Ia menarik kursi, duduk, lalu menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya tak lepas dari pintu masuk apartemen, seakan menunggu sosok tinggi itu muncul kapan saja. Tapi menit demi menit berlalu, yang datang hanya suara lalu lintas di kejauhan dan dentingan jam dinding yang terasa semakin lambat. Ada rasa kecewa, khawatir, dan sedikit marah yang bercampur jadi satu. Ia tak mengerti mengapa Farlan tidak bisa sekadar mengirim satu pesan. Dan yang lebih mengusik, kenapa perasaan ini seperti mengingatkan pada sesuatu—ketakutan lama yang selalu ia hindari, bahwa ia bukan prioritas, hingga Farlan bisa mengabaikan seperti itu. Jenia akhirnya mengambil segelas air. Ia meneguk sedikit, mencoba menenangkan pikiran. Namun, seiring waktu berjalan, pertanyaan di kepalanya hanya bertambah banyak. Dia d

