Langkah kaki menuruni anak tangga terdengar cepat dan mantap. Tumit sepatu Jenia mengetuk lantai marmer dengan suara keras, menggetarkan suasana tenang di rumah besar itu. Dia bahkan belum sempat bersih-bersih setelah mengemudi sendiri dari Bandung. Rambutnya masih terikat acak, wajahnya tanpa riasan, namun sorot matanya menyala dengan kemarahan yang sudah lama ditahan sejak menerima pesan singkat dari salah satu teman kampusnya: “Lo udah lihat berita soal Fabian dan Talita? Gila sih!” Begitu tahu, dia langsung berkendara kembali ke Jakarta, meninggalkan jadwal pertemuan awal program dokter spesialis di Universitas terbaik di Bandung. Saat mencapai ruang tengah, dia melihat Lyora duduk di sofa dengan wajah murung, memeluk bantal kecil di pangkuannya. Di sisi lain, Herawati berdiri geli