Before The Tragedy II

3043 Kata
Dengan gagah mobil Lamborghini Reventon melaju di dalamnya seorang pria tampan memakai tuxedo hitam mengendarainya. Mobil itu melaju menuju gedung sang pemilik, pria berahang tegas itu keluar dari mobilnya dan tepat setelah ia keluar dari mobil, tangan kanannya sudah sampai dengan mobil Aston Martin one-77 miliknya. Mereka masuk ke dalam gedung dengan gagahnya tanpa peduli pada gadis-gadis yang memekik tertahan melihat mereka. "Hans." panggil Ken pada Hans yang menjawabnya dengan berdehem, "Sebaiknya kau katakan pada Lucy bahwa kau mencintainya." Hans menatap Ken dengan tatapan angkuhnya, "Kenapa?" Ken menghela napas, "Saat Lucy mengungkapkan perasaannya di pantai kau tidak membalasnya." "Harus?" "Tentu saja, bagaimana kalau ia berpikir kau mempermainkannya?" Hans hanya diam menatap lurus kakinya masih melangkah menuju tujuan. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Gadis cantik itu tengah menyisir rambutnya yang sudah panjang menyentuh pinggang di hadapan cermin namun sesekali pikiran negatifnya menghantuinya, tatapan kosongnya seperti tengah berpikir. Tok....Tok....Tok.... "Masuk." Agnes masuk dengan pakaian maid khasnya dengan nampan yang di atasnya ada kotak yang berbentuk love berwarna merah berserta bunga Juliet Rose. Lucy langsung semangat dan menghampiri gadis itu. "Tuan memberikannya untuk nona." ucap Agnes. Lucy tersenyum, "Di mana Hans?" "Tuan belum pulang tapi paket ini baru saja datang dan nama pengirimnya adalah tuan." Lucy mengangguk kemudian Agnes keluar segera menutup pintu Lucy duduk di atas queen size-nya membuka kotak berbentuk love tersebut. Lucy tersenyum bahagia kotak besar itu berisi gaun berwarna hitam yang bertabur berlian serta sebuah surat yang bertulis tangan. Maaf Lucy, aku tidak bisa menemanimu tiga hari ke depan, aku ada urusan di Kanada, Itali, Jepang, dan Rusia setelah ini aku janji kita akan liburan bersama. Kemarin benar-benar menyenangkan, terima kasih telah mengajakku ke sana. I Love You Your lovely husband Lucy terkekeh, "Mengapa tidak kirim pesan saja? Sampai mengirim surat dan gaun seperti ini." Pasti surat kemarin orang yang membenciku dan menginginkan aku untuk pergi dari hidup, Hans. Tidak mungkin Hans hanya merasa kasihan padaku. Jika benar begitu, ia tidak mungkin mengajakku kencan dan memberiku surat padahal dia tengah sibuk. Setelah tiga hari tanpa Hans, Lucy merasa benar-benar menderita mereka hanya Video Call dan teleponan. Hari keempat Lucy bangun pagi membasuh dirinya dan memakai makeup tipis, hem putih dengan hot pants-nya. Dari pagi hingga malam Hans belum juga kembali membuat Lucy sedikit khawatir ditelepon pun tidak diangkat. Lucy mengintip ke jendela terus-menerus, matanya mulai mengantuk ia duduk di depan pintu untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal namun tanpa ia sadari ia tertidur. Pukul 01.04AM mobil berhenti di depan rumah, Hans menuju rumah bersama Ken juga beberapa anak buahnya di belakangnya. Ken membukakan pintu dan mereka semua terkejut mendapati Lucy bersender di salah satu pintu lainnya dengan keadaan tertidur. Hans menatapnya tersenyum lembut kemudian menggendong bridal gadis itu, wajah Hans terlihat khawatir tubuh gadis itu dingin kemudian membawanya ke kamarnya. "Kau menungguku sampai kedinginan begini? Bodoh sekali." Matahari menyilaukan menerobos kelopak mata Lucy, ia terbangun dan menatap Hans dengan sangat bahagia. Tidak mungkin Hans merasa kasihan padaku.... Hans mencintaiku.... aku