Mata Alya berkilat, benar-benar terbakar amarah. Ingatan tentang bagaimana Wira tiba-tiba memutus kontrak, tanpa memberi penjelasan, kembali menusuk hatinya. Semua usahanya, strategi, rayuan, bahkan langkah nekatnya untuk mendekati Wira secara personal, semua kandas begitu saja. Tiba-tiba suara dering dan getar ponsel menginterupsi. Dari ayahnya. Alya menelan ludah. Tubuhnya merapat ke sandaran sofa, tapi ia tetap menggeser layar hijau. “Halo, Pa...” suaranya pelan, penuh ragu. “Kamu masih tenang-tenang saja, Alya?” Dari seberang, terdengar bentakan berat yang membuat telinganya panas. Lalu di susul ucapan bernada kesal ayahnya, “Kamu harusnya tidak bersantai-santai setelah mengacaukan semua rencana. Karena ini kesalahan mu sepenuhnya, jadi kamu yang harus memperbaikinya. Berita t

