“Emang boleh, An?” tanya Devan dengan tatapan mata yang sangat lapar pada anak.
“Saya sih boleh aja, tapi terserah, Bapak,” jawab Anna masih sedikit ragu takut Devan marah.
“Ah gak lah, An. Takutnya nanti ya saya keterusan, saya gak enak. Apalagi nanti kalau sampai Kinanti tahu, bisa-bisa nanti kamu malah kena perkara sama Kinanti. Yuk sini saya pijitin kamu aja,” ucap Devan sambil menepuk permukaan ranjang yang ada di tengah kedua kakinya.
“Ya terserah Bapak aja, saya sih gak masalah Bapak mau gimana juga.”
‘Pak Devan terlalu baik dan terlalu setia sama Bu Kinan. Padahal Bu Kinan udah menghianati Bapak lebih lama,’ ucap Anna dalam hati.
Anna segera duduk di antara dua kaki Devan sesuai dengan petunjuk majikannya itu. Anna sengaja untuk duduk sedikit mundur agar b****g sintalnya itu bisa bersentuhan langsung dengan batang keperkasaan Devan yang sepertinya sudah mulai memberontak dalam baju besinya.
Devan sedikit kaget karena tiba-tiba b****g Anna sudah mendekat ke arahnya sampai menempel di senjata rahasianya itu. Devan sempat tersentak namun kemudian dia berusaha untuk biasa saja agar tidak terlalu membuat gerakan yang mungkin saja akan membuat Anna merasa tidak nyaman. Devan masih ingin menyentuh kulit tubuh Anna yang sangat menggodanya itu.
“An, kamu kalau di rumah kok gak pernah pakai baju terbuka gini sih?” tanya Devan yang kini sudah mulai memijat bahu Anna secara perlahan.
“Ya ini saya lagi pakai baju terbuka, Pak. Emang mau kayak gimana lagi?” tanya Anna sok tidak tahu apa yang dimaksud oleh majikannya.
“Maksud saya kamu gak pernah pakai baju kebuka gini kalau waktu turun ke bawah. Eh maksudnya waktu ada Mbok Darmi sama Kinan. Apa emang sengaja buat saya?” tanya Devan berharap Anna akan benarkan perkataan.
“Sebenarnya sih Tadinya enggak, Pak. Tapi waktu semalam Pak Devan kelihatan santai aja ngelihat saya pakai baju minim, ya udah saya kepalang tanggung. Soalnya bapak udah terlanjur lihat sih, lagian saya sebenarnya lebih nyaman pakai baju kayak gini, Pak. Soalnya gak bikin gerah.”
“Gerah? Kan di rumah ini pakai AC, masa masih gerah juga.”
“Gerah Pak, soalnya Bapak keren. Apalagi kalau habis olahraga atau cuma duduk santai pakai Boxer. Saya lihatnya bisa kegerahan.”
“Ah yang bener kamu, jangan cuman ngerayu aja bisanya. Kinan aja gak pernah lagi tuh kegoda sama saya kalau pakai kayak gitu. Berarti kan sekarang badan saya jelek gak kayak waktu saya pertama nikah sama Kinan dulu,” Devan mencoba untuk mengorek kejujuran Anna.
“Ah mungkin ibu lagi sakit mata kali, Pak. Lagian ibu sekarang kan lebih banyak di luar atau memang Ibu dulu emang kerjanya suka sampai malam gini ya?” tanya Anna yang memang belum begitu mengenal keluarga Devan.
“Iya sih, dia emang dulu sering lembur. Terus saya ajak dia kerja di kantor saya aja, tapi dia gak pernah mau, katanya mau mandiri. Ya udah deh akhirnya saya biarin aja dia. Dan setelah melahirkan kemarin, dia naik jabatan. Eh ... malah makin sering gak ada di rumah. Kasihan sama Rafa, dia kayak kurang perhatian dari mamanya sendiri. Untung ada kamu, pasti Rafa nyaman banget sama kamu yang bikin papanya juga nyaman,” ucap Devan yang kemudian mulai berani untuk memberikan sebuah kecupan di pundak Anna.
“Bapak bisa aja, tapi kalau Papanya Rafa juga nyaman, saya juga mau kok ngerawat Rafa terus sekaligus ngerawat Papanya,” ucap Anna sambil mulai melancarkan lagi godaannya.
“Kamu ini pintar banget ya goda saya. Kamu kalo di luar jangan pernah pake baju gini ya. Apa lagi waktu ada Mbok Darmi dan Kinan. Kalo ada saya aja,” Devan memberikan perintah.
“Iya, Pak.”
Satu kali kecupan jatuh di pundak Anna dan tidak mendapatkan perlawanan. Devan mulai kian berani untuk mendaratkan ciumannya di pundak Anna beberapa kali. Baby sitter anaknya itu sampai menggeliat sambil berdesis saat Devan mulai menghujani pundak sampai punggung atasnya dengan banyak ciuman.
“Ah geli,” Pak,” ucap Anna sambil menggeliat.
“Geli tapi enak kan?” ucap Devan sambil mengusap pundak dan lengan telanjang Anna.
