Part 4

1045 Kata
Farah terbangun dari tidur lelapnya saat mendengar suara bising dari luar kamarnya. Suara bising itu terdengar sangat kencang dan tak berhenti yang menyebabkan ia akhirnya terbangun. Farah mencoba menetralkan kedua matanya agar tidak terlalu mengantuk dengan mencuci muka. Sebab, dengan mencuci muka dirinya bisa lebih mengontrol matanya agar tidak telalu mengantuk. Farah pun pergi ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Setelah selesai dirinya mencuci muka, Farah memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ceklek. Mata Farah membulat seketika saat dirinya melihat banyak rangkaian bunga di depan matanya. Dekorasi-dekorasi ala lamaran juga sudah terpasang dengan sangat cantik. Sisa dekorasi bunga di depan rumahnya yang ternyata menjadi sumber suara kebisingan yang membuat dirinya terbangun dari tidurnya. Tak hanya itu, makanan serta minuman sudah tersedia di sana dilengkapi dengan karpet berwarna merah yang siap menyambut kedatangan sang pria untuk melamar gadis pujaannya. Refleks, Farah tersenyum dibuatnya. Pagi-pagi ini ia belum mandi, namun sudah mendapatkan kejutan indah seperti ini. Di saat dirinya sedang menjelajahi keindahan dari dekorasi untuk lamarannya hari ini, sang bunda datang menghampirinya. "Wah, Si Cantik ternyata sudah bangun ya? Hari ini adalah hari lamaran kamu loh, Nak. Cie... Cie..." goda Diana yang tak lain adalah sang bunda. Sontak saja godaan Diana tersebut membuat senyum Farah terangkat yang menandakan bahwa ia bahagia. "Ah, Bunda. Jangan begitu, Farah jadi malu." kata Farah malu-malu. "Gimana? Kamu senang nggak?" "Kalau Bunda sama Ayah senang otomatis Farah ikut senang dengan semua itu, Bunda." "Anak yang baik," Diana mencium puncak rambut sang putri lalu menyuruh gadis itu untuk mandi, "kamu belum mandi ya?" "Iya, Bunda. Baru aja Farah bangun tidur gara-gara suara dari luar." "Tuh, kan! Gimana kamu ini? Masa mau lamaran belum mandi? Nanti bau asem loh, kamu kalau nggak mandi. Malu sama jodohmu masa hari bahagia gini nggak mandi? Mandi, Nak." "Hehehe iya, Bunda. Farah mau mandi dulu." "Oh iya, Nak. Baju untuk hari ini udah Bunda taruh di ruang ganti ya. Nanti bentar lagi ada perias yang bakal ke sini merias wajah kamu biar jodohmu nambah sayang sama kamu." "Astaga, Bunda. Bisa aja." jawab Farah sembari geleng-geleng kepala mendengar perkataan sang bunda. Dari dulu, Diana memang mengidam-idamkan sosok pria untuk menjaga sang putri. Akhirnya setelah beberapa lama pria itu datang untuk melamar anaknya yang tak lain adalah anak dari rekan kerja suaminya sendiri. Maka dari itu Diana sangat excited dalam lamaran putri satu-satunya ini. *** Setelah selesai membersihkan tubuhnya dan selesai mengenakan gaun lamarannya. Farah akhirnya memasuki tahap rias wajah. Wanita yang merias wajahnya ternyata sudah datang dari tadi dan menunggu Farah untuk dirias. "Ini Mbak Farah, ya? Yang mau dirias?" "Iya, Kak. Benar saya Farah." "Baik, Kak. Silakan duduk menghadap cermin." Farah tersenyum lalu mengikuti instruksi yang diberikan sang perias. Pertama-tama, wajah Farah diberikan pelembab agar wajahnya terhidrasi dengan baik. Setelah diberikan pelembab, perias itu melanjutkannya dengan memberikan alas bedak berupa foundation dan mulai merias dengan tangannya yang sudah lihai. Sembari merias wajah cantik Farah, wanita tersebut juga memulai topik obrolan agar tidak ada rasa canggung diantara mereka berdua. "Umur berapa Mbak?" "23 tahun, Kak." "Umur yang sudah matang untuk menikah itu, Mbak." "Hehehe iya, Kak." "Mbak sudah kenal lama ya dengan calon suami, Mbak? Udah berapa lama menjalin hubungan? Pasti udah bertahun-tahun lebih ya." "Eh? Nggak kok Kak. Saya baru kali ini menjalin hubungan. Saya juga belum pernah ketemu orangnya. Jangankan bertemu, melihat sosoknya saja nggak pernah." "Heh? Serius, Mbak?" "Iya, Kak." "Dulu pas masih remaja SMA, Mbak Farah nggak pernah punya kekasih?" "Nggak pernah, Kak. Saya nggak dekat sama lelaki pas SMA. Teman saya dikit, dan itupun kebanyakan perempuan dibanding laki-laki." "Ya ampun, kenapa begitu, Mbak? Mbak Farah nutup diri ya dari lingkungan sekitar?" "Entahlah, saya juga nggak tahu, Kak. Saya nggak bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Bagi saya hal itu melelahkan." "Saya yakin kok, Mbak Farah bakal menjadi sosok yang bisa bersosialisasi. Mbak Farah mulai belajar menyapa orang sedikit-sedikit. Itu sih, kunci yang saya terapkan seperti yang saya lakukan sekarang." "Iya, Kak. Terima kasih." "Jadi Mbak-Nya ini dijodohin ya, istilahnya?" tanya perias itu lagi. "Mungkin seperti itu." "Mbak-Nya mau?" "Tentu saja kenapa tidak?" "Astaga, Mbak. Bukannya apa ya, tapi Mbak kan' belum tahu sifat-sifat orangnya bagaimana. Ketemu saja belum pernah." "Memangnya kenapa ya, Kak?" "Hati-hati aja ya, Mbak." "Hati-hati apanya ya, Kak?" kata Farah tak mengerti dengan apa yang wanita itu katakan. "Biasanya kalau baru pertama kali jatuh cinta pasti ada sakit hatinya juga, Mbak." "Sakit hati?" "Iya, karena nggak selamanya cinta pertama itu berjalan mulus. Contohnya aja kayak anak muda, mereka kerap kali jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang berbeda di setiap masanya. Mereka nggak stuck di cinta pertama karena kebanyakan cinta pertama itu kadang kerap menyakitkan dan menjadi pembelajaran hidup." "..." Hening. Farah terdiam saat mendengar perkataan yang dilontarkan wanita tersebut. Perlu waktu beberapa lama untuk mencerna apa yang dikatakannya. Ya, seperti sebuah pesan tapi Farah sendiri tak tahu maksudnya apa. "Jadi, maksudnya nanti saya akan gagal pada pernikahan ini?" "Bukan begitu maksud saya, Mbak. Saya hanya berbicara sesuai dengan fakta yang ada. Kalau Mbak Farah tidak percaya dengan apa yang saya katakan ya tidak apa-apa. Saya berbicara seperti ini hanya untuk mengingatkan Mbak Farah tentang cinta pertama. Terlebih lagi Mbak Farah baru pertama kali menjalin hubungan ya, katanya?" "Iya, Kak." hanya dua patah kata itu yang bisa Farah lontarkan. "Saya serta lingkungan saya sudah mempunyai pengalaman serta memberikan contoh yang bisa dibilang nggak sedikit Mbak, dengan kegagalan cinta pertama. Tapi saya berharap hubungan Mbak Farah dan mempelai pria akan selalu bersama." "Aamiin," ucap Farah tak tahu harus bereaksi apa, "makasih atas doanya, Kak." "Iya, Mbak Farah sama-sama." Setelah lama berbincang akhirnya Farah selesai juga dirias. Ia terlihat sangat cantik dan menawan. Tak lama dari itu, pintu kamar ganti tersebut diketuk dari luar yang membuat Farah menoleh ke arah sumber suara. "Masuk saja." Ceklek. Dan ternyata itu adalah Diana. "Hei, cantik sekali kamu, Nak." puji Diana saat melihat putrinya yang telah selesai dirias. "Bunda juga cantik." Farah memuji Diana balik. "Kamu sudah siap, kan? Mereka sudah datang soalnya." Lagi-lagi. Farah tidak bisa menetralkan detak jantungnya karena kabar yang barusan sang bunda katakan. "Serius, Bun? Mereka sudah datang?" "Iya, Nak. Benar. Mereka menunggu kamu sejak tadi. Maka dari itu Bunda ke sini untuk memanggil kamu." "Astaga, maafkan aku, Bunda. Aku terlalu lama di sini." "Tidak apa-apa, ayo ikut Bunda kita temui mereka." Deg! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN