Egois?

1078 Kata
Aku yang kini tengah membereskan pakaian ke dalam koper, mau tak mau terhenti sesaat ketika mendengar pintu kamar diketuk. Bagas masuk. Dia sempat terdiam memandangku di dekat pintu, lalu akhirnya berjalan mendekat. "Ibu mau ke mana?" "Ibu harus pergi, Nak. Rumah ini sudah bukan hak ibu lagi," kataku tanpa menatapnya seraya kembali melipat pakaian ke dalam koper. "Aku ikut." Aku menggeleng. "Kamu tetap di sini dengan ayahmu, Gas. Tuntaskan pendidikanmu dengan baik." Aku membeku, pun tangan berhenti melipat pakaian ketika Bagas tiba-tiba memeluk dan terisak. "Aku sudah tahu semuanya, Bu. Kenapa ibu tidak pernah cerita? Kenapa ibu selalu memendam semua rasa sakit sendirian?" Air mataku yang tadi sempat surut, kini kembali membanjiri pipi karena mendengar pertanyaan Bagas tersebut. Pelukannya bagaikan obat meski tak sepenuhnya akan menyembuhkan luka. "Dari mana kamu tahu? Bukannya ibu sudah memintamu masuk kamar?" "Aku sengaja turun dari jendela, Bu. Aku menguping semua pembicaraan kalian dari luar dekat pintu karena merasa ada yang tak beres. Maaf." "Tidak apa-apa, Gas. Maafkan ibu, ya. Ibu gagal menjaga ayahmu." "Tidak. Ibu tidak salah dan tidak gagal menjaga ayah. Ayah sendirilah yang ingin pergi dari kehidupan kita." Ucapan Bagas semakin membuatku terisak lirih. Setelah beberapa saat kami sama-sama larut dalam tangis, perlahan kuurai pelukan dan mencoba tersenyum lagi. "Jangan menangis. Anak laki-laki harus kuat, hm? Apa pun yang terjadi antara ibu dan ayah, kamu akan tetap menjadi anaknya. Paham?" kataku seraya menyeka air matanya. Bagas menggeleng. "Aku bisa tahan dengan luka lain. Tapi aku tidak bisa tahan melihat air mata ibu. Aku tidak rela siapa pun menyakiti Ibu termasuk Ayah!" Dia berujar dengan suara rendah, tapi penuh penekanan. Aku tersenyum, tapi air mata terus berjatuhan. "Tetaplah di sini, Bagas. Belajar yang tekun supaya jadi orang sukses. Doa ibu akan selalu menyertaimu." "Aku ingin ikut ke mana pun Ibu pergi." "Jangan, Nak. Ibu takut tidak bisa menjamin pendidikanmu. Ibu akan pergi ke luar kota dan memulai semuanya dari nol lagi." "Tapi toko kue Ibu di sini bagaimana?" "Ibu akan tutup dan menjualnya." Aku membuang muka sambil menyeka air mata. "Pokoknya aku akan tetap pergi dengan Ibu! Kalau Ibu menolak, itu berarti Ibu tidak sayang padaku." Aku langsung menoleh lagi. "Ibu lebih menyayangimu daripada diri ibu sendiri. Nyawa pun rela ibu korbankan. Jangan bicara begitu, Bagas. Kamu melukai hati ibu." "Maaf. Aku tidak bermaksud menyakiti Ibu." Bagas kembali memelukku dari samping. "Aku tidak bisa hidup tanpa Ibu. Ibu segalanya bagiku. Jangan tinggalkan aku, Bu. Kumohon ...." "Ibu hanya tidak ingin kamu hidup susah. Di sini kamu bisa hidup dengan layak." "Aku tidak peduli dengan semua itu. Selama ada Ibu, tidak makan pun aku siap. Kita harus selalu sama-sama, Bu. Aku mau bantu Ibu." "Bagas ...." Aku kembali terisak lirih. Terharu dan sedih bercampur menjadi satu. Bagas mengurai pelukan dan mengusap air mataku. "Aku ikut, ya. Boleh kan, Bu?" Aku berpikir sejenak, lalu akhirnya mengangguk setuju dan tersenyum. "Mulai cicil bereskan semua pakaian dan barang-barang pentingmu, Gas." Bagas mengangguk, kemudian bergegas pergi dari kamar ini. Usai merapikan pakaian, aku keluar kamar dan tak mendapati ada Mas Adi di sini. Rasa perih itu kembali berdesir karena dia benar-benar sudah tak menganggapku berharga lagi. Indira kini menjadi pilihan satu-satunya dan paling penting. Langkahku terhenti sesaat di depan foto keluarga berukuran besar yang ditempel di dinding. Nyeri itu kian menusuk karena keluarga kecil yang kami bangun, akhirnya hancur