Qiana menatap dirinya dalam cermin toilet. Hampir setengah jam ia menangis. Beberapa kali getaran ponselnya ia abaikan. Ia yakin itu Erlangga. Ia masih belum siap untuk mendengar kata-kata manis kekasihnya, yang jelas akan semakin membuatnya menelan rasa sakit yang berkepanjangan. Bagaimana bisa ia melepaskan cowok itu, jika saat ini ia sudah semenderita ini. Setelah membasuh muka, gadis itu keluar. “Bagaimana? Sudah ada keputusan?” Seseorang menginterupsi, membuat Qiana hanya terdiam dengan wajah lesunya. “Huh, air mata buaya!” ujar Aldo sinis. Melihat kedua mata gadis itu yang merah dan bengkak. “Kasih gue waktu, Al. Biar gue siap. Gue bakal minta putus sama Erlangga, jadi gue mohon lepasin Wiwi. Karena dia nggak tau apa-apa, Al!” Aldo senyum licik. “Akan gue pikirin, s