Mey diam, Fardan merasa kesepian.
"Apa cita-citamu, Mey?" Tanya Fardan memancing pembicaraan.
"Boleh bicara ya?" Mey menatap wajah Fardan.
"Jawab saja pertanyaanku."
"Ingin jadi istri dan ibu yang baik."
Jawaban Mey tidak terduga oleh Fardan.
"Tidak ingin punya profesi yang mentereng begitu?" Fardan belum yakin kalau itu cita-cita Mey.
"Ibu rumah tangga itu profesi paling mentereng, meski tidak punya ijazah dan kadang di anggap bukan wanita mandiri." Mey mengungkapkan kekagumannya pada wanita yang memilih jadi ibu rumah tangga.
"Kenapa hanya ingin jadi ibu rumah tangga?" Fardan sangat penasaran dengan pemikiran Mey.
"Jangan katakan ibu rumah tangga itu sebagai hanya. Menjadi ibu rumah tangga perlu keikhlasan dan ketulusan hati. Orang yang bekerja belum tentu punya itu." Mey tidak suka ibu rumah tangga direndahkan.
Fardan menambah nasi ke piringnya. Lauk juga ia tambahkan. Masakan Mey mirip masakan ibu angkatnya.
"Kalau bukan karena Almarhumah Bu Aini, Tuan belum tentu jadi orang hebat seperti saat ini. Meski ibu angkat tapi peranannya penting dalam hidup Tuan." Mey mengingatkan peran dari istri Pak Fahmi dalam mengasuh dan mendidik Fardan.
"Jangan panggil aku Tuan." Fardan tidak ingin dipanggil Tuan.
"Mister!?"
"Aku orang Indonesia, Mey. Bukan bule." Fardan memang merasa dirinya sebagai orang Indonesia asli walau tampilannya bule.
"Mata Tuan biru seperti samudera, bagus sekali." Mey tidak segan memuji mata Fardan.
"Yang bule ayahku. Aku asli Indonesia."
"Iya sih. Mana ada bule namanya Fardan Wicaksana. Ibu pintar membuat nama untuk anaknya. Saya ...."
"Diam, Mey!"
"Umm ...."
Fardan menghabiskan makannya. Habis juga ikan dan sayur. Mey melongo. Empat ekor yang ia masak dan kacang panjang habis semua. Ternyata benar kata Ibu Farah, Fardan pemakan segala.
"Toko buka tidak?"
"Toko tidak pernah tutup, kecuali ada sesuatu dan hari besar Islam."
"Susul aku nanti ke toko ya. Aku ingin ngobrol dengan Pak Asikin."
"Iya."
Fardan ke luar dengan membawa gelas berisi kopi. Mey membereskan bekas makan mereka. Setelah selesai, Mey mengganti pakaian dengan jubah biru tua, jilbab biru tua, dan cadar biru tua. Setelah merasa beres, Mey keluar dari kamar. Mey melihat Fardan duduk di sofa sedang mengobrol dengan dua orang pria. Diatas meja ada tiga gelas kopi dan dua toples kue kering. Mey mendekati Bu Fira.
"Itu siapa, Bu?" Tanya Mey.
"Tadi mau beli bunga. Waktu melihat Tuan, ternyata kenal dengan Tuan. Jadi mereka ngobrol," jawab Bu Fira.
"Siapa yang buatkan minum?"
"Bapakmu."
Ada pembeli yang datang membuat Bu Fira, Mey, dan Pak Asikin sibuk melayani pembeli. Dihari weekend memang lebih ramai dibanding hari biasa. Ada yang memesan paket bunga. Ada yang memesan karangan bunga untuk mengucapkan sesuatu. Ada yang memesan untuk keperluan acara. Kecil atau besar permintaan semua dilayani dengan baik.
"Mey hari ini masak sendiri atau ingin makan sama-sama Ibu?" Tanya Bu Fira. Mey memang kadang ingin masak sendiri, kadang ingin makan bersama Bu Fira dan Pak Asikin.
"Masak sendiri saja, Bu. Mister makannya banyak. Porsi kita bertiga habis dia makan sendiri saja."
Bu Fira tertawa.
"Sesuai dengan badannya yang besar Mey." Bu Fira menatap Fardan.
"Kok bisa ya badannya sebesar itu!" Mey juga menatap Fardan. Fardan terlihat santai mengobrol dengan teman-temannya.
"Bapak dia bule. Mungkin badan dia sama dengan badan bapaknya. Tapi kamu kuatkan dia tindihan?" Bu Fira menggoda Mey.
"Ih Ibu. Malu ah!"
Bu Fira tertawa lagi. Mey adalah anugerah baginya. Mereka saling mencintai dan saling menyayangi. Jika ada yang mengganggu Mey maka dirinya dan suaminya yang pasti membela Mey. Sejak kecil Mey jadi pusat perhatian, karena kecantikannya. Menurut ibu kandungnya ayah Mey pria berdarah Korea. Seorang pria yang ternyata sudah memiliki istri. Ibu Mey lari karena tekanan dari istri suaminya itu. Begitu tiba diperkebunan Mey langsung diasuh oleh Bu Fira. Bu Fira sudah sepuluh tahun menikah belum memiliki anak. Kedatangan Mey membawa kebahagiaan pada Bu Fira dan Pak Asikin.
"Tamu Mister kok lama sekali ya, Bu."
"Teman yang lama tak bertemu mungkin."
"Ada ya yang mau berteman dengan orang galak begitu."
"Mister galak?"
"Iya. Aku dimarahi terus."
Bu Fira tertawa. Bu Fira tidak yakin Fardan bisa marah. Bu Fira berteman dengan Fardan selama delapan belas tahun. Mereka sama-sama tinggal di rumah Pak Fahmi.
"Ibu tidak yakin dia galak sama kamu."
"Ibu tidak kenal dia sih!"
"Tidak kenal bagaimana. Kami tumbuh bersama selama belasan tahun."
Mey melongo.
"Oh iya ya. Dia kan tinggal di rumah Bapak."
"Kamu mau masakkan. Masak dulu sana."
"Iya. Aku mau ke kebun dulu petik sayur."
"Ikannya ada?"
"Ada patin. Mau aku gangan asam ala Banjar."
"Dulu, Mister suka patin gangan asam pakai sambal terasi."
"Ya sudah, Bu. Aku kebelakang dulu. Mau petik kacang, sawi, dan timun. Petik tomat, cabe, dan rawit juga."
"Bawa Wadah kalau ke kebun."
"Iya, Bu."
Mey meninggalkan toko. Mey mengganti pakaian dulu sebelum ke kebun. Mey memakai daster dan jilbab. Mey memetik timun, kacang panjang, sawi, tomat, cabe hijau, cabe merah, dan cabe rawit.
Semua dimasukan keranjang dari bambu. Lalu dibawa masuk ke kamar.
Pertama Mey membersihkan ikan patin dulu. Satu ekor ikan dibagi dua. Tidak semua dimasak. Lalu Mey membuat bumbu. Bumbu kuning campuran bawang merah, bawang putih, kemiri, dan serai juga kunyit. Ikan yang sudah dicuci dimasukan ke dalam bumbu. Didiamkan sebentar. Tidak lupa diberi irisan tomat, cabe hijau, dan cabe merah. Lalu Mey membersihkan sayurannya.
Setelah membersihkan sayuran Mey salat Dzuhur dulu sebelum lanjut memasak. Setelah salat Dzuhur, Mey lanjut memasak. Gangan asam Banjar patin dan sambal terasi.
Pintu kamar terbuka. Fardan masuk ke dalam kamar. Fardan melangkah ke dapur.
"Kamu sudah masak makan siang?" Fardan menatap panci di atas kompor.
"Sudah. Tuan ingin minum apa?"
"Air putih es saja."
Fardan mencuci gelas bekas kopi.
"Masak apa?" Fardan membuka tutup panci karena penasaran.
"Gangan asam patin dan sambal terasi."
"Wah aku lama tidak makan itu." Fardan tampak senang dengan menu makan siang hari ini.
"Pasti makannya ala luar negeri terus." Mey menebak makanan yang sering dinikmati Fardan.
"Penampilanku memang seperti bule, tapi aku suka makanan Indonesia." Fardan menolak disebut sering makan menu luar.
Meski sesekali ia makan menu luar, tapi tidak setiap hari. Mey meletakan air es di atas meja. Kemudian menata gangan asam di dalam mangkuk. Lalu mengangkat cobek yang berisi sambal. Kemudian mengambil nasi dari pemanas. Tidak lupa air cucian tangan.
Mey mengambilkan nasi beserta lauk pauk untuk Fardan. Fardan makan dengan menggunakan tangan.
"Enak sekali."
"Tentu saja enak. Dibuat dengan cinta."
"Cinta?" Fardan menatap Mey.
Mey sadar kalau asal bicara.
*