Lyora merasa lega. Merasa dihargai. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap. Tak ada kata yang dibutuhkan. Keheningan mereka dipenuhi oleh detak jantung yang berpadu dan sentuhan jari yang saling mencari. Di balik jendela, dunia terus bergerak, namun, di dalam kamar itu, waktu seperti berhenti sejenak. “Kamu lapar?” tanya Lyora akhirnya. “Lapar banget. Tapi bukan makanan.” Wira memeluknya erat. “Aku lapar waktu bersamamu.” Lyora tertawa kecil, lalu mencubit perut Wira. “Gombal banget. Ayo bangun, Mas. Kita turun sarapan dulu baru siap-siap ke kantor. Aku pengin sarapan yang manis-manis.” “Kamu kan udah manis. Buat apa cari lagi?” “Gombal!” Lyora pura-pura membelalakkan mata ke arah suaminya, yang disambut dengan tawa lepas. “Ya udah, aku aja yang duluan bersih-bersih,” Lyo

