Wira sudah selesai dengan pembicaraan di telepon. Dia berjalan ke balkon, dan terkejut melihat Lyora masih di sana. Udara pagi di tengah musim semi cukup dingin, dan istrinya ini semalam bilang berasa masuk angin. Wira menatap Lyora lurus-lurus, sejenak membiarkan diam menyampaikan kekhawatiran yang belum sempat dia ucapkan. Gadis itu berdiri memunggunginya di balkon. Tadi saat mereka sampai, dia bisa menangkap rona lelah di wajah istrinya—bukan hanya kelelahan fisik setelah perjalanan panjang, tapi juga sisa emosi yang belum sepenuhnya reda. Wajah itu tetap cantik, tetap lembut seperti yang selalu ia kenang. Tapi ada bayang tipis di bawah mata Lyora, dan gerakan bahunya seolah lebih berat dari biasanya. “Lyora,” panggilnya pelan, nyaris seperti bisikan yang menyatu dengan semilir angi