisa membakar jauh rasa bersalah yang mengganjal. "Ariana ...." Nama terindah itu terngiang di kepalanya, membawa serta bayangan wajah yang pol