yakin itu.... ia pun menulis surat bahwa ia mencintaiku. Lucy memeluk Hans dengan sangat erat membuat pria itu terbangun, hampir saja Hans memelintir tangan mungil itu. Hans memang tidak suka dibangunkan dan ia refleks memukul jika ia disentuh sembarangan. "Morning, honey." ucap Hans kembali menutup matanya. "Kau pulang jam berapa?" "Jam satu." Lucy mengerucutkan bibirnya, "I miss you." Hans membuka matanya dan mencium singkat kening gadis itu, "I miss you too." Lucy mengelus rahang tegas Hans, "Are you cheating?" Hans menutup matanya sambil tersenyum, "Stupid question." "Pasti gadis Jepang di sana sangat cantik dan penurut." pancing Lucy. Hans masih menutup matanya dan tersenyum, "Tentu saja, belum lagi dadanya yang berukuran D." "Brengsek." kesal Lucy memukul Hans dan memunggungi pria itu. Lucy merasakan lengan kekar pria itu melingkari perutnya dan bibir sexy pria itu berada di lehernya. "Are you jealous, sweet heart?" Hans menyeringai sexy. "Oh no, no way." kesal Lucy dengan nada malas. "If you want to, i can make it." "Make what?" Lucy menaikkan alis kanannya. Hans membisikan Lucy sensual, "Your breast become D." Lucy memerah, "f**k you!" Hans kembali menutup matanya dan tersenyum, "f**k me." Detik selanjutnya Lucy dapat merasakan bibir Hans menempel di lehernya dan tangannya merambat secara liar. "Hans." "Hm?" Lucy terlihat bingung apa harus ia memberitahu Hans tentang teror itu? Apa itu akan menambah beban pikirannya lagi? "Nevermind." "Bilang saja, aku akan mengabulkan semua permintaanmu." "Tidak, aku lupa." bohong Lucy. Hans masih bergerak liar tanpa henti, "Hari ini kita ke Indonesia." Lucy menutup matanya menikmati setiap sentuhan yang diberikan Hans di bagian sensitifnya, "Kenapa?" "Honey moon." ★ ★ ★ ★ ★ ★ Ken mencium bibir Sarah dengan paksa gadis itu terikat di king size milik Ken. "Lepaskan aku, k*****t!" Ken menyeringai, "Never, babe. Your place in here now." "Ayahku akan mencariku dan melapor pada polisi!" Kesal Sarah menatap Ken dengan sangat benci ia benar-benar menyesal menyukai pria seperti iblis ini. "Kau salah, sayang. Aku sudah bilang pada ayahmu saat kita kencan kemarin bahwa kau akan tinggal denganku." seringai sadis Ken. Sarah menjatuhkan bulir beningnya, "Lepaskan aku! Aku bukan p*****r, dasar k*****t!" Ken kembali mencium leher Sarah membuat Sarah terus menghindar namun nihil. Ken membuka pakaian Sarah membuat gadis itu menangis, ia merasa Ken benar-benar melecehkannya. "Ken." panggilan dari suara sexy itu terdengar. Ken mendecih, "Bersiaplah untuk merasakan sakit di selangkanganmu, sayang." "k*****t!" Teriak Sarah kemudian airmatanya tumpah begitu saja. Ken keluar menemui Hans yang sudah siap dengan kopernya, tatapan Ken jatuh ke leher Lucy yang terdapat bercak-bercak merah alias kiss mark begitu juga leher Hans. Ken menaikkan alis kanannya. "Kalian akan ke mana?" "Indonesia." jawab Hans dingin. Ken menebak, "Honey moon?" Lucy mengangguk mengiyakan kemudian gadis cantik itu melihat rambut Ken yang acak-acakan dan beberapa kancing terbuka. "Apa kau sudah memulangkan Sarah?" Ken memutar kedua bola matanya ia benar-benar malas berdebat dengan gadis cerewet itu, Ken mengangguk sebagai jawaban sementara Hans menatapnya tajam sebab ia tahu Ken berbohong. "Kau akan ikut?" Tanya Hans. Ken terlihat berpikir kemudian ide cemerlang terlintas di dalam otaknya, "Tentu saja." "Tapi jangan mengganggu." peringat Hans frontal. Ken tidak kalah frontal, "Lebih baik aku melakukannya juga daripada mengganggumu." "Baguslah." ucap Hans terang-terangan. Sementara Lucy menatap jijik kedua makhluk itu, Hans pergi ke kamarnya dan Lucy ingin pergi ke kamarnya namun ditahan oleh ucapan Ken. "Aku akan mengajak Sarah." Lucy menatapnya dengan tatapan membunuh, "Jangan ganggu dia." "Aku sedikit menyukainya tapi aku tidak bisa bilang padanya." Lucy memutar kedua bola matanya, "Dasar angkuh, karena itu kau memperlakukannya seperti p*****r?" "Jika tidak seperti itu ia akan kabur." "Dasar sialan, kau seharusnya memperlakukannya dengan lembut jika kau memang menyukainya.“ "Aku tidak bisa. " ucap Ken memberi jeda, "Saat aku mencoba untuk lembut ia malah salah paham." Lucy memutar kedua bola matanya, "Kau serius?" Ken ikut memutar kedua bola matanya, "Aku paling benci bicara omong kosong." Lucy tersenyum, "Baiklah, aku akan mengajaknya." Lucy mengeluarkan ponselnya membuat Ken bertanya, "Apa yang kau lakukan?" "Meneleponnya." jawab Lucy. Ken memutar kedua bola matanya, "Ikut aku." Lucy menatapnya bingung kemudian mengekor menuju kamar Ken. Betapa terkejutnya Lucy saat mendapati Sarah terbaring dengan tangan terikat, mata gadis itu membengkak, keringat bercucuran, dan dalam keadaan naked. Lucy menatap benci Ken. "b******n, kau-" ucap Lucy terpotong yang langsung disambar oleh Ken. "I told you." Sarah menangis, "Lucy, tolong aku." Lucy mendekati temannya dan Ken di belakang sana mengunci pintu. Lucy melepaskan ikatan gadis itu dan langsung saja Sarah memeluknya menangis tersedu-sedu. "Lucy, tolong aku." Lucy tersenyum iba dan menghapus airmata gadis itu, "Apa kau ingin ikut denganku?" "Tentu saja! Jauhkan aku dari pria k*****t itu!" Lucy menatap tajam Ken, apa yang Ken lakukan sehingga Sarah memiliki trauma seperti ini? Ken hanya menatap kedua gadis cantik itu datar. "Lucy!" Panggilan suara berat nan sexy itu membuat semua pasang mata menoleh pada pintu. Lucy tersenyum pada Sarah, "Aku harus pergi, kau bersama Ken." Sarah menarik tangan Lucy, "Tidak, jangan tinggalkan aku! Bawa aku Lucy!" Lucy mengelus pipi gadis itu, "Semua akan baik-baik saja." Lucy pergi mendatangi Ken, "I cut yours if you hurt her." Lucy merampas kunci dari tangan Ken dan keluar, Ken menyeringai. "I won't hurt her, we just have fun." jawab Ken menatap Sarah dengan seringai iblisnya. Ken kembali mengunci pintu dan mengambil paperbag di atas sofanya, "Mandi sendiri atau aku yang memandikanmu?" Sarah menatap benci Ken, "Hingga mati pun aku tidak akan mau menurutimu, k*****t!" Ken menyeringai sadis, "Baiklah kau memaksaku untuk melakukan ini." Ken tersenyum simpul kemudian menarik Sarah ke dalam kamar mandi. ★ ★ ★ ★ ★ ★ Malvin menatap jendela kantornya, ia benar-benar merindukan kedatangan gadis asia itu untuk menemuinya. Malvin mengutak-atik ponselnya, ia mengharapkan ada sesuatu yang menarik di ponselnya pada saat itu juga ponselnya berdering menandakan ada yang menelepon segera ia mengangkatnya tanpa peduli siapa yang meneleponnya. "Hallo?" "..." "Mengapa kau meneleponku?" "..." "Terserah." "..." Malvin melihat jamnya, "Baiklah, kita akan bertemu di Carlyle Cafe jam 3." ★.★.★.★.★.