PART. 3 EVA SELENA

973 Kata
Eva Selina, 33 tahun. Seorang wanita cantik dengan tubuh seksi. Hidupnya sebagai wanita nyaris sempurna. Eva memiliki suami pengusaha kaya raya, baik, tidak banyak menuntut, dan perhatian kepadanya. Rumah tangga mereka bahagia walau belum dikaruniai keturunan. Bagi Eva sendiri tidak masalah tidak memiliki anak. Tubuh indahnya akan tetap terawat dan terjaga. Tidak harus memberi asi. Tidak harus begadang mengurus bayi. Karena itulah Eva santai saja. Tapi masalahnya ibunya menuntut cucu dari pernikahannya. Sampai terjadi perdebatan dan pertengkaran antara ibunya dan ibu Fardan. Bahkan ibunya meminta bukti Fardan tidak mandul dengan meminta Fardan menikah kontrak dengan seorang wanita. Sesuatu yang tidak masuk akal menurut Eva. Tapi Eva enggan berdebat dengan ibunya, karena ibunya pendukung utama bisnisnya. Eva setuju dan menyerahkan urusan ini kepada ibu mertuanya. Sempat terjadi perdebatan juga antara dirinya dengan Fardan. Fardan tidak ingin menyakiti hatinya. Eva meyakinkan ini demi rumah tangga mereka juga. Setelah dibujuk barulah Fardan bersedia. Satu masalah terasa terlepas bagi Eva. Dengan ini akan terbukti apakah Fardan mandul atau tidak. "Tidak apa aku dimadu demi sebuah pembuktian." Eva tersenyum tipis. * Satu Minggu setelah Bu Farah menemui Mey, kini beliau datang lagi. Mey ditemani Fira adik ipar yang sudah seperti ibunya. "Berikan jawaban kamu sekarang juga, Mey." Mey menatap Bu Fira. Bu Fira menganggukkan kepala. "Saya menerima, Bu." "Alhamdulillah. Akad nikah malam Jumat ini." "Secepat itu?" "Apa lagi yang ditunggu." "Kita serahkan semuanya kepada Mbak saja." Bu Fira ikut bicara. "Aku akan bicara dengan putraku. Aku pulang dulu." Bu Farah bergegas pulang. Bu Farah tidak ingin menunda lagi. Saat ini momen yang tepat untuk pernikahan. Eva dan ibunya sedang pergi ke rumah ayahnya di Bali. Akad nikah tidak perlu ijin mereka lagi, karena Eva sudah membuat surat bersedia dimadu. Bu Farah langsung menuju rumah besar. Bu Farah minta Husna memanggil putranya. Bu Farah menunggu Fardan di kamarnya. "Ada apa, Bu?" "Wanita itu sudah setuju menikah dengan kamu. Ibu ingin kalian menikah malam Jumat ini." "Apa!? Kenapa secepat itu. Lagipula Eva sedang di Bali." "Kita tidak perlu Eva. Eva sudah memberi ijin kamu untuk poligami." Nada suara Bu Farah sedikit meninggi. "Mas kawinnya apa?" "Semua Ibu yang mengurus. Kamu tahu baca akad nikah saja." "Namanya siapa?" "Meylani Ashanty binti ...." "Meylani istri almarhum Ayah?" Fardan sangat terkejut. Tidak menyangka kalau istri yang dicarikan ibunya ternyata istri almarhum ayah angkatnya. Itu artinya ia akan menikahi ibu tirinya, karena bagi Fardan, Pak Fahmi adalah ayahnya. Orang yang sudah membesarkan, mendidik, dan merawatnya selama ibunya di luar negeri. "Aku bahkan belum pernah melihat wajahnya." "Ibu juga belum pernah melihat wajahnya. Tapi biasanya wanita bercadar adalah wanita yang menjaga kehormatannya dengan baik. Ibu yakin Mey tidak punya kekurangan." "Dia minta mahar apa?" "Dia tidak minta apa-apa. Nanti Ibu yang membelikan mahar untuk dia. Ingat kalian menikah malam Jumat. Ibu akan membelikan seserahan untuk dia." "Hanya nikah siri harus pakai seserahan juga?" "Untuk menghormati dia, karena sudah bersedia menikah dengan kamu." "Hmmm. Dapat janda