Fardan terbangun karena mendengar suara ibunya.
"Maaf, Bu. Aku tertidur." Fardan meminta maaf pada ibunya. Karena tanpa sadar sudah tertidur.
"Badan kamu lelah ya?" Bu Farah menatap putranya.
"Iya, Bu."
"Berapa ronde tadi malam?"
"Hah!?" Fardan terkejut mendengar pertanyaan ibunya.
"Ibu pikir karena kamu kelelahan bekas tadi malam." Bu Farah tersenyum.
"Tidak ada hubungannya, Bu. Hari ini aku banyak pekerjaan. Meninjau beberapa proyek yang sedang berlangsung." Fardan menjelaskan yang sebenarnya.
"Jadi tadi malam berapa ronde?" Bu Farah masih penasaran.
"Satu kali saja, Bu."
"Harus ditingkatkan biar cepat jadi!"
"Aku harus mandi sekarang, Bu."
Fardan ingin menghindari pembicaraan tentang itu.
"Mandilah. Ibu juga mau ke kamar. Selamat malam." Bu Farah berdiri dari duduknya.
"Selamat malam, Bu."
Bu Farah ke luar dari kamar Fardan.
Fardan bangkit dari duduk lalu masuk ke kamar mandi. Sebetulnya Fardan merasa malas pergi ke sebelah, tapi ibunya benar juga. Ia harus bisa membuktikan kalau dirinya tidak mandul. Mungkin saja kalau setiap malam mereka bercinta, Mey bisa cepat hamil.
Selesai mandi, Fardan ke kamar ibunya. Minta tolong agar dibukakan pintu penghubung. Bu Farah menelpon Asikin. Minta agar pintu dibukakan. Fardan melangkah ke pintu penghubung dari besi itu.
"Selamat malam, Tuan."
"Selamat malam."
Fardan melangkah masuk. Asikin menutup dan mengunci pintu.
"Mey dimana?"
"Di kamarnya, Tuan."
"Terima kasih."
Fardan melangkah menuju kamar Mey.
Fardan mengetuk pintu.
"Sebentar."
Terdengar suara Mey dari dalam. Pintu terbuka, Mey tampak terkejut melihat Fardan.
"Tuan!"
Mey mundur dua langkah saat Fardan melangkah masuk. Fardan menutup dan mengunci pintu.
Mereka berdiri berhadapan. Kepala Mey mendongak untuk menatap Fardan.
"Lepas pakaianmu!"
Dengan perlahan Mey memutar tubuh.
"Siapa yang menyuruh kamu membelakangi aku!?"
Mey memutar tubuhnya lagi.
"Maaf."
Mey melepaskan jilbab di kepalanya. Lalu perlahan menarik turun resleting di d**a.
"Kamu terlalu lambat!"
Tiba-tiba Mey merasa tubuhnya melayang. Fardan mengangkat dan menurunkannya di atas meja. Mey mendongak menatap wajah Fardan yang tanpa senyuman. Fardan mencium bibirnya dan memegang tengkuknya. Ciuman yang sangat agresif. Mey tanpa sadar memukul d**a Fardan karena ia sulit bernafas.
Fardan melepaskan ciumannya.
"Ulun manggah."
(saya susah bernafas) Wajah Mey tampak merah. Fardan menarik kursi dari depan meja rias. Mey diturunkan di atas pangkuannya. Punggung Mey bersandar dimeja. Kedua kaki Mey disisi kedua paha Fardan. Posisi yang membuat tubuh mereka sangat dekat. Ujung d**a Mey menyentuh d**a Fardan. Wajah Mey merah padam.
Bibir Fardan menyusuri bahu Mey. Kedua tangan Fardan menyentuh gunung kembar yang seputih s**u. Kepala Mey terdongak ke belakang. Jemari Mey menggenggam rambut Fardan.
"Tuan ...."
Mey tidak bisa menahan mulutnya agar tidak bersuara. Mey mendesis dan melenguh.
"Tuan!"
Mey memekik kecil saat petualangan tangan Fardan sampai ke miliknya. Fardan membuka kedua paha sehingga kedua paha Mey terbuka lebih lebar.
Mey tidak kuat menahan gejolak di dalam diri karena sentuhan yang begitu intens dari Fardan.
"Tuan! Saya ... Saya ... Saya ...."
Mey terkulai lemas.
Fardan mendekap tubuh Mey. Mey mencapai puncak sendirian.
