Prolog
Suara tawa anak-anak bergema riang di halaman sekolah dasar itu.
Langit membentang biru sempurna, dengan mentari yang menggantung hangat di atas kepala. Beberapa anak berlari-lari mengejar bola, sebagian melompat tali di bawah pohon, dan sisanya duduk bersila, sibuk membuat lingkaran dari tali plastik warna-warni.
Tapi di salah satu sudut halaman, ada suasana yang berbeda.
“Rambutmu kayak sapu, tahu nggak? Jelek banget!”
Tawa nyaring meledak dari seorang anak laki-laki bertubuh besar yang berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Dua anak di belakangnya ikut tertawa, wajah mereka penuh ejekan.
Di depan mereka, seorang anak perempuan berdiri terpaku. Rambut hitamnya yang panjang diikat dua, sedikit kusut karena tertiup angin. Dia menggenggam erat tas kecilnya di d@da, matanya mulai berair.
“Ayo dong, nangis lagi! Biar makin jelek!” Anak laki-laki itu melangkah mendekat, lalu dengan seenaknya menarik salah satu ikat rambut si gadis kecil.
“Au! Sakiitt.. Berhentii...”
Tangis gadis kecil itu pecah, tapi tangannya yang mungil tak mampu melindungi dirinya sendiri.
Tawa semakin keras. Beberapa anak lain menoleh, tapi tak ada yang berani mendekat.
Hingga tiba-tiba—BUGH!
Anak laki-laki bertubuh besar itu terjengkang ke belakang. Wajahnya menunjukkan keterkejutan saat tubuhnya membentur tanah.
Di depannya berdiri seorang anak laki-laki lain. Tubuhnya lebih kecil, tapi langkahnya mantap, dan tatapannya tajam.
“Laki-laki sejati nggak nyakitin perempuan!” Suaranya lantang, seperti guntur kecil yang membelah suasana gaduh.
Si tubuh besar bangkit dengan gusar. “Kamu cari masalah, ya?!”
“Kalau kamu berani sentuh dia lagi, aku nggak bakal diem!” Si anak laki-laki yang tadi mendoronganya menghadapinya tanpa rasa takut.
Mereka saling dorong. Tanpa aba-aba, perkelahian kecil pecah—penuh dorongan, pukulan kecil, dan gumaman marah.
Tangis si gadis makin keras. Air mata mengalir deras di pipinya saat ia mundur, tubuh kecilnya gemetar.
Beberapa langkah dari sana, seorang anak perempuan lain datang tergopoh-gopoh. Rambutnya juga diikat dua, wajahnya cemas melihat saudara kembarnya menangis dan dua anak laki-laki saling bergulat.
Tanpa banyak bicara, si kembaran segera berlari menuju gedung sekolah.
Beberapa menit kemudian, suara sepatu cepat menghampiri. Seorang guru datang dengan wajah keras.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Anak-anak langsung terpaku. Kedua anak laki-laki itu berhenti berkelahi, napas keduanya memburu.
“Siapa yang mulai perkelahian ini?!”
Tak ada yang berani menjawab.
Gadis kecil itu memandang anak laki-laki yang menolongnya, yang tubuhnya kini kotor penuh debu. Meski wajahnya memar, ia masih tersenyum padanya.
Sejak hari itu, anak laki-laki itu selalu muncul di saat yang tak diduga. Diam-diam membuntuti dari kejauhan, lalu muncul ketika gadis kecil itu dijahili, diejek, atau sekadar ditinggalkan sendirian di ayunan.
Ia tak banyak bicara, tapi tindakannya lebih lantang dari kata-kata. Menghalangi bola yang nyaris menghantam kepala gadis itu. Mengembalikan tempat duduk di kantin yang diambil paksa anak lain. Bahkan meminjamkan payung kecilnya saat hujan tiba-tiba turun saat pulang sekolah.
Gadis kecil itu belum berani banyak bicara padanya. Tapi tiap kali mata mereka bertemu, selalu ada senyum kikuk dan jantung berdebar yang belum mereka pahami.
Lalu, pada suatu siang, anak laki-laki itu datang menghampiri dengan napas sedikit memburu, seolah takut kehabisan waktu.
“Tadi aku lihat ini di toko dekat rumah,” ujarnya, sambil mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya.
Sebuah pembatas buku.
Gadis kecil itu memandangnya heran. Pembatas buku itu bergambar pemandangan—padang rumput hijau dengan langit biru, dan matahari besar yang bersinar terang di atasnya. Warnanya hangat, cerah, seperti tawa tanpa beban. Di sudutnya tertulis satu kalimat kecil dengan huruf sambung: “You are the sunshine after the rain.”
“Ini buat kamu,” bisik anak laki-laki itu, cepat-cepat meletakkan pembatas buku itu ke dalam telapak tangan si gadis kecil.
“Kenapa kamu memberi ini padaku?” si gadis kecil bertanya lirih
“Karena gambarnya mirip kamu. Kamu itu seperti matahari, selalu bercahaya.”
Gadis itu membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menatap pembatas buku itu seolah tak percaya sesuatu yang begitu indah diberikan untuknya.
“Biar kamu ingat aku… kalau suatu hari kita nggak ketemu lagi.” Lanjut anak laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
Gadis kecil itu tertegun, menggenggam pembatas buku itu seolah itu benda paling berharga di dunia. Tapi ketika ia ingin memanggilnya, ingin bilang terima kasih, anak laki-laki itu sudah berlari menjauh.
Dan keesokan harinya—dia tidak lagi datang ke sekolah.
Hari demi hari berlalu, dan anak laki-laki itu tak pernah kembali. Tidak ada kabar. Tidak kata perpisahan.
Tapi gadis kecil itu terus menyimpan pembatas buku itu di kotak kecil rahasianya. Dipenuhi bintang-bintang kertas lipat dan catatan kecil yang hanya bisa dimengerti oleh hatinya.
Karena meski waktu terus berjalan, dan orang-orang datang dan pergi…
…ada seseorang yang pernah membuatnya merasa aman. Dan seseorang itu tak pernah benar-benar hilang dari hatinya.