Permintaan itu seperti lecutan cambuk, tajam dan kejam. Melisa mengucapkannya tanpa keraguan. Dia sudah tidak menginginkannya, jadi harus membuangnya, sebelum mengacaukan hidupnya. Malam itu, lampu redup kamar rumah sakit hanya menerangi wajah pucat Melisa yang sedang duduk bersandar di ranjang. Tangannya bergetar memegang ponsel, layar yang menyala menyorot di mata dinginnya. Ia sudah memikirkan hal ini sejak Jenia tanpa ampun mengucapkan rahasia yang seharusnya terkubur rapat dan akan diungkapkan pada saat yang tepat. Kehamilan itu semula adalah senjata utamanya dalam mencapai tujuannya, tapi setelah semalam, ini hanya akan menjadi boomerang baginya. “Tidak ada jalan lain,” gumamnya lirih, seolah mengingatkan dirinya sendiri. Nafasnya pendek-pendek, dan setiap tarikan terasa semakin