Kepalanya terkulai di atas bahu Fardan. Fardan mendekap tubuh Mey yang wangi. Lalu Fardan mengangkat tubuh Mey dan membaringkannya di atas kasur. Fardan menatap lekat tubuh Mey yang mungil dan putih. Fardan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga Mey tetap perawan meski sudah menikah beberapa tahun dengan ayah angkat Fardan. Fardan menatap celananya yang basah. Fardan turun dari ranjang kemudian masuk ke kamar mandi. Fardan melepas pakaian dan membersihkan diri. Malam ini Fardan merasa lelah jadi tidak ingin bercinta. Fardan mengambil pakaian di dalam lemari. Pakaiannya tersusun rapi di sana. Fardan hanya mengambil celana pendek saja.
Setelah memasang celana, Fardan membersihkan kursi dan lantai. Sudah terbiasa melihat semua serba rapi dan bersih sehingga tidak merasa nyaman kalau berantakan.
Setelah selesai, Fardan berbaring di samping Mey. Fardan memasang selimut dan memejamkan mata. Fardan berusaha untuk tidur. Matanya memang terpejam tapi wanita disebelahnya mengganggu perasaannya. Mey tampak bergerak gelisah.
"Mey." Fardan menepuk pipi Mey.
Mata Mey terbuka. Mey terlihat terkejut melihat Fardan. Sesaat kemudian Mey sudah menyadari kalau Fardan suaminya.
"Kenapa? Kamu mimpi buruk?"
"Tidak apa-apa."
Mey membelakangi Fardan.
"Siapa yang menyuruh kamu membelakangi aku?" Fardan selalu kesal kalau dibelakangi.
Mey kembali menghadap Fardan. Wajahnya cemberut. Tapi cepat ia tutup dengan selimut.
"Buka selimut kamu!" Fardan jadi kesal.
"Ehm. Saya ...."
Air mata meluncur di sudut mata Mey.
"Ada apa? Kenapa menangis?" Fardan melihat air mata Mey.
"Tuan galak." Mey mengungkapkan isi hatinya. Selama ini semua orang sangat ramah dan baik kepadanya.
"Hah!"
Fardan tidak menyangka Mey akan menjawab seperti itu. Melihat wajah Mey saat ini, Fardan merasa tengah menghadapi gadis ABG yang sedang ngambek.
"Kamu orang pertama yang mengatakan aku galak. Aku tidak galak. Aku tegas. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku tidak suka. Agar kamu jangan melakukan itu." Fardan tidak setuju dirinya disebut galak.
"Saya takut sama, Tuan."
Mey menutup lagi wajahnya dengan selimut. Fardan merasa gemas dengan tingkah Mey.
"Kalau mengobrol dengan aku, tatap wajahku. Hargai orang yang bicara dengan kamu!"
Mey membuka selimut yang menutupi wajahnya. Air matanya menetes lagi.
"Almarhum Bapak tidak pernah marah sama saya." Mey mengungkapkan perlakuan almarhum suaminya.
"Usia kamu berapa, Mey?" Tanya Fardan.
"Hah!?"
"Usia kamu berapa?" Fardan mengulangi pertanyaannya.
"Dua puluh dua tahun."
"Usia kamu sudah dewasa, tapi sikap kamu masih seperti ABG." Fardan menatap lekat wajah Mey.
"Iya, saya masih seperti anak kecil. Tidak seperti Tuan yang sudah tua!" Tanpa sadar Mey bicara dengan nada agak keras.
"Apa!? Aku kamu bilang tua!?"
"Salah ya. Maaf ...."
Fardan menggelengkan kepalanya.
"Di kampung, usia empat puluh tahun itu biasanya sudah punya cucu. Jadi sudah tua kan?'
Fardan baru tahu kalau Mey tidak pendiam seperti dugaannya. Mey mulai banyak bicara.
"Ini dikota bukan dikampung!"
"Siapa bilang ini dikampung. Saya tidak ada bilang begitu kok."
"Jangan samakan lelaki di kota dengan lelaki di kampung."
"Saya tidak menyamakan. Saya cuma bilang lelaki empat puluh tahun kalau di kampung sudah punya cucu. Seperti Paman Amir, Paman Kholil, Paman ... eh maaf, saya terlalu banyak bicara ya." Mey langsung menutup mulutnya.
"Kamu kelihatan pendiam, tapi ternyata banyak bicara!" Fardan menggerutu. Mey ternyata tidak pendiam seperti pikirannya.
"Maaf. Saya mau tidur lagi."
Mey menutup matanya. Fardan menatap wajah Mey. Fardan yakin Mey belum tidur.
"Kamu SMA mana?" Tanya Fardan.
"Heh. SMAN 2."
"Sama dengan aku ya."
"Sama? Saya lulus tahun ...."
"Maksudku kita sekolah di tempat yang sama!" Suara Fardan menunggu karena Mey tidak mengerti maksud ucapannya.
"Galak!"
*