PART. 1 MEYLANI ASHANTY
"Menikahlah dengan putraku."
Sebuah kalimat singkat yang membuat Mey terkejut luar biasa. Mey hanya tahu kalau Bu Farah punya satu anak saja, yaitu Fardan Wicaksana. Seorang pria berusia empat puluh tahun yang saat ini sudah memiliki istri bernama Eva Selina,
Mey menatap Bu Farah yang merupakan ibu kandung Fardan.
Mey tidak menyangka Ibu Fardan menemuinya untuk melamarnya.
"Apa maksud Ibu? Maaf saya tidak mengerti."
Meski memakai cadar, suara Mey tetap jelas terdengar.
"Menikahlah dengan putraku."
"Ibu punya putra lain selain Tuan Fardan?"
"Tidak. Aku ingin kamu menikah dengan Fardan."
"Apa!?"
Mey sungguh terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin Bu Farah ingin dirinya menikah dengan pria yang sudah punya istri.
"Tolong bantu saya. Ini sangat penting bagi saya."
"Bu. Apa tidak salah? Tuan Fardan sudah punya istri. Tidak mungkin saya menikah dengan suami orang." Tutur kata Mey tetap lembut meski hatinya sangat terkejut.
"Rencana ini muncul setelah pertengkaran antara aku dengan Evi. Evi ibunya Eva. Aku tidak suka Evi terus menuduh Fardan mandul. Fardan sudah periksa ke dokter di dalam negeri maupun dokter luar negeri. Dokter menyatakan kalau Fardan tidak mandul. Fardan sehat, tidak ada yang menghalangi untuk punya anak. Hanya belum diberi kepercayaan oleh Allah saja. Evi minta bukti. Evi mengijinkan Fardan nikah lagi. Eva akhirnya setuju. Hanya kamu yang bisa aku percaya. Jadi tolong bantu aku."
Mey terdiam beberapa saat. Mey tidak tahu harus bicara apa.
"Kalau kamu hamil, dia tetap anakmu. Aku yang akan membiayai hidupnya dan sekolahnya. Dia tetap cucuku."
Mey belum sanggup menjawab iya. Mey ingin memikirkan dan mempertimbangkan dulu.
"Saya minta waktu dua Minggu untuk berpikir, Ibu."
"Satu Minggu!"
"Ehm. Baiklah."
"Kamu bisa salat istikharah dulu. Aku yakin Allah mendukung keinginanku."
"Aamiin."
"Ya sudah saya pulang dulu. Satu Minggu lagi saya akan kembali ke sini."
"Baik, Ibu."
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Mey mengantarkan Bu Farah keluar dari rumahnya. Tidak perlu melewati toko bunga, karena ada jajan di samping toko.
Meylani Ashanty, usia 22 tahun. Janda tanpa anak. Suaminya meninggal satu tahun lalu. Suaminya adalah keluarga jauh Bu Farah. Usia suaminya 65 tahun. Suaminya yang dulu membesarkan Fardan sampai Fardan lulus SMA kemudian Fardan dijemput ibunya, begitu ibunya pulang dari Taiwan. Bu Farah mantan TKW. Majikannya yang dirawat selama belasan tahun memberikan warisan yang cukup besar kepada Bu Farah, sehingga Bu Farah bisa memiliki bisnis kue yang cukup terkenal.
Mey sendiri kenapa menikah dengan pria tua. Itu semua atas keinginan ibunya. Sebelum ibunya meninggal ingin melihat Mey menikah dengan Pak Fahmi. Tak peduli usia Pak Fahmi sudah lebih enam puluh tahun. Mey menikah dengan Pak Fahmi saat usianya sembilan belas tahun. Mey konsisten memakai cadar sejak lulus SMA. Biasanya ia mengenakan masker di wajahnya. Ibunya tidak ingin Mey terlihat jelas wajahnya. Karena tidak ingin ayah kandung Mey tahu keberadaan mereka. Karena itulah Ibu Mey lari ke perkebunan kelapa sawit. Menikahkan Mey dengan Pak Fahmi sebagai upaya untuk melindungi Mey juga. Dua tahun lalu mereka pindah ke Jakarta karena Pak Fahmi sakit-sakitan. Mereka disediakan rumah dan usaha. Berjualan bunga inilah usaha mereka.
