Wira mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan mata Lyora, yang kini penuh luka, tapi juga harapan yang tak padam seluruhnya. “Maaf kalau aku membuka luka yang belum sembuh,” ucap Lyora dengan suara pelan. Wira menggeleng lembut. “Enggak, Ly… kamu nggak perlu minta maaf karena menjadi jujur.” Lyora mengangkat wajahnya perlahan. Matanya buram, tapi bukan karena angin malam yang menusuk dari sela balkon, melainkan karena kenangan yang menyayat hatinya. "Aku terlalu naif..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, "mengira dia akan tetap menjadi sosok pahlawan kecilku." Ia menoleh pada Wira, senyumnya getir. “Tapi manusia bisa berubah, kan?” Ada kerutan lembut di sudut matanya, seolah mengisyaratkan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Rasa kecewa dan terkhianati tampak begitu jelas d