“Enak pak. Heran aja kenapa Bu Kinanti bisa melepaskan cumbuhan Bapak tiap malam ya.”
“Saya juga gak ngerti, tapi saya udah hampir gak peduli lah. Kan sekarang ada kamu yang bisa saya sentuh. Boleh pegang kan, An?” tanya Devan yang mulai berani menyentuh buah d**a padat Anna dengan ujung jari-jarinya.
“Boleh Pak, Anna punya, Bapak,” ucap Anna yang berharap Devan akan segera menerkamnya sore ini.
Merasa mendapatkan lampu hijau dari Anna, Devan pun mulai memberanikan diri untuk menyentuh buah d**a ranum milik Anna yang sepertinya belum pernah terjamah. Jari-jari Devan mulai memanjat ke atas bukit kembar di d**a Anna kemudian langsung meremasnya.
“Aaah,” leguh Anna saat dia merasakan satu remasan di kedua buah dadanya.
Leguhan yang dikeluarkan oleh Anna itu sontak saja membuat Devan semakin bersemangat untuk meremas lagi dan lagi buah d**a Anna yang ukurannya cukup pas di tangan besar Devan. Pemuda itu bahkan sudah memberikan serangan kedua berupa kecupan di pundak Anna agar wanita yang kini sedang dalam penguasaannya itu takluk penuh kepadanya.
Mendapatkan remasan yang begitu nikmat untuk pertama kalinya dari seorang pria, d**a Anna spontan membusung untuk menambah volume dadanya yang kini sedang dinikmati oleh tangan liar Devan. Ciuman Devan di pundak dan punggung atas membuat wanita itu semakin menggeliat menahan serangan nikmat yang diberikan oleh Devan.
“Kenapa, An? Enak ya?” tanya Devan sedikit berbisik di telinga Anna.
“Ah ini enak banget, Pak. Enak banget,” ucap Anna yang terus menggerakkan badannya menikmati apa yang sedang dia rasakan saat ini.
“Kalo enak, kamu ngedesah dong. Biar saya makin bersemangat,” bisik Devan sambil menjilat daun telinga Anna.
“Aaah enak, Pak. Enak banget ini. Ah terus, Pak. Aaach,” Anna terus meleguh sambil memiringkan kepalanya sambil menikmati bibir dan lidah Devan yang kini mulai menyerang leher Anna.
“Iya gitu sayang. Terus desah, ekspresikan apa yang kamu rasa.”
“Ah, enak, Pak. Cumbui saya terus, Pak.”
“Kalo lagi gini jangan panggil, Pak dong. Panggil sayang ato Devan. Biar saya bisa makin terbakar ntar,” pinta Devan.
“Iya sayang, aacchh terusin sayangku,” rintih Anna yang sudah tidak mampu lagi menahan serangan tangan Devan yang kian liar.
Tangan Devan kini semakin liar dan berani menyentuh aset dari Anna itu. Ibu jari dan telunjuknya kini bahkan sudah mulai berani untuk memelintir puncak buah d**a ranum milik Anna tersebut. Tentu saja hal itu membuat Anna semakin bergerak seperti cacing kepanasan menahan rasa nikmat yang diberikan oleh majikannya.
Tubuh Anna sudah hampir melemas sampai tanpa sadar Anna sudah jatuh dalam pelukan Devan. Punggung Anna sudah menempel di d**a Devan yang selalu diidamkan oleh Anna itu. Tangan Devan yang mengeksekusi buah dadanya membuat Anna tidak berhenti mendesis menahan serangan nikmat yang mulai membuat gairahnya naik tersebut.
“Sayang, boleh lihat gak isi dalamnya kayak apa?” tanya Devan meminta izin pada pemilik buah d**a ranum tersebut.
“Buka aja Pak, semua punya kamu, sayang,” ucap Anna dengan suara berat karena sudah terbawa oleh hasrat yang meninggi.
“Oh ... makasih banget sayang. Aku pasti bakal suka ngelihat bentuknya. Baru pegang aja aku udah suka banget, jadi pengen ngelihat dan sentuh langsung.”
Devan kembali menciumi pundak dan punggung atas Anna sebelum dia mulai menarik tali kecil yang ada di pundak Anna itu. Tali yang jadi penyangga daster minimalis Anna agar tidak jatuh ke bawah. Devan ingin membuat Anna terbuai terlebih dahulu agar wanita itu merasa semakin nikmat ketika nanti tangan hangatnya itu meremas buah dadanya tanpa lapisan lagi.
Devan mulai menurunkan tali penyangga itu secara perlahan ke arah lengan Anna. Gundukan d**a Anna yang terlihat seiring dengan turunnya tali tersebut ke lengan Anna, membuat jantung Devan berdetak kian kencang. Dia tidak sabar untuk menunggu benda kenyal yang dari tadi dia remas itu muncul di hadapannya tanpa pelapis apa pun.
“Pa, papa ... kamu di mana, Pa?” terdengar suara Kinanti memanggil suaminya.
“Ibu!” teriak Anna spontan karena kaget.