"Jangan terus-terusan menyalahkan Ibu!"
Aku dan Mas Adipati sama-sama menatap Bagas yang berdiri di dekat pintu. Dia berjalan cepat menghampiri kami, lalu berdiri di tengah menghalangiku dengan wajah mendongak menatap ayahnya.
"Berhenti menyakiti Ibu karena aku tidak akan tinggal diam!" Bagas berujar dengan suara rendah, tapi penuh penekanan.
"Tahu apa kamu soal menyakiti? Kamu masih kecil. Sekolah yang benar dan jangan ikut campur urusan orangtua. Ayah tidak pernah berniat menyakiti ibumu."
Bagas tertawa seraya membuang pandangan, lalu menatapnya lagi. "Tidak berniat menyakiti? Lalu yang Ayah lakukan sekarang itu apa?"
"Sebaiknya kamu keluar. Biarkan ayah dan Ibu menyelesaikan masalah ini berdua. Anak kecil sepertimu pantasnya fokus belajar saja dan persiapkan masa depan."
"Aku memang masih kecil, tapi aku tahu mana yang salah dan benar. Ayah seharusnya jadi sosok panutanku, tapi nyatanya malah mengecewakan. Ayah yang selama ini aku banggakan ternyata aslinya kejam dan tidak punya hati!"
"Jaga ucapan dan sikapmu, Bagas! Kamu harus tahu dengan siapa kamu bicara! Aku ayahmu! Ayah tidak pernah mengajarimu untuk kurang ajar!" tegur Mas Adi dengan suara tegas.
"Bukan hanya aku yang harus jaga sikap, tapi ayah juga!"
"Bagas ... sudah, Nak. Sudah. Jangan membentak-bentak ayahmu seperti itu." Aku berusaha menenangkan dan menariknya mundur, tapi dia menolak.
"Biarkan saja, Bu. Biar Ayah tahu kalau keputusannya menikahi perempuan tidak tahu terima kasih itu salah besar! Keputusannya bukan hanya menyakiti Ibu, tapi juga aku! Ayah tidak hanya menghancurkan hati Ibu, tapi juga hatiku!" tegas Bagas sambil meneteskan air mata.
Mas Adi terdiam memandangi putranya yang tengah diselimuti emosi.
"Bagas ... tenang, Nak. Kita makan malam di luar, yuk!" bujukku padanya yang masih menatap Mas Adi dengan murka.
"Apa Ayah lupa, siapa yang selalu setia menemani di saat terpuruk? Ibu, Yah! Ayah lupa, siapa yang merawat dan mengurus dengan sabar saat kaki ayah lumpuh sementara karena kecelakaan? Ibu, Yah! Ibu! Bukan perempuan tidak tahu malu itu!" hardik Bagas berapi-api. "Dari awal bertemu dengannya, aku memang sudah tidak suka. Dan ternyata benar. Wanita itu ular berbisa yang tega mematuk penolongnya sendiri."
"Bagas ...," lirihku seraya ikut menangis melihat putra semata wayang kami ikut terluka sampai tak mampu menahan air matanya.
"Kenapa Ayah diam? Ayah tidak amnesia mendadak, kan?"
Mas Adi masih membisu, tapi tatapannya tak beralih dari putra kami ini.
"Ibu melakukan segalanya untuk Ayah ... untuk kita." Suara Bagas memelan dan bergetar. "Dulu saat Ayah berbulan-bulan hanya diam di rumah karena lumpuh, siapa yang banting tulang mencari nafkah, hm? Ibu, Yah. Ibu gali lubang tutup lubang hanya demi memenuhi kebutuhan kita. Ibu rela ...." Bagas tak melanjutkan ucapan. Dia menunduk, lalu menyeka kasar air matanya dengan punggung tangan.
"Kenapa? Kenapa Ayah tega menyakiti Ibu yang sudah seperti malaikat tak bersayap?" lirih Bagas seraya kembali menatap ayahnya yang mematung dengan raut wajah sendu.
Aku yang tak sanggup melihat Bagas menangis dengan gurat wajah penuh luka, memilih berbalik memunggungi dengan tetesan air mata yang tak mau berhenti.
"Aku selalu membanggakan keluarga kecil dan bahagia kita ini pada teman-teman, Yah. Dulu aku tidak tahu rasa sakitnya seperti apa saat temanku Aldi menangis karena orangtuanya berpisah. Tapi sekarang ... aku sudah tahu rasanya. Ayah sudah menghancurkan segalanya. Aku kecewa dan marah. Aku tidak rela Ayah menyakiti Ibu!" Suara Bagas meninggi lagi di kalimat terakhir. Membuatku lekas berbalik menatapnya lagi dan berusaha membawa pergi, tapi Bagas masih bersikeras diam di hadapan ayahnya.
