Mata Fardan terpejam. Sosok Mey terbayang. Mey dan Eva sangat jauh berbeda. Eva tubuhnya seksi dan menarik hati. Orang tidak cukup satu keli memandangnya. Mey tubuhnya mungil seperti ABG baru lulus SMP. Usianya 22 tahun tapi wajah dan tubuhnya tidak menunjukkan usianya. Mereka berdua sama cantik tapi dalan versi berbeda. Mey masih seperti gadis polos yang belum mengerti apa-apa. Tubuh Mey memang lebih putih dari Eva.
"Ya Tuhan kenapa aku memikirkannya. Singkirkan wanita lain dari dalam pikiranmu. Fokus pada istrimu saja."
Fardan mengusap wajah dan menggelengkan kepala. Namun tatapan mata Mey yang melotot masih terbayang olehnya. Mata Mey besar, terlihat indah saat melotot.
"Ya Tuhan."
Fardan menggelengkan kepala. Tiba di kantor bukan fokus pada pekerjaan tapi justru memikirkan sesuatu yang tidak penting. Fardan menegakkan tubuh, kemudian meraih laptop. Fardan ingin memeriksa email laporan dari orang kepercayaan di lapangan.
Perusahaan ini sudah hampir lima belas tahun ia bangun. Jasa ibunya begitu besar pada perusahaan ini. Ibunya juga yang mendesak ia agar sebaiknya membangun perusahaan sendiri. Tidak terus bekerja pada orang lain. Fardan memberanikan diri untuk membangun perusahaan ini dengan bantuan teman-teman satu kampus dengannya. Teman-teman satu kampus itu kini jadi orang kepercayaannya. Salah satunya adalah Defri. Defri memang adik tingkat tapi hubungan mereka cukup akrab. Defri sudah bekerja lima belas tahun bersamanya. Begitu juga dengan empat temannya yang lain. Mereka teman-teman yang setia dan mendukungnya sepenuh hati mereka.
Ponsel Fardan berbunyi. Fardan menatap layar ponselnya. Telepon dari Ken, teman yang membatalkan janji dengannya.
"Halo, Ken."
"Selamat pagi, Fardan."
"Selamat pagi. Ada apa?"
"Aku ingin minta maaf, karena membatalkan memakai perusahaan kamu untuk membangun rumahku."
"Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Kita tetap jadi teman." Fardan bicara dengan santai saja.
"Aku bertemu dengan Erik. Dia memberikan harga jauh dibawah yang dihitung oleh Zainal."
"Hidup adalah pilihan. Memilih yang terbaik bagi kita itu wajar saja. Aku mohon maaf kalau dari kami lebih mahal. Zainal pasti sudah mempertimbangkan semuanya. Aku hanya bisa mendoakan semoga kerja sama kalian sukses."
"Kamu masih kenal Erik?"
"Tentu saja kenal. Apalagi kami bergerak di bidang yang sama dan dari kampus yang sama. Yah walau kami tidak pernah sengaja bertemu dan tidak pernah berbincang."
"Aku lega karena kamu menerima keputusanku. Terima kasih banyak, Fardan."
"Semoga pembangunannya sukses."
"Aamiin. Selamat pagi."
"Selamat pagi."
Fardan meletakkan ponsel. Terdengar suara pintu diketuk.
"Masuk!"
"Selamat pagi, Pak."
Zainal muncul di ambang pintu. Meski mereka seumuran dan bisa dibilang teman dekat, tapi semua temannya memanggil Fardan dengan sebutan Bapak. Teman-temannya mengatakan sebagai bentuk rasa hormat mereka kepada Fardan. Tadinya Defri ingin memanggil Mister, karena wajah bule Fardan, tapi Fardan menolak. Fardan merasa dirinya orang Indonesia asli.
"Selamat pagi. Masuklah."
Zainal melangkah masuk lalu duduk di hadapan Fardan.
"Pak Ken menelpon saya membatalkan pembangunan rumahnya." Zainal menyampaikan yang sudah Defri sampaikan.
"Iya. Dia juga menelpon aku. Tidak apa-apa artinya bukan rezeki kita." Fardan menganggap itu bukan hal besar. Fardan percaya rezeki sudah ada jatahnya masing-masing.
"Seperti biasa, Pak. Pak Erik yang mengambil proyek kita." Zainal terdengar agak kesal pada Erik. Karena ini sudah kesekian kalinya Erik melakukan hal yang sama.
"Tidak usah sakit hati. Anggap saja kita sedang berbagi. Lagipula kita masih punya beberapa proyek besar." Fardan berusaha menenangkan Zainal.
"Iya, Pak. Ada yang menelpon saya dari PT. Sugih Indonesia, perusahaan makanan ringan. Mereka punya rencana membangun pabrik baru di daerah Tasikmalaya. Mereka ingin bekerjasama dengan kita dalam pembangunannya." Zainal memberi kabar baik pada Fardan. PT. Sugih Indonesia sepuluh tahun lalu membangun pabrik yang pertama juga memakai jasa perusahaan Fardan.
"Hilang yang kecil datang yang besar. Kapan rencana pertemuannya?" Tanya Fardan antusias. Jika orang yang pernah bekerjasama, kembali ingin bekerjasama itu artinya mereka puas dengan hasil kerja mereka sebelumnya.
"Senin depan, Pak."
"Baiklah. Defri sudah tahu?"
"Sudah, Pak." Kepala Zainal mengangguk.
"Kamu atur saja, saya siap bertemu mereka. Semoga deal pada akhirnya."
"Aamiin."
Itulah yang terjadi setiap Erik mengambil proyek mereka, tidak berselang lama mereka akan dapat proyek baru yang lebih besar.
Seperti janji.
Jam sembilan Fardan, Defri, Zikri, dan Zainal meninjau beberapa proyek yang sudah berjalan. Fardan merasa lega karena proyek berjalan sesuai rencana. Semua pekerja benar-benar terlihat fokus dalam menjalankan tugasnya. Mereka singgah untuk makan siang di sebuah rumah makan.
"Itu Erik!" Zainal menunjuk seorang pria tampan yang duduk tidak jauh dari mereka.
"Kelakuannya tidak berubah. Masih suka gonta-ganti cewek. Makanya tidak ada perempuan yang tahan jadi istrinya. Dia sudah duda lima kali." Zainal tampak masih kesal pada Erik.
"Ternyata Zainal fans tersembunyi Erik." Zikri tersenyum.
Fardan dan Defri tertawa pelan.
"Ngambil proyek orang duitnya buat para cewek!" Zainal mendengus kesal.
"Memang sejak kuliah dia begitu. Selalu bersikap sok kaya."
"Dia bukan sok kaya, tapi memang kaya. Mobilnya saja gonta-ganti."
"Yang kaya itu kakeknya. Lalu turun ke ibunya. Erik hanya memanfaatkan kekayaan yang sudah ada."
"Yang aku bingung, kenapa selalu proyek kita yang dia ambil."
"Mungkin dia merasa sudah mengalahkan Pak Fardan. Saingan sejak kuliah."
"Padahal kita tidak pernah menganggap dia sebagai saingan. Lagipula apa yang membuat dia membenci aku. Dia anak orang kaya. Keluarganya jauh lebih kaya dari keluargaku."
"Mungkin dia tidak suka Bapak karena mata Bapak biru. Sedang dia matanya hitam padahal katanya Bapak dia juga bule bermata biru."
Fardan tertawa.
"Masa hanya karena bola mata dis membenciku."
"Itu hanya dugaan, Pak."
"Sudahlah tidak usah dibicarakan lagi. Tidak penting juga untuk kita. Selesaikan makan siang kalian."
"Baik, Pak."
*
Pulang dari kantor saat jam sudah menunjukan pukul tujuh. Karena Fardan meninjau beberapa proyek.
"Kamu sudah makan malam?" Tanya Bu Farah.
"Sudah, Bu. Aku mau mandi."
"Beberapa pakaian kamu, Ibu antar ke sebelah. Pintu penghubung sudah dibersihkan dan bisa dibuka lagi. Jadi kalau kamu ke sebelah lewat pintu penghubung saja."
"Baik, Bu."
"Malam ini kamu harus ke sana. Tidak boleh libur mumpung Eva tidak ada."
"Iya, Bu. Aku mandi dulu."
"Ya sudah. Mandi sana."
Fardan melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya di atas. Fardan membuka pintu kamarnya. Lalu menghempaskan tubuh di atas sofa. Rasa lelah yang ia rasa. Padahal biasanya tidak pernah lelah begini. Tanpa sadar Fardan tidur sambil duduk. Seharian ini memang banyak yang ia kunjungi dan kerjakan. Mengunjungi proyek bukan sesuatu yang gampang, karena banyak hal yang harus diperhatikan. Untungnya pekerjaan proyek semuanya berjalan lancar.
*