Alya terkekeh, meski jelas kesal. “Kamu memang berbeda. Kebanyakan pria sepertimu… memilih menikmati kebebasan lebih lama. Bukan langsung mengikat diri.” Wira menegakkan tubuhnya, suaranya rendah tapi tegas. “Mungkin karena aku tahu apa yang benar-benar berharga. Kekuasaan dan uang bisa dicari kapan saja. Tapi orang yang tulus mencintai dan setia menunggu di rumah? Itu tidak ternilai.” Keheningan sesaat menyelimuti meja. Bahkan Tuan Sagara yang sejak tadi diam, akhirnya tertawa kecil, memecah suasana. “Benar sekali, Pak Wira. Tidak semua orang bisa memahami makna kesetiaan. Itu kualitas yang membuatmu istimewa.” Wira mengangguk hormat. Sementara itu, Alya hanya tersenyum kaku, matanya berkedip cepat, seolah mencari cara untuk kembali menyerang. Tapi malam semakin larut, dan jelas kali