"Jika ada satu orang yang paling kubenci di dunia ini, maka orang itu adalah Ayah," desis Bagas.
Aku memekik kaget ketika Mas Adi dengan cepat menampar pipinya.
"Bagas ...." Aku menatap khawatir dan spontan menyentuh pipinya. "Kenapa Mas menamparnya?" Aku menatap Mas Adi penuh kecewa sekaligus marah.
Mas Adi terdiam, lalu melihat telapak tangannya sendiri dengan raut wajah kaget. Seperti baru tersadar kalau apa yang dilakukannya barusan adalah salah.
"Teganya kamu memukul anak sendiri, Mas. Kamu kesetanan?" sergahku tak terima. "Bagas ...." Aku menatap khawatir pipinya yang memerah.
Bagas tertawa hambar. "Terima kasih untuk tamparannya, Yah. Terima kasih."
"Bagas!" panggilku ketika putra kami itu langsung berjalan cepat meninggalkan kami.
Aku kembali menatap Mas Adi dengan dahi mengernyit dan sorot mata penuh kekecewaan, lalu menggeleng pelan.
"Mas tidak boleh menampar Bagas. Apa yang Mas lakukan ini hanya akan membuatnya semakin benci. Bagas akan semakin yakin kalau ayahnya ini sosok yang gagal menjadi panutan."
"Aku ... terbawa emosi, Aina. Aku tidak sengaja."
"Apa pun alasannya Mas tetap salah. Aku tidak akan ikut campur kalau sampai Bagas benar-benar membencimu."
"Maafkan aku, Aina. Aku ... akan coba bujuk dia dan minta maaf."
"Dengar ... Mas boleh saja menyakitiku, tapi aku tidak rela Mas menyakiti Bagas. Dia hanya sedang meluapkan rasa sakit dan kekecewaannya terhadap sosok ayah yang selama ini dia banggakan. Kamu benar-benar sudah berubah. Kamu bukan lagi Mas Adipati yang kukenal. Aku benar-benar kecewa," kataku sembari menggeleng pelan, kemudian bergegas pergi menyusul Bagas.
???
Aku menaiki anak tangga menuju kamar Bagas dengan berlari kecil. Kuketuk pintu dan langsung memutar handlenya ketika tak mendapat sahutan darinya. Bagas terlihat tengah duduk bersandar kepala ranjang dengan kaki bersila dan figura foto di tangannya.
Aku mendekat, lalu duduk di tepi ranjang seraya ikut memandang foto keluarga kecil kami di tangannya.
"Maafkan ayahmu, Gas. Dia tidak berniat memukulmu seperti tadi," ucapku seraya menyentuh pipinya yang memerah.
"Kenapa Ibu masih saja belain Ayah? Ayah jahat, Bu."
"Bagaimanapun buruknya, dia tetaplah ayahmu, Nak. Tidak ada bekas anak. Kamu boleh marah dan kecewa. Tapi kamu tidak boleh membencinya."
"Kenapa? Kenapa Ayah tega menyakiti wanita sebaik Ibu?" Mata Bagas kembali berkaca-kaca menatapku.
Aku tersenyum dan menyentuh tangannya lembut. "Kita makan di luar, yuk! Hanya kita berdua, kamu dan ibu. Hm?"
"Aku tidak lapar." Bagas membuang muka.
"Tapi ibu lapar dan mau jalan-jalan. Kenapa tidak mau? Kamu malu, ya, pergi makan dengan ibu?" lirihku pelan.
"Kenapa Ibu bicara begitu? Mana ada aku malu." Dia kembali menatap ke sini. "Ya sudah ayo." Bagas beranjak turun dari ranjang dan mengambil jaket yang tergantung di dekat lemari.
Aku tersenyum, kemudian berjalan bersamanya keluar kamar. Di anak tangga terakhir, kami berpapasan dengan Mas Adi yang hendak naik ke sini.
"Mau ke mana?"
"Makan di luar," jawabku tenang.
"Kita pergi makan sama-sama. Aku juga lapar."
"Hanya kami. Hanya aku dan Bagas yang akan makan di luar," tolakku yang membuat langkah Mas Adi terhenti lagi saat hendak menyejajari kami.
"Ayah minta maaf, Bagas. Ayah tadi ...."
"Ayo cepat, Bu! Aku sudah lapar." Bagas cepat-cepat menarikku pergi sebelum Mas Adi sempat menyelesaikan ucapannya.
Di ambang pintu, aku sempat menoleh ke belakang lagi dan mendapati Mas Adi masih berdiri di sana sambil memandang ke arah sini.
'Wanita itu benar-benar sudah mengubahmu, Mas. Kamu seperti orang lain.'
???