"Bu, Ayah. Ada Nurani." Pintu rumah terbuka dengan lembut, seolah menyambut kehadiran seorang bidadari yang turun dari kayangan. Langkah-langkah Nurani yang gemulai diiringi oleh sosok Nelson yang tak pernah jauh darinya, menjaga seolah-olah ia adalah mutiara paling berharga di dunia. Tidak satu detik pun ia biarkan Nurani keluar dari pengawasannya, karena kecemasan akan keselamatan gadis itu selalu merongrongnya dari dalam. Enelis, dengan senyum setengah hati, berdiri di ambang pintu, mengantarkan mereka ke dalam rumah yang terasa hangat oleh cahaya sore. Kakinya yang ringan membimbing Nurani ke ruang keluarga, di mana kedua orang tuanya sedang duduk di depan televisi, menikmati kebersamaan yang jarang. Ruangan itu harum oleh wangi bunga melati yang dipajang di vas keramik tua, seolah w