karena kehadiran wanita lain. Wanita yang bahkan pernah kutolong dari keterpurukan. Bak menolong anjing terjepit yang akhirnya aku digigit. Bahkan anjing pun terkadang bisa lebih tahu cara balas budi, tapi Indira? Dia lebih dari itu. Tak punya hati nurani dan rasa terima kasih. Kuseka sudut mata yang kembali basah, kemudian melangkah lagi keluar rumah. Aku harus menemukan kontrakan dulu untuk sementara waktu. Setelah mengurus kepindahan sekolah Bagas, baru kami akan pergi dari kota ini. Pergi jauh dari kehidupan Mas Adi dan Indira. ??? "Dari mana kamu, Aina?" Aku yang baru saja masuk ke rumah jadi berhenti melangkah, ketika disambut pertanyaan dari Mas Adipati yang ternyata sudah pulang. "Cari kontrakan," jawabku tenang dan kembali berjalan tanpa menoleh padanya. Namun, langkah ini mau tak mau terhenti lagi karena dia menangkap pergelangan tanganku. "Untuk siapa?" "Untukku," jawabku sembari melepas cekalan, lalu berjalan lagi. "Apa kamu yakin ingin pergi? Yakin ingin meninggalkanku sendiri di sini?" Dia mengekori. "Bukan aku yang pergi, tapi Mas sendirilah yang sudah membuangku." "Semua bisa kita bicarakan baik-baik, Aina. Kita masih bisa mempertahankan pernikahan ini asal kamu mau sedikit menurunkan ego." Sontak aku berhenti melangkah, lalu berbalik menatapnya dengan dahi mengernyit. "Mas bilang aku yang egois? Apa tidak terbalik?" "Banyak kok pernikahan di luar sana yang menjalani poligami. Tapi mereka tetap bisa adem ayem dan rukun, kan? Semua bisa dijalani dengan baik asal kita sama-sama saling menerima dan terus saling mengingatkan." Aku terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil. "Kenapa malah tertawa? Yang kubicarakan ini fakta." "Ya sudah. Silakan saja Mas cari istri baru lagi selain Indira dan hiduplah bahagia tanpaku," ujarku tenang, kemudian kembali melangkah ke kamar. "Aku bukan tidak ingin memilihmu, Aina. Tapi Indira sedang hamil muda. Dia butuh aku di sisinya. Tolong mengerti sedikit posisiku. Aku serba salah." "Wah, selamat kalau begitu, Mas. Akhirnya kamu bisa memiliki anak kedua yang selama ini begitu kamu inginkan." Aku tersenyum meski hati ini tersayat perih. "Jangan salah paham. Dan jangan berpikir aku menikahi dia karena ingin punya anak lagi. Tidak. Itu memang sudah rezekinya saja. Aku tidak pernah mempermasalahkan kamu yang susah hamil lagi." "Iya, aku tahu." Aku kembali membuang muka dan menelan ludah getir. "Besok aku akan mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mengajukan gugatan cerai. Mas tinggal tahu beres saja." "Apa harus seperti ini, Aina? Aku tidak pernah menginginkan perceraian. Aku masih sayang padamu. Pikirkan juga Bagas." "Seseorang yang benar-benar menyayangi takkan tega menyakiti. Sayang dan cinta itu bukan hanya sebatas kata-kata, tapi perlu dibuktikan dengan tindakan. Sementara, apa yang Mas katakan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Mas lakukan," ujarku tenang seraya menatap lekat matanya. Mas Adi terdiam membisu dengan jakunnya yang bergerak naik turun. "Bagas akan ikut denganku. Jadi, Mas bisa fokus dengan Indira dan bayi kalian nanti." "Bagas ikut? Kamu sengaja ajak dia, ya?" "Tidak. Bagas sendiri yang ngotot ingin ikut. Aku sudah membujuk dan memintanya untuk tetap tinggal di sini. Tapi dia tidak mau." "Tidak mungkin. Bagas 'kan belum tahu masalah yang terjadi, kecuali kamu cerita! Kenapa, hm? Kamu sengaja hasut dia supaya benci aku, kan?" "Ayah!" Kami berdua serempak menoleh saat mendengar Bagas memanggil Mas Adipati dengan suara yang cukup keras. "Memang aku sendiri yang ingin ikut! Sudah cukup Ayah menyakiti Ibu!" ???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN