Mempelai Wanita Kabur.
“Uncle,” ucapnya, suara terengah-engah, “Aku ingin pergi. Ini bukan salahku. ‘Kan aunty yang kabur, kenapa aku yang dijadikan tawanan? Tahu gitu, mending aku tidak kasih tahu.”
Sebelum Jayden sempat menjawab, dengan gerakan cepat dan tak terduga, Jayden menggendong Zakiyah. Tubuh mungil itu mendadak melayang, kakinya tak lagi menyentuh tanah. Ia tersentak kaget, matanya membulat sempurna. Detik berikutnya, ia memeluk erat leher Jayden, suaranya tertahan di tenggorokan.
“Uncle ...! Apa yang kamu ingin lakukan?!” teriak Zakiyah, suaranya bergetar di antara ketakutan dan kemarahan. Detak jantungnya berpacu liar di dadanya, menggelegar seperti genderang perang. Pikirannya kalut, berputar-putar tak menentu, menciptakan skenario terburuk yang mungkin terjadi. Ia benar-benar dilanda kebingungan, tak mampu memahami tindakan Jayden yang tiba-tiba dan tak terduga ini.
“Diam! Kamu tidak ingin membuat semua tamu hotel menoleh ke arah kita, bukan?” Suara Jayden terdengar dingin, tetapi di balik nada tegasnya, Zakiyah merasakan sedikit getaran kecemasan.
Dengan langkah pasti, Jayden terus melangkah menuju kamarnya, tanpa menghiraukan protes Zakiyah yang masih terdengar samar-samar.
Sesampainya di kamar dengan hati-hati, Jayden menurunkan Zakiyah hingga kakinya menyentuh lantai berkarpet yang lembut.
“Kamu benar-benar tidak bersekongkol dengan Siera, bukan?” tanya Jayden, suaranya lantang, menggelegar di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan mencekam. Nada bicaranya tegas, namun tersirat sedikit keraguan yang tak dapat disamarkan.
Zakiyah mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Ya, aku sudah mengatakannya berulang kali. Kenapa Uncle masih saja menanyakannya? Aku lelah menjelaskan hal yang sama berulang-ulang,” ujarnya.
Jayden menarik napas dalam-dalam, tatapannya masih terpaku pada Zakiyah. Suasana tegang menyelimuti ruangan, udara seakan membeku. “Pernikahan ku dan Siera semakin dekat, tapi dia malah kabur, ” ujarnya, suara rendah dan berat, menciptakan tekanan yang menyudutkan Zakiyah. “Dan kamu harus bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Kamu akan menggantikan posisi Siera sebagai pengantin ku.”
Menghentikan ucapannya sejenak, mengamati reaksi Zakiyah yang terlihat syok dan kebingungan. “Ini adalah perjanjian kita,” lanjutnya.
===
==
=
“Oh, astaga! Apakah aunty sudah gila?!” pekiknya, suara tertahan di tenggorokan. Secarik kertas di tangannya bagai kutukan, menghantui wajah pucatnya.
Usia dua puluh lima tahun, belum pernah ia merasakan ketakutan seintens ini. Kalimat-kalimat di kertas itu, seperti ular berbisa, menguntit jantungnya yang berdebar-debar. Tujuan surat itu? Bayangannya saja sudah cukup mengerikan.
“Bagaimana ini?” desahnya, suara nyaris tak terdengar.
Bayangan kemarahan Jayden Morgan Takizaki, pria yang terkenal akan sifatnya yang keras dan tak kenal ampun, menghantui pikirannya. Bagaimana jika pria itu mengetahui semua isi kertas yang tertulis oleh Siera Rosewood?
Tubuhnya gemetar, namun ia memaksa diri untuk tenang. Dengan jari-jari gemetar, ia mencari ponselnya, mencari kontak Siera. Sebuah panggilan, seutas harapan, terpancar dari upayanya itu. Semoga saja Siera menerima panggilannya.
Ponsel berdering samar, menciptakan ketegangan yang mencekam. Zakiyah Emberlyn menunggu, degup jantungnya berpacu liar.
“Aunty, tolong angkat telepon aku!” lirihnya, suara penuh keputusasaan. Tetapi, hanya keheningan yang menjawab.
Suara dari ponsel terdengar berubah. Sepertinya, Siera sengaja mematikan ponselnya dan membuat harapan sirna, digantikan oleh kepanikan yang membuncah. Pernikahan Siera dan Jayden sudah dekat. Mau tak mau, ia harus memberitahu Jayden.
Bergegas Zakiyah pergi menuju kamar Jayden dengan langkah gontai, namun ia berusaha melangkah tegar.
Zakiyah menyisiri ruangan demi ruangan yang dilewati. Hotel mewah itu bagai istana yang terkutuk, menampung para tamu undangan yang berdatangan. Mereka semua, tidak menyadari badai yang akan segera melanda. Pernikahan Siera, model ternama yang banyak didambakan para pria, dengan CEO kaya raya bergelimang harta dan wajah yang begitu tampan rupawan meski sudah hampir kepala empat, terancam oleh rahasia mengerikan yang tersimpan dalam secarik kertas itu.
Zakiyah harus bertindak cepat; sebelum semuanya terlambat, sebelum Jayden menanggung malu akibat perbuatan aunty-nya. Langkah kakinya terhenti di depan pintu kamar Jayden. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak karuan. Ketakutan mencekam, menjerat hatinya. Dengan ragu-ragu, ia mengangkat tangan, mengetuk pintu dengan perlahan.
“Siapa?” Suara Jayden terdengar tegas, membuat tubuh Zakiyah menegang. Hanya suara itu saja sudah cukup membuatnya hampir pingsan ketakutan.
"Uncle, ini ... ini aku, Kiya,” ujarnya pelan, suara gemetar dan terbata-bata. Bibirnya terasa kaku, kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.
“Ada apa, Kiya?” tanya Jayden dengan nada yang begitu dingin.
Zakiyah terdiam sejenak, ia bisa membayangkan wajah Jayden yang mungkin akan marah besar. Gegas Zakiyah menggelengkan kepala, mengusir pikiran negatif yang melanda. Setelahnya, ia berusaha mengendalikan detak jantungnya yang bergemuruh di d**a.
“Boleh aku masuk, Uncle? Ada sesuatu yang harus Uncle ketahui,” katanya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
“Sepenting itukah? Sampai-sampai kamu datang kemari?” Jayden kembali bertanya.
“Iya, Uncle,” jawab Zakiyah.
“Masuklah.”
Zakiyah mengangguk, meski Jayden tak dapat melihatnya. Dengan tangan gemetar, ia meraih gagang pintu, gerakannya penuh keraguan. Ia berusaha sebisa mungkin agar sikapnya tidak terlalu mencolok, agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di koridor. Ia harus memberitahu Jayden, sebelum terlambat.
Dengan tangan gemetar, Zakiyah membuka pintu perlahan. Celah sempit terbentuk, menyingkap wajahnya yang pucat pasi. Ia masuk, lalu membanting pintu hingga menutup rapat.
Dentuman pintu memecah kesunyian, menarik perhatian Jayden yang tengah duduk tenang, menunggu acara pernikahan. Tatapannya tertuju pada Zakiyah, heran dan sedikit waspada. Ponakan calon istrinya ini, berbeda dari biasanya.
Tubuh Zakiyah bergetar hebat, ketakutan terpancar jelas. Jayden semakin penasaran, khawatir. “Ada apa, Kiya? Wajahmu pucat sekali,” tanyanya, langkahnya tegas mendekati Zakiyah.
Zakiyah menggigit bibir, takut mengatakan yang sebenarnya. Kakinya lemas, hampir tak mampu menopang tubuhnya. Ia bersandar pada pintu, wajah semakin pucat, napas tersengal. Ketakutan membelenggu seluruh tubuhnya.
Jayden memperhatikan Zakiyah seksama. Ia melihat ketakutan amat sangat di mata ponakan calon istrinya.
“Katakan, ada apa sebenarnya? Jangan membuatku semakin khawatir,” desak Jayden, suaranya lebih lembut, namun tetap berwibawa. Ia berhenti dekat Zakiyah, menunggu jawaban yang menentukan arah hidupnya. Keheningan mencekam, hanya detak jantung Zakiyah yang berdebar kencang.
Akan tetapi, Zakiyah tetap diam. Keengganannya untuk menatap Jayden membuat pria itu tak sabar. Ketakutan di wajah ponakan calon istrinya membuatnya frustasi. Ia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi.
“Aku tidak punya waktu untuk permainan ini, Kiya! Katakan apa yang ingin kamu katakan!” Suara Jayden meninggi, bentakannya membuat Zakiyah tersentak. Ia memejamkan mata, tubuh menegang, jari-jari menggenggam erat bajunya. Getaran hebat mengguncang tubuh mungilnya.
“Uncle ... tolong ... jangan marah dulu dan kendalikan emosi-mu,” lirih Zakiyah, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata menggenang, menambah kepucatan wajahnya. Ia merasa kecil dan tak berdaya di hadapan Jayden yang terkenal keras dan tegas.
Jayden terdiam, mencoba menenangkan amarahnya. Melihat ponakan calon istrinya ketakutan membuatnya sedikit bersalah. Meskipun begitu, rasa penasaran dan kekhawatirannya tetap membuncah.
“Baiklah,” kata Jayden, suaranya masih keras, namun tak setajam sebelumnya. “Ceritakan semuanya. Kenapa kamu datang kemari dalam keadaan seperti ini?” Ia mengerutkan dahi, menunggu penjelasan Zakiyah. “Tapi ingat, aku tidak berjanji akan tetap tenang jika menyangkut hal yang membuatku marah.”
Zakiyah menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan tangan gemetar, ia memberikan amplop surat dari tangan kiri yang disembunyikan. Amplop itu begitu rapih.
Dengan hati berdebar kencang, ia memberikan amplop itu kepada Jayden. Di dalamnya, terkandung rahasia yang mungkin mengubah segalanya. Semua beban dan ketakutannya, ia serahkan pada selembar kertas. Nasibnya, kini di tangan Jayden.
Jayden menerima amplop itu dengan raut wajah sulit diartikan. Kening berkerut, bibir terkatup rapat, matanya menatap amplop dengan tatapan sulit diuraikan. Kebingungan tergambar jelas. Ponakan calon istrinya datang tergesa, wajah pucat pasi, memberikan amplop surat. Apa maksud semua ini?
Dengan hati-hati, Jayden membuka amplop tersebut. Gerakannya lambat, penuh pertimbangan. Ia mengeluarkan surat itu. Surat itu tampak baru, tinta hitam pekat tercetak jelas di atas kertas putih bersih. Namun, Jayden tak langsung membacanya. Ia membolak-balik surat itu beberapa kali, mengamati lipatan kertas, ketebalan kertas, bahkan tekstur kertas. Seakan mencari petunjuk lain selain tulisan di dalamnya. Tatapannya berganti-ganti antara surat dan wajah Zakiyah yang semakin pucat.
Tatapan Jayden beralih ke Zakiyah. Wajah ponakan calon istrinya semakin pucat, bibir gemetar, mata berkaca-kaca. Ketakutan di wajah Zakiyah semakin membuat Jayden penasaran.
“Surat apa ini, Kiya?” tanya Jayden, suaranya berat, mencoba menahan emosi yang membuncah. Ia menatap Zakiyah tajam, menunggu jawaban. Namun, Zakiyah tetap terdiam, wajahnya semakin pucat, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan telah membungkamnya.
Jayden menghela napas. Ia membuka surat dan mulai membacanya. Satu persatu kata dibaca, mulanya tenang, namun ekspresi wajahnya berubah seiring kalimat yang dibaca. Alisnya bertaut, kening berkerut, bibir mengatup rapat. Dan detik berikutnya, matanya membulat sempurna, terbelak. Umpatan kasar lolos dari bibirnya.
“Sialan!”