Pagi yang dingin memeluk taman kota dalam selimut kabut tipis, membiarkan keheningan malam menguap perlahan bersama waktu yang terus bergulir. Pepohonan menjulang seperti bayangan raksasa yang bisu, sementara rumput yang beku oleh embun malam berkilauan dalam cahaya rembulan yang pucat. Dalam suasana serba dingin dan mencekam inilah Satria menemukan dirinya berdiri, merasakan ketegangan yang merayap di antara tulang-tulangnya. Panggilan tak terduga dari Tedy di tengah malam memaksa pikirannya untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk—pengkhianatan, jebakan, atau bahkan kematian. Lois berdiri di sisinya, sosoknya yang ramping tampak kokoh dan tegas, seperti patung marmer yang diukir dengan sempurna. Meski rasa kantuk menggigit kelopak matanya, kewaspadaan tak pernah meninggalkan sorot