★ Lucy bergelayut di lengan kekar Hans, saat ini mereka berada di bandara Jakarta. Lucy melihat ke belakang Ken tengah menggendong Sarah seperti karung beras. "Lepaskan aku!" Minta Sarah ia malu setengah mati. "Tidak, kau akan kabur." jawab Ken berjalan dengan tangan kanan memegang kaki Sarah dan tangan kirinya menarik koper. "Aku janji tidak akan kabur!" Minta Sarah dengan wajah seperti kepiting rebus. Ken menurunkannya dan memborgol tangan kanannya bersama tangan kiri Sarah, Sarah membulatkan matanya tidak percaya, pria itu benar-benar parah. Sementara Lucy menatap tajam Ken, Hans melihat ke arah Lucy langsung merangkul mesra pinggang gadis itu. "Kenapa? kau mau juga?" Tanya Hans. "Apa kau gila?" Tanya Lucy tidak percaya. Hans menyeringai tipis tangannya yang tadinya di pinggang Lucy merambat ke atas menyentuh dadanya, dengan cepat Lucy menepisnya. Bagaimana jika ada yang melihat mereka? Hans mengulang-ulang perbuatannya itu membuat Lucy berdecak. "Hans! Bagaimana jika ada yang melihatnya?" "Mendesah dengan nyaring, agar mereka iri." jawab Hans asal yang mampu membuat Lucy terbelalak. Lucy langsung menatapnya dengan tatapan membunuh seperti ingin menelan Hans bulat-bulat namun pria itu malah memainkan ponselnya di tangan yang lainnya menarik koper milik Lucy. Gadis itu memanyumkan bibirnya kemudian matanya menjelajah mencari taxi biru. Tiba-tiba saja mobil Grandmax putih berhenti di depan mereka bertepatan ponsel Hans berdering. "Hallo?" "..." "Iya, saya bersama tiga orang lainnya." Hans memakai Bahasa Indonesia. "..." "Saya memakai baju kemeja putih." "..." Saat Hans menutup telepon, pengendara itu keluar dari mobil dan mengambil koper mereka dan memasukan ke dalam bagasi mobil. Hans langsung masuk diikuti Lucy, Ken dan Sarah. "Kau memesan Grab mobil?" Tanya Lucy yang hanya dibalas anggukan singkat dari Hans. Lucy melihat ke kaca mobil, "Kita akan ke mana?" "Rumahku." jawab Hans singkat. Sarah menatap Lucy, "Lucy, kita di mana? Kita akan pergi ke mana? Apa yang kita lakukan?" Lucy tersenyum lembut, "Kita akan berlibur, sayang." Hans langsung melirik Sarah dengan tajam kemudian ia menatap Lucy, "Kau saja tidak pernah memanggilku sayang dengan tulus." Lucy memutar kedua bola matanya, tersenyum dan berucap dengan malas, "My lovely Hans." Hans hanya terkekeh menanggapinya sementara Lucy jengah tanpa ia sadari mereka sudah sampai di rumah tingkat dua. "Ini rumahmu?" Tanya Lucy memastikan. Hans hanya menatapnya sebagai jawaban. "Apa rumahmu tidak ada yang kecil?" Tanya Lucy heran. Hans menghela napas, "Ini kecil, Lucy." Mereka keluar dari mobil dan Hans menyerahkan uang Rp,200.000. Supir itu ingin memberikan kembaliannya namun Hans mengangkat tangannya sebagai isyarat, tidak. Pintu terbuka, dibuka oleh seorang wanita tua. "Silahkan masuk, tuan." ucapnya memakai bahasa asalnya tanpa berani melihat langsung mata Hans. Hans langsung masuk diikuti Lucy, Ken, dan Sarah di belakangnya. Sarah merasa bingung ia merasa sangat jauh dari rumahnya sementara Lucy merasa nyaman duduk di sofa. "Ini di mana?" Tanya Sarah pada Lucy. "Indonesia." jawab Ken cepat. Sarah memutar kedua bola matanya jengah, "Aku tidak bertanya padamu." "Sopan sedikit pada calon suamimu." ucap Ken menarik tangan kanannya yang diborgol bersama Sarah. Sarah langsung menatapnya dengan tatapan membunuh namun di hati kecil gadis itu ia dapat sedikit kebahagiaan yang sebenarnya menurutnya adalah kebohongan Ken. Lucy menatap bingung borgol Ken, "Apa itu tidak mencurigakan?" Ken mendelikkan bahunya, "Tentu saja tidak, mereka pikir ini romantis." Lucy terkekeh, "Romantis sekali." "Aku ini memang tipe pria romantis." ucap Ken mengedipkan salah satu matanya pada Sarah membuat Sarah muak. "Dan juga mesum." ucap Lucy terkekeh. Ken menatap Lucy dan menyeringai, "Mengapa kau menyebutku seperti itu? Kau tahu bukan, sesuatu yang kita ucapkan itu melambangkan diri kita sendiri." Lucy