Pagi itu, langkah Haniel terasa berat sekaligus tergesa. Malam yang ia lalui tanpa tidur nyenyak meninggalkan bekas—bayangan Ariana terus menghantui, membakar pikirannya dengan kenangan-kenangan yang seharusnya sudah ia kubur. Tapi hasratnya menggebu tak terbendung. Ia harus melihat gadis pujaannya, walau hanya sekilas. Dengan nafas yang tak karuan, Haniel menyusuri lorong rumah sakit yang dingin, setiap langkahnya seperti ditarik oleh magnet rindu yang menyakitkan. Ruang kerja miliknya—tempat di mana dulu mereka sering bertemu diam-diam, saling menyentuh, saling membakar. Ah, Ariana ... ia sangat merindukannya. Merindukan segalanya, senyumnya yang nakal saat mereka berbisik mesra, sentuhan jemari yang selalu berhasil membuat kulit Haniel merinding, bahkan permainan panas mereka di ata