lagi." "Sari memang janda?" "Gadis tapi ya begitulah." "Jadi kamu belum pernah merasakan perawan?" "Tidak apa, Bu. Toh ini hanya pernikahan kontrak saja." "Walau pernikahan kontrak, kamu harus berusaha agar Mey bisa hamil. Karena itu tujuan pernikahan ini. Jangan sampai Nini lampir itu menuduh kamu mandul. Ibu sakit hati sekali mendengarnya. Dokter sudah mengatakan kamu sehat, tapi dia punya pemikiran bodoh sendiri. Jangan-jangan dia ingin kalian berpisah. Lalu Eva dinikahkan dengan pria lain." "Bu. Tidak baik berprasangka buruk begitu. Apa yang dipikirkan ibu mertuaku itu wajar saja. Karena sudah dua kali menikah aku belum mempunyai anak." "Tapi tuduhannya tidak berperasaan. Ibu mertua macam apa itu!" "Sudah, Bu. Semoga saja pernikahan kontrak ini memberikan hasil yang baik." "Aamiin. Kamu sudah makan?" "Sudah. Aku mau istirahat, Bu." "Kembalilah ke kamarmu." "Baik, Bu." Fardan pergi dari kamar ibunya. Fardan kembali ke kamarnya di lantai atas. Fardan tidak tahu apa yang membawa dirinya melangkah ke balkon. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan. Fardan membuka kunci pintu balkon. Fardan melangkah dengan tatapan ke rumah di sebelah. Tadinya di sebelah itu ada tanah kosong. Kemudian dibeli ibunya untuk ayah angkatnya. Lalu dibangun rumah dan kabun di sana. Toko bunga yang cukup ramai pengunjungnya. Meski begitu setiap bulan ibunya selalu memberikan biaya hidup kepada Ayah angkatnya. Fardan teringat dengan almarhum Pak Fahmi. Pria sederhana pegawai kebun sawit. Pak Fahmi orang yang kalem dan tidak banyak bicara. Entah bagaimana Pak Fahmi bisa menikah dengan Mey, sedang usia mereka berbeda 43 tahun. Saat menikah usia Mey 19 tahun. Pak Fahmi 62 tahun. Pak Fahmi lebih cocok jadi kakeknya Mey. Tatapan Fardan ke rumah sebelah. Ada dua rumah di sana. Rumah Mey dan Rumah Bu Fira. Bu Fira satu-satunya adik Pak Fahmi. Bu Fira tinggal disana bersama Asikin suaminya. Mereka suami istri yang sudah menikah tiga puluh tahun, namun tidak memiliki keturunan. Pak Asikin dinyatakan mandul. Bu Fira tetap setia pada suaminya. Suaminya pekerja keras dan rajin. Di belakang rumah mereka bukan hanya ditanami bunga tapi ada sayur-sayuran juga. Sehingga mereka tidak perlu membeli sayuran. Suara ponsel Fardan berbunyi. Fardan masuk ke kamar. Kemudian mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja samping ranjang. "Halo, Eva." "Sudah pulang, Mas?" "Sudah. Bagaimana keadaan Ayah dan keluarga di sana." "Semuanya baik dan sehat. Ibu baru saja menelpon aku, memberitahu kalau Mas akan menikah malam Jumat ini. Mey yang akan jadi maduku." "Maafkan aku karena hal ini harus terjadi." "Aku mencoba lapang d**a, Mas. Mungkin ini memang cara agar kamu bisa punya anak darah dagingmu sendiri." "Aku tidak ingin anak dari wanita lain. Aku hanya ingin anak dari kamu." "Aku mengerti, karena aku juga merasakan itu. Tapi hidup kita bukan hanya milik kita, ada orang tua yang punya keinginan juga." "Jangan pernah berubah meski aku sudah menikah lagi. Ini hanya pernikahan kontrak selama dua tahun saja." "Mas yang jangan berubah. Tetaplah cintai aku." "Tentu saja. Kamu istriku, nafas dalam hidupku." "Terima kasih, Mas. Sudah dulu ya. Bye!" "Bye!" Pembicaraan mereka selesai. Fardan meletakkan ponselnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN