Di bandara, Alya berdiri di samping ayahnya yang asyik berbicara dengan Wira. Senyumnya yang semula disiapkan untuk menjadi salam perpisahan untuk Wira perlahan terkikis ketika tatapan pria itu sama sekali tidak tertuju padanya. Wira melangkah mantap, bahunya tegap, pandangannya hanya terikat pada Tuan Sagara yang berdiri menunggu. Sesekali, ia menunduk sedikit memberi hormat pada sang ayah, tapi sama sekali tidak menggeser matanya ke arah Alya. Hatinya mencelos. Ia berharap ada sekelebat lirikan, setidaknya sekilas pengakuan atas keberadaannya di sana. Namun yang ia dapat hanya dinginnya punggung Wira yang teguh mengabaikan keberadaannya, seolah dia tidak berada di sana. “Pak Sagara, saya pamit. Terima kasih untuk segala bantuannya,” suara Wira terdengar tenang, penuh wibawa. Tanganny