langsung tersipu karena secara tidak langsung Ken menyebutnya m***m apalagi di depan teman dan kekasihnya, "T-Tidak!" Hans menatap tajam Ken sebagai tanda tidak suka, ia pergi ke lantai atas menuju kamarnya, Ken pergi ke kamar yang berada di lantai satu karena di situlah kamarnya. Lucy mengekor mengikuti Hans. "Ayo kita mandi." ajak Hans melempar handuk bersih berwarna putih. Lucy langsung tersipu, "Kita?" Hans memutar kedua bola matanya, "Kenapa? Kau ingin mandi dengan Ken?" Lucy menatap Hans tidak suka, "Kau bicara apa?!" Hans langsung menarik Lucy menuju kamar mandi namun Lucy mendorong pria itu keluar, "Aku bisa mandi sendiri!" Hans menghela napas, ia mengutak-atik ponselnya menunggu Lucy keluar setelah sekitar lima belas menit gadis itu keluar dengan baju handuk melekat pada tubuhnya. Hans langsung masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengeluarkan satu kata pun dan tanpa meliriknya sedetik pun. Lucy merasa ada yang aneh, mengapa Hans jadi sensitif? Lucy mengeringkan rambutnya dan matanya beralih pada tas makeup-nya. Lucy mengambil kopernya memakai lingerie hitam yang baru ia beli kemarin lusa. Gadis itu mengunci pintu, memakai makeup tipisnya dan duduk di atas king size-nya. Setelah itu Hans keluar dan langsung tidur memunggungi tanpa melirik ke arah Lucy sedikit pun. Gadis itu merasakan sakit di dadanya dan matanya mulai menghangat ia menangis dengan isakkan tertahan, ia berusaha menutupi isakkannya namun jika didengar baik-baik isakkannya dapat terdengar. Pria itu menghela napasnya kemudian berbalik menatap punggung sosok yang menangis itu perlahan lengan kekarnya memeluk gadis itu dari belakang, gadis itu masih menangis. "Sttt, don't cry." ucap Hans lembut. Lucy masih menangis di sela-sela isakkannya ia berucap, "Kau.... marah padaku?" "Aku tidak marah." Hans menghela napas. Lucy berbalik dan lengan kekar Hans tidak terlepas dari pinggang rampingnya, "Lalu?" Hans menghela napas, "Lupakan." "Hans." "Itu tidak penting." "Beritahu aku." minta Lucy menatap mata Hans dengan matanya yang masih menggenang airmata. Hans mendecih, "Kau akrab dengan Ken, aku takut kau bisa jatuh cinta padanya." Lucy menghapus airmatanya, "Itu tidak mungkin." Hans melihat pakaian Lucy dari atas hingga bawah, Lucy yang merasa tubuhnya dipandang apalagi tatapan Hans lebih lama berhenti di bagian atasnya ia langsung mengalihkan pandangannya, malu. "Ini ajakkan, bukan begitu?" Tanya Hans menyeringai sexy. Lucy tidak mengeluarkan suara namun rona di pipinya yang menjawab pertanyaan alias pernyataan itu. Hans melumat bibir gadis itu, tangannya menjalar secara liar. Cahaya matahari menyilaukan menerobos ke kelopak mata Lucy, gadis itu mengusap-usap matanya dan merasakan sakit di bagian intimnya, ia melihat ke arah Hans yang tertidur pulas dengan wajah dewanya. Ia mengingat kejadian tadi malam dengan wajah memerah, Hans lebih liar dari sebelumnya bahkan benar-benar ahli. "Mengingat kejadian tadi malam?" Tanya Hans namun matanya masih tertutup. Lucy terkejut dan kemudian tersenyum malu, ia menarik selimut untuk menutupi pundaknya, "Kau liar." Hans terkekeh, "Baru dua ronde." Lucy memerah, "M-memang kau ingin berapa?" Hans menyeringai dan dalam satu hentakan ia berada di atas Lucy, "Empat." Lucy berdetak dua kali lebih cepat apa Hans bercanda? Lucy merasakan sakit di bagian intimnya. "A-are you serious?" Tanya Lucy tidak percaya yang hanya dibalas seringai m***m oleh Hans dan memposisikan dirinya berada di tengah-tengah kedua kaki jenjang