Mey duduk untuk memikirkan permintaan Bu Farah. Mey tidak pernah melihat jelas seperti apa sosok Fardan. Mey hanya tahu tubuh Fardan tinggi besar. Matanya berwarna biru. Mey tidak tahu darimana mata biru itu Fardan dapatkan, karena mata ibunya hitam. Dalan diri Fardan tampak kalau Fardan bukan orang Indonesia asli. Seperti ada darah bule. Mey mengingat pertemuannya dengan Fardan. Hanya pertemuan sekilas saja saat suaminya meninggal. Mey belum bisa memutuskan akan menerima atau menolak keinginan Bu Farah.
Sementara itu Bu Farah sudah tiba di rumah. Rumah besar dua lantai dengan enam kamar tidur besar. Bu Farah tinggal di sini. Bu Farah memilih tinggal di lantai bawah. Membuat paviliun sendiri, karena tidak ingin mencampuri rumah tangga putranya. Rumah ini Bu Farah bangun dari uang hasil warisan majikannya. Itu pesan majikannya sebelum meninggal. Agar Farah membangun rumah untuk tempat tinggalnya. Rumah ini berbatasan tembok tinggi dengan rumah Mey. Tanah rumah itu sudah dipersiapkan memang untuk Pak Fahmi. Karena itu saat Pak Fahmi pindah ke sini bersama Mey, Fira adiknya Pak Fahmi, dan suami Fira, Asikin, rumah sudah selesai disiapkan beserta toko yang diminta Pak Fahmi.
Bagi Bu Farah, Pak Fahmi bukan hanya keluarga jauh, tapi sudah seperti ayah Fardan. Karena Pak Fahmi dengan istri pertamanya yang sudah almarhum yang membesarkan dan mendidik Fardan dengan baik. Pak Fahmi maupun Fira adiknya tidak memiliki anak. Karena itulah Fira dan suaminya ikut pindah ke Jakarta.
Bu Farah duduk di kursi santai di samping paviliunnya. Tadi ia sudah minta dibawakan es jeruk kesana. Husna, pembantu yang sudah bekerja dua puluh tahun dengannya datang membawakan es jeruk dan singkong goreng panas ke hadapannya.
"Darimana singkongnya, Na?"
"Diantari Pak Asikin, Bu. Panen dari kebun belakang toko katanya. Ada pucuk singkong juga. Ibu mau dimasak apa?"
"Direbus saja. Aku mau dimakan dengan sambal terasi."
"Tuan dan Nyonya apa menu sama, Bu?"
"Tidak usah pikirkan mereka. Mereka jarang makan di rumah."
"Baik, Bu. Mau ditambah terong ungu bakar?"
"Wah enak itu. Sambalnya pakai limau kuit. Adakan?"
"Ada, Bu. Selalu sedia di kulkas."
"Eh ikannya apa?"
"Ibu mau nila bakar atau pepes?"
"Nila bakar saja."
"Baik, Bu. Saya permisi."
"Terima kasih, Na."
"Sama-sama, Bu."
Husna meninggalkan paviliun. Bu Farah mendongakkan kepala. Mata Bu Farah terpejam. Bu Farah berdoa semoga niatnya untuk menikahkan Fardan dan Mey mendapat restu dari Allah. Bu Farah kasihan melihat putranya, memiliki istri tapi semua serba sendiri. Fardan tidak pernah menuntut istrinya selalu ada di rumah. Fardan begitu percaya pada Eva. Sehingga seakan sangat percaya apapun yang Eva katakan.
*