Fardan menatap Mey. Wajah Mey cemberut. Fardan baru menyadari kalau Mey ternyata gadis yang manja. Fardan berusaha mengingat cerita tentang Mey. Ternyata tidak ada siapapun yang bercerita secara khusus tentang Mey kepadanya. Fardan hanya tahu kalau sejak kecil Mey tinggal di rumah Pak Fahmi karena Bu Fira yang mengasuh Mey. Karena itu Bu Fira sangat menyayangi Mey. Fardan yakin Bu Fira dan Pak Asikin memanjakan Mey.
"Aku tidak, suka kamu menyebut aku galak!"
"Kalau tidak suka ya jangan galak-galak. Perasaan saya tidak tenang didekat Tuan karena takut Tuan marahin. Tuan menikahi saya karena ingin punya anak. Kalau perasaan saya tidak tenang, bagai ... hmmmpp!" Mata besar Mey melotot. Fardan membungkam ucapannya dengan ciuman. Ciuman lembut yang menghanyutkan. Satu tangan Fardan dibawah tengkuk Mey, satu tangan lagi berkelana ditubuh Mey.
"Tuan!" Mey memekik kecil saat Fardan merayu gunung kembar dengan sentuhan sedikit keras karena merasa gemas. Puncaknya mungil menggemaskan. Fardan merasa tidak bisa melewatkannya. Sentuhan Fardan terus berlanjut. Membuat Mey merasa timbul tenggelam dalam kenikmatan. Walau baru kali ini merasakan pernikahan, namun Mey yakin kalau Fardan lelaki yang sangat lihai dalam menyentuh wanita. Hal itulah yang membuat Mey merasa timbul tenggelam dalam kenikmatan. Sesuatu yang baru pertama Mey rasakan. Walau tanpa cinta tapi tak bisa dipungkiri kalau dirinya merasakan nikmat sebagai istri.
"Tuan!" Mey memekik lagi.
Kedua tangannya menjambak rambut Fardan. Mulut Mey tidak bisa diam. Ada rasa sedikit sakit sekaligus nikmat yang ia rasakan. Mey tidak tahu kenapa Fardan suka sekali menikmati benda yang tersembunyi diantara dua dinding itu.
"Tuan, saya tidak tahan lagi!" Mey tidak ingin muntah mengenai mulut Fardan. Fardan menegakkan tubuhnya. Lalu memposisikan dirinya siap tempur. Mata Mey melotot melihat senjata Fardan. Mey terpekik saat senjata itu terasa membelah dirinya. Fardan membungkam pekikan Mey dengan ciuman. Ciuman terlepas karena Mey memukul Fardan.
"Sakit tahu!" Mata Mey melotot.
"Jadi yang galak itu kamu atau aku?"
"Tu ...."
Fardan membungkam mulut Mey lagi. Kali ini dengan ciuman lembut. Selembut gerakannya mendayung menuju pulau kepuasan. Mey tidak bicara lagi karena terhanyut dengan kelembutan yang Fardan berikan. Sentuhan lembut yang menenangkan jiwanya. Setelah usai, Fardan membawa Mey ke atas tubuhnya. Didekap lembut tubuh Mey. Fardan melupakan Eva sejak kakinya melangkah keluar dari pintu kamarnya. Itu membuat Fardan perasaannya lebih tenang dan lebih fokus saat bercinta. Fardan memejamkan mata, rasa lelah yang menerpa tubuh membuatnya tidur dengan cepat.
*
Fardan terbangun saat hidungnya mencium aroma terasi. Fardan duduk dan menatap sekeliling. Terdengar suara dentingan alat dapur dari samping kamar. Fardan memang belum memperhatikan kamar ini. Yang Fardan lihat hanya ranjang, sofa, televisi, meja, dan lemari serta kamar mandi.
"Kau disana, aku di seberangmu ...."
Fardan mendengar Mey bersenandung dengan suara merdu. Fardan turun dari tempat tidur. Fardan menatap seprai yang tidak kotor. Fardan merapikan seprai lalu masuk ke kamar mandi. Fardan segera mandi. Selesai mandi, Fardan mencari pakaiannya di dalam lemari. Fardan memakai celana pendek jeans selutut dan kaos putih. Kemudian Fardan menyisir rambut, lalu beranjak menuju dapur.
"Eh Tuan sudah bangun. Tuan ingin minum apa?"
Wajah Mey yang putih tampak merah. Mey memakai daster kaos tanpa lengan warna maroon. Itu membuat kulitnya tampak menyala. Mey memang putih sekali. Di lehernya terlihat jelas bekas kecupan Fardan.
"Kopi s**u ada?" Tanya Fardan.
"Ada. Ibu yang mengantar kemarin."
Ibu Fardan kemarin bukan hanya mengantar pakaian, tapi juga mengantar kopi s**u yang jadi minuman Fardan. Walau tidak minum kopi setiap hari. Bu Farah juga mengantarkan beberapa toples kue dan kerupuk melinjo. Kata Bu Farah, Fardan sering makan dengan ditemani kerupuk melinjo. Bu Farah sangat perhatian pada putranya.
"Ibu?"
"Iya. Kata Ibu itu kopi s**u kesukaan Tuan. Walau Tuan jarang minum yang bergula." Mey menganggukkan kepala.
Mey membuatkan kopi s**u untuk Fardan. Kemudian meletakkan di atas meja didepan Fardan. Kemudian Mey menata sarapan di atas meja.
"Maaf, saya cuma bisa masakan kampung."
Fardan menatap ikan peda yang dimasak asam, manis, pedas. Kemudian tumis terasi kacang panjang. Makanan sederhana ala kampung yang menggugah selera.
"Kata Ibu, Tuan tidak memilih-milih makanan. Asal jangan keasinan dan kemanisan. segini cukup nasinya." Mey mengambilkan Fardan nasi.
"Cukup."
"Sarapan itu harus banyak. Untuk bekal aktifitas kita seharian. Jadi kita bisa semangat dalam bekerja."
Mey meletakan piring berisi nasi, ikan, dan sayur di hadapan Fardan. Fardan jadi teringat dengan ibu angkatnya. Cara Mey melayani sama dengan cara ibu angkatnya melayani saat ini. Padahal Mey tidak pernah bertemu dengan ibu angkatnya. Karena ibu angkatnya meninggal saat Fardan masih tinggal di sana.
"Mulut kamu sariawan ya kalau tidak terus bicara?" Fardan menatap Mey yang pagi ini banyak bicara.
Wajah Mey cemberut. Fardan gemas sekali melihatnya.
"Sini!"
Fardan memanggil Mey agar mendekat kepadanya. Mata Mey melotot karena tiba-tiba Fardan mencium bibirnya. Setelah hilang rasa kagetnya, Mey membalas ciuman Fardan. Ciuman yang semakin dalam. Hanya terlepas sebentar saja kemudian dilanjutkan. Mey memukul bahu Fardan karena merasa mulai sesak nafas. Fardan melepaskan ciuman.
"Manggah?" Tanya Fardan dengan bahasa Banjar.
"Capek."
Mey berusaha menormalkan nafasnya.
"Ayo makan!"
Mey turun dari pangkuan Fardan. Mey duduk di kursi seberang Fardan. Fardan minum air putih dulu sebelum menyuap makanannya.
"Lupa. Kerupuk!"
Mey bangkit dari duduk. Mey mengambil toples berisi kerupuk melinjo. Kerupuk Melinjo di pindah ke dalam piring agar mudah mengambilnya.
"Kerupuk ini juga dari Ibu. Enak ya masih punya Ibu. Tapi saya tetap bersyukur meski tidak punya ibu, ada ibu angkat yang sangat menyayangi."
Fardan diam saja, asik menikmati makanan ala kampung yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Enak tidak masakan saya?" Tanya Mey seraya menatap Fardan.
"Biasa saja!"
"Huh! Selain galak ternyata pelit pujian juga. Harusnya walau tidak enak harus dihargai. Diberi sedikit pujian biar yang memasakan senang."
Mey menceramahi Fardan. Fardan heran dengan Mey. Mey yang kemarin terlihat pendiam, tapi yang ini tidak mau diam.
"Baterai kamu baru diisi ya?" Fardan menatap Mey.
"Iya, iya, saya diam. Kodratnya wanita itu memang ceriwis. Kalau tidak ceriwis bukan wanita namanya. Saya ...."
"Katanya mau diam."
Wajah Mey cemberut. Fardan sangat menyukai saat Mey cemberut begini. Sangat menggemaskan dan menarik hati. Bibir mungilnya terlihat seksi.
Mey menyuap makanannya tanpa bicara lagi. Mey memang menjaga diri tidak banyak bicara dengan orang lain. Tapi karena Fardan bukan orang lain lagi Mey ingin jadi dirinya sendiri. Mey yang ceriwis, ceria, dan banyak bicara.
*