Jayden mengepalkan tangan, urat-urat tangannya menonjol. Isi surat itu mengejutkan. Siera, calon istrinya, menarik diri dari pernikahan. Bukan hanya menarik diri, surat itu mengungkapkan alasan yang menyakitkan, ditulis manipulatif dan menyalahkan Jayden. Isi suratnya adalah:
[Jayden sayang,
Dengan berat hati, aku harus memberitahumu bahwa aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita. Setelah merenungkan semuanya, aku menyadari bahwa kita tidak cocok. Kamu terlalu posesif, terlalu mengontrol, dan jujur saja, aku merasa terkekang. Aku butuh kebebasan, dan kamu jelas tidak bisa memberikanku itu. Aku harap kamu bisa mengerti dan tidak menghalangiku untuk menemukan kebahagiaanku sendiri.
Siera. ]
Jayden melempar surat ke sembarang arah. Amarahnya memuncak. Ia merasa dikhianati, dipermainkan. Semua rencana pernikahan, persiapan, harapannya, hancur karena surat yang ditulis penuh kepalsuan itu. Ia menatap foto Siera di layar ponselnya, senyum palsu terukir di wajah wanita itu. Senyum yang kini menjijikkan di matanya. Ia berdiri, langkahnya berat, pikirannya kacau. Ia harus melakukan sesuatu.
“Kiya, kamu jangan bermain-main denganku!” bentak Jayden, tangan mengepal erat, buku-buku jari memutih. Tatapan tajam, menusuk, seperti elang siap menerkam. Bayangan gelap wajahnya yang biasanya ramah. “Kamu tahu, pernikahan aunty-mu dan aku akan segera berlangsung. Aku tidak punya waktu untuk permainan anak-anak seperti ini!”
'Bugh!'
Pukulan keras menggema. Jayden memukul tembok sekuat tenaga, tangan nyeri, kulit memerah, namun rasa sakit fisik tak sebanding dengan sakit hati. Amarah membutakannya. Ia merasa seperti singa terluka, terpojok, siap menyerang siapa pun yang menghalangi.
Zakiyah tersentak. Ia mundur, punggung membentur pintu kayu. Ingin melarikan diri, menghindari badai amarah Jayden. Namun, langkah berat, tubuh menegang, rasa takut mencekam. Ia tahu, tak bisa semudah itu pergi. Di luar, tamu undangan sudah mulai berdatangan, dan ia tak mungkin meninggalkan Jayden dalam kondisi ini.
“Kiya!” Suara Jayden menggelegar, menembus ketakutan Zakiyah. Ia mendekat, mengukung tubuh mungil Zakiyah kuat, mencegahnya melarikan diri. "Katakan pada ku, bahwa ini permainan kalian, bukan?" Suaranya dingin, keras, tanpa kelembutan. Ia ingin memaksa Zakiyah mengakui semuanya, mengungkapkan kebenaran di balik hilangnya calon istrinya.
Air mata Zakiyah mengalir deras, membasahi pipinya. Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan Jayden yang terasa seperti jerat maut. Ia tak bisa bernapas leluasa, d**a sesak, pikiran kalut. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa.
“Katakan, Kiya!” Suara Jayden meninggi, menusuk telinga Zakiyah hingga berdengung. Untungnya, kamar hotel kedap suara, sehingga teriakan Jayden tak terdengar oleh tamu di luar.
Zakiyah menggelengkan kepala, tangis semakin menjadi-jadi. Ia tak tahan dibentak. Ia merasa lemas, tak berdaya. Pikiran melayang, mencoba mengingat kejadian yang telah terjadi.
Namun, Jayden tak puas. Dengan gerakan cepat dan kasar, ia menarik pergelangan tangan Zakiyah, lalu memegang pipinya kuat, jari menekan kulit halus Zakiyah hingga sakit.
“Aku tanyakan sekali lagi, apakah kalian tengah membohongiku? Atau kamu hanya perantara karena aunty-mu melarikan diri begitu saja?” Suaranya seperti geraman binatang buas siap menerkam. Ia ingin jawaban memuaskan, jawaban yang bisa menjelaskan semuanya.
“Uncle, aku ... aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Aunty pergi begitu saja, aku hanya menemukan surat ini sebelum datang ke sini,” isak Zakiyah, tangis semakin kencang, suara terputus-putus karena isakan. Ia berusaha menjelaskan, mengatakan yang sebenarnya, namun kata-kata itu terasa tak cukup untuk meyakinkan Jayden.
Rahang Jayden mengeras. Jawaban Zakiyah tak memuaskan, namun ada sedikit keraguan di hatinya. Ia melepaskan cengkeraman di pipi Zakiyah, menyesali tindakan kasarnya. Keponakannya itu tampaknya tak sepenuhnya bersalah.