gadis itu. Hans dan Lucy terengah-engah, Hans membaringkan tubuhnya ia benar-benar lelah. Setelah berbaring cukup lama ia menatap Lucy yang masih kehausan napas, gadis itu terkulai lemas dan menutup matanya. Hans terkekeh kemudian membasuh dirinya ke dalam kamar mandi. Setelah selesai, ia melihat gadis itu menatap Hans lemas. Hans menyeringai, "Jika wajahmu terus seperti itu aku akan melanjutkannya." "Hans!" Kesal Lucy menutup pundaknya dengan selimut dan menutup matanya, "Aku tidak percaya kau memperkosaku." Hans terkekeh, "Aku tidak memperkosamu." Lucy menatap tajam Hans, "Kau memaksaku!" Hans menyeringai, "Aku tidak memaksamu, kau pun mendesah nikmat-" "Kau mengikatku!" Hans terkekeh mengeringkan rambutnya dengan handuk, "Salahmu memasang wajah menggoda." "Aku benar-benar kelelahan bukan untuk menggoda-" "Hanya empat ronde, Lucy." "Hanya kau bilang?! Kau tidak merasakan menjadi aku!" Hans membuka selimut menatap tubuh Lucy, "Coba kulihat." "Hans!" Dengan cepat Lucy menutup tubuhnya kembali dengan selimut. "Apa benar-benar sakit?" Tanya Hans sedikit khawatir. Lucy tidak menjawab ia menutup kepalanya dengan selimut dan memungginya. Hans menghela napas kemudian bangkit memakai kemejanya. "Kau ingin makan apa?" "Nasi kuning." jawab Lucy tanpa membuka selimutnya. Hans keluar dari kamarnya dan menuju lantai satu, ia mendapati Ken yang keluar dari kamar dengan bantal terlempar ke arahnya, rambutnya acak-acakan, kemejanya terbuka beberapa kancing, dan ikat pinggangnya terbuka. "Kali ini apa salahku?" Tanya Ken polos pada sosok yang melemparinya bantal dari dalam kamarnya. "Dasar bodoh!" Teriak Sarah. Hans menaikkan alis kanannya kemudian ekspresinya kembali datar, ia berjalan menuju dapur dan menemui maid-nya. "Nasi kuning, sandwitch, s**u, dan kopi ke kamarku." ucap Hans menuju ruang tamu. Di ruang tamu sudah ada Ken yang melempar dan menangkap kunci ke atas berulang-ulang. "Kau mengurungnya?" Tanya Hans menaikkan alis kanannya. Ken mengangguk, "Ia marah karena aku minta lagi setelah yang kedua kalinya." Hans menghela napas, "Lucy pun marah aku memaksanya." Ken menaikkan alis kanannya dan menyeringai, "Oh ya? Berapa ronde?" "Hanya empat." jawab Hans enteng dan melipat kedua tangannya di depan d**a. "Dan sekarang ia tidak bisa berjalan." Ken terkekeh, "How strong is she?" "Aku mengikatnya." jawab Hans santai. Ken tertawa, "Ukurannya B atau C? Aku menebaknya C." Hans memutar kedua bola matanya, "Bagaimana kalau Sarah? D?" Ken menyeringai m***m, "Pasti." "Mati kalian m***m!" Teriak Sarah dari dalam kamar sebab kamar Ken berdekatan dengan ruang tamu. Ken tertawa nyaring sementara Hans pergi dengan ekspresi datar seperti biasa, pria itu mendatangi Lucy yang menyetel TV tanpa bangkit dari king size-nya, Hans menatap makanan di atas meja yang tidak juga ia sentuh. "Kau bilang ingin makan itu tapi kau tidak memakannya juga." kesal Hans mengambilnya kemudian menyuapi gadisnya Lucy memakannya tanpa melirik Hans sedikitpun ia sepertinya masih marah pada pria itu namun tidak benar-benar marah. Hans mengacak-acak rambutnya dengan tangan kirinya. "Baiklah, aku minta maaf." kesal Hans. Lucy tertawa nyaring karena ia menonton komedi, Hans yang merasa diabaikan memanggil Lucy. "Lucy...." Masih diabaikan. "Lucy!" "Apa?!" Tanya Lucy kesal. Hans memeluknya, "Maaf." "Aku tidak suka dipaksa." kesal Lucy. "Aku tahu, maaf." "Tapi aku suka kau yang mesum." ucap Lucy menatap Hans dengan senyum nakalnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN