Melisa berpura-pura menahan napas, wajahnya memerah sedikit, entah karena malu atau sekadar permainan aktingnya. Ia menunduk, membiarkan rambutnya tergerai menutupi sebagian wajah. “Aku tidak pantas mendengar itu…” katanya pelan, suaranya seakan bergetar. “Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Aku hanya… seorang perempuan yang hampir kehilangan segalanya.” Pria itu menggeleng cepat, matanya tidak bisa lepas dari garis leher Melisa yang sengaja tidak ia rapikan. “Tidak, kamu pantas, Melisa. Pantas dipuja. Pantas dijaga. Kamu tidak tahu betapa aku menunggu-nunggu setiap kesempatan seperti ini. Seminggu tanpa kabar darimu… rasanya seperti gila.” Melisa menoleh perlahan, menatap matanya dengan sorot rapuh yang diselimuti manipulasi. Senyum samar kembali mengembang. “Kalau begitu… jangan b

