Jenia menelan ludah. Ia ingin percaya, tapi nalurinya sebagai dokter—dan sebagai perempuan—tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mengganjal. “Besok aku off,” sambung Farlan, mencoba mengalihkan ketegangan. “Nanti aku yang antar kamu ke Bandung. Kita sekalian cari udara segar, oke?” Jenia mengangguk, meski pikirannya belum sepenuhnya beranjak dari kejanggalan-kejanggalan yang baru saja ia temukan. Dia harus mengungkap apa tujuan Melisa. Dia jelas memiliki niat buruk. Dan dia tidak akan membiarkan wanita licik itu menjalankan rencananya. Farlan melihat kening Jenia yang mengerut, dia tahu Jenia sedang memikirkan kejadian di rumah sakit, dan mungkin juga masih belum lepas dari kemarahan karena sikapnya. Farlan mengecup punggung tangan kekasihnya, lalu menggenggamnya erat. “Istirahatlah

