Lyora berjalan cepat, membuka pintu ruangannya dan langsung menutupnya kembali. Tanpa suara. Tanpa jeda. Begitu pintu tertutup, ia berjalan ke meja kerjanya, duduk, lalu memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Matanya terasa panas, tapi tidak ada air mata yang keluar. Hatinya terlalu lelah untuk menangis. Beberapa menit berlalu. Lyora menikmati keheningan ruangan itu. Sahabatnya, Latifa, sedang tidak berada di mejanya. Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan, ia membuka laptopnya yang tadi ia tinggalkan. Laporan masih terpampang di layar. Angka-angka dan paragraf panjang tak lagi berarti apa-apa. Tangannya terangkat… lalu jatuh ke meja. Lemah. Kosong. “Aku begitu bodoh…” gumamnya lirih, suaranya seperti pecahan kaca. Ia menyandarkan tubuhnya