Jayden mundur, mencoba menenangkan diri. Ia harus berpikir jernih. Ia tak boleh bertindak gegabah. Ia harus mencari tahu kebenarannya. Ia menatap Zakiyah yang masih terduduk di sofa, tubuh gemetar hebat, air mata masih mengalir deras.
“Diam di sana!” sentak Jayden, suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap tegas. “Jangan beranjak dari sofa itu sebelum aku menyuruhmu pergi dari hadapanku, Kiya!” Ia perlu waktu untuk menenangkan diri dan merencanakan langkah selanjutnya. Pernikahannya, masa depannya, tergantung pada jawaban yang belum ia temukan.
Zakiyah tetap terduduk di sofa panjang, tubuh menegang. Air mata masih mengalir deras, membasahi kain sofa krem. Pandangan kosong, seperti menatap kehampaan, jauh melampaui dinding kamar hotel mewah. Masa depan yang tadinya cerah, kini gelap gulita, tak menentu. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Sejak menemukan surat itu, terpatri di hatinya firasat buruk yang kini menjadi kenyataan pahit. Badai telah datang, menerjang dahsyat, mengancam menghancurkan segalanya.
Sedangkan, Jayden, kini mengacak-acak rambutnya, frustasi. Gerakan kasar, mencerminkan kekacauan batin. Ia mondar-mandir di depan Maureen, langkah tak menentu, seperti singa terkurung dalam sangkar amarah. Kemudian, berhenti tepat di depan Zakiyah, menatap tajam dengan tatapan yang menusuk. Keheningan mencekam ruangan, hanya suara isakan Zakiyah yang memecah kesunyian.
“Sialan kamu, Siera! Benar-benar wanita jalang yang mempermainkan aku!” gumam Jayden, suara berat, dipenuhi amarah dan kekecewaan mendalam. Kata-kata itu keluar seperti bisikan, namun penuh kekuatan yang mampu mengguncang ruangan. “b******k! Wanita itu ...setelah semua yang sudah kulakukan untuknya! Dan mengiyakan keinginannya untuk menikah di hotel ternama. Dia malah seenaknya kabur begitu saja?”
Amarahnya memuncak, namun ia berusaha mengendalikan diri. Ia melirik tajam ke arah Zakiyah, tatapan menginterogasi, mencari secercah informasi, sebuah petunjuk.
“Sebelum kamu menemukan surat itu ... apakah kamu tahu keberadaan auntymu? Apakah dia memberi tahumu sesuatu lebih dulu?”
Zakiyah menggelengkan kepala, air matanya semakin deras. Ia tak mampu berkata apa pun, tak mampu menjelaskan apa pun. Ketakutan dan kesedihan memenuhi hatinya. Ia hanya bisa berharap, semua ini akan segera berakhir.
“Kamu jangan berbohong!” bentak Jayden, suaranya menggelegar, menimbulkan getaran di udara.
“Aku benar-benar menjawab jujur,” kata Zakiyah cepat, suaranya gemetar, mencoba meyakinkan Jayden, namun kata-katanya terdengar lemah, tak berdaya di hadapan badai amarah yang menerjang. Ia tahu, penjelasannya mungkin tak cukup untuk meredakan kemarahan Jayden.
Jayden mengumpat, suara seraknya terdengar frustasi, dipenuhi amarah dan kekecewaan mendalam. Ia mengusap wajahnya kasar, jari menekan kulit hingga terasa sakit, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan sakit hati yang tengah ia rasakan. “Sialan! Dia benar-benar ingin mempermalukanku, hah?! Wanita sialan itu benar-benar tak tahu diuntung! Aku harus menemukannya segera dan memberikan pelajaran berharga. Pasti, dia tak akan jauh dari sini!”
Zakiyah tak berkutik. Ia hanya mendengarkan umpatan demi umpatan yang terlontar dari bibir Jayden, kata-kata penuh amarah yang ditujukan kepada Siera. Dalam hati, ia merasa iba kepada Jayden, namun ia juga tak mampu berbuat apa-apa. Mungkin, semua kalimat yang dilontarkan Jayden memang pantas dikatakan. Siera telah melakukan kesalahan sangat besar.
Setelah beberapa saat terdiam, Jayden mengambil ponselnya, tangannya gemetar karena amarah dan kecemasan yang bercampur aduk. Ia menekan tombol panggilan, menghubungi seseorang yang ia percaya dapat membantunya.
“Cepat cari keberadaan Siera sekarang juga! Kerahkan semua anak buahmu untuk mencarinya sebelum pernikahanku dimulai!”