Pagi itu, di tengah dinginnya kabut yang menyelimuti mansion, suara tangis seorang bayi terbayang samar di telinga Nurani. “Owek! owek!” seakan menggema dari masa depan, memanggilnya dari dalam mimpi yang belum sepenuhnya tersingkap. Namun, kenyataan yang tiba-tiba menyergapnya adalah rasa mual yang mendesak, membuatnya bangun dengan napas terengah. Nelson, yang masih terbungkus dalam hangatnya kimono berwarna gelap, segera terjaga mendengar keluhan istrinya. Wajah tampannya terlihat sedikit khawatir saat ia bergegas menghampiri Nurani. Cahaya pagi yang lembut masuk melalui celah-celah tirai, menambah kesan tenang dan intim di dalam kamar itu. Dengan lembut, tangan Nelson yang besar dan penuh kehangatan menyentuh bahu Nurani, memberikan pijatan kecil yang menenangkan. “Kamu kenapa, sayan