“Temukan Siera secepatnya atau kalian aku pecat semua! Seret dia hidup-hidup ke hadapanku!” perintah Jayden, suaranya tegas, tak terbantahkan. Kata-katanya dipenuhi tekad bulat, menunjukkan betapa besar amarahnya dan betapa pentingnya menemukan Siera baginya. Kehilangan calon istrinya telah membuatnya kalut, dan ia akan melakukan apa pun untuk menemukannya.
“Uncle begitu sangat kejam!” ujar Zakiyah didalam hatinya. Pria itu benar-benar seperti tak pernah main-main dengan kalimatnya. “Jika aunty ditemukan, bagaimana nasibnya?”
Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Jayden langsung memutuskan sambungan telepon. Ia mengusap wajahnya kasar, frustasi dan amarah masih bercampur aduk di dalam dirinya. Gerakannya tampak gelisah, mencerminkan kekacauan batin yang tengah ia alami. Setelah itu, ia meletakkan ponselnya kembali di atas nakas, suara detak jam dinding terdengar nyaring di ruangan yang tiba-tiba terasa sunyi dan mencekam.
Pergerakan sekecil apa pun tak luput dari perhatian Zakiyah yang waspada. Tangisnya memang telah mereda, namun rasa takut masih mencengkeram hatinya. Tatapan Jayden yang dipenuhi permusuhan, aura yang begitu dingin dan mengancam, membuatnya semakin ketakutan. Ia merasa terpojok, terancam, dan tak berdaya di hadapan pria yang tengah diliputi amarah itu.
“Hapus air matamu. Aku benci melihat seseorang menangis seperti itu di hadapanku, seolah-olah aku ini penjahat kelas kakap!” sentak Jayden, suaranya tajam, menciptakan getaran yang membuat tubuh Zakiyah menegang. Kata-kata itu, meski terdengar kasar, menunjukkan betapa frustasinya Jayden. Ia merasa dirinya telah difitnah dan dipermalukan, dan kemarahannya kini tertuju pada siapa pun yang berada di dekatnya.
Jayden melangkah mendekati Zakiyah, langkahnya pasti dan tegas. Gadis itu buru-buru menghapus jejak air matanya dengan kasar, jari-jarinya mengusap pipinya hingga memerah. Meski begitu, sesenggukan masih terdengar samar dari bibirnya, menunjukkan betapa takutnya ia pada Jayden.
Jayden mendengus, suaranya terdengar seperti geraman. Entah karena perbuatannya yang memang menyebalkan atau karena ia sendiri tengah diliputi emosi yang tak terkendali, wanita di hadapannya tampak sangat ketakutan. Dengan gerakan yang tak terduga, Jayden mengambil segelas air minum dari meja dan menyodorkannya kepada Zakiyah.
“Minumlah,” ujar Jayden pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, ekspresi wajahnya seolah meminta Zakiyah untuk segera mengambil gelas itu. Ada sedikit perubahan dalam sikapnya, seakan ia mencoba untuk sedikit meredakan amarahnya.
Awalnya, Zakiyah ragu-ragu. Ia masih ketakutan dan belum sepenuhnya percaya pada perubahan sikap Jayden yang tiba-tiba. Namun, ia akhirnya mengambil gelas itu dengan cepat, takut membuat Jayden kembali marah. Ia meneguk air itu dengan cepat, mencoba menenangkan diri dan berharap situasi ini segera berakhir.
Jayden menggelengkan kepala, gerakannya menunjukkan rasa frustasi yang mendalam. Ia mendengus sebal, suara desis keluar dari antara giginya. Setelah itu, ia duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Zakiyah, jarak di antara mereka begitu dekat sehingga gadis dengan bulu kata lentik itu bisa merasakan hawa dingin yang terpancar dari tubuh Jayden. Suasana tegang masih menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka berdua yang terdengar.
Jayden menatap Zakiyah dengan tajam, tatapannya menusuk, mencari sesuatu, mungkin sebuah jawaban atau penjelasan. Setelah beberapa saat terdiam, ia membuka mulutnya, suaranya terdengar datar, tanpa emosi, namun tetap tegas dan penuh otoritas.
“Kamu harus tetap di sini, sampai asistenku dan beberapa anak buahnya menemukan aunty-mu!” perintah Jayden terdengar seperti ultimatum, tak ada ruang untuk penolakan.
Zakiyah harus tetap tinggal di sana sampai Siera ditemukan. Ia tak akan membiarkan Zakiyah pergi sebelum semuanya selesai. Ia masih curiga pada Zakiyah, meski ia juga tahu bahwa Zakiyah mungkin tak bersalah dalam semua ini. Namun, ia tak punya pilihan lain selain menahan Zakiyah sampai ia menemukan kebenarannya.
“Simpelnya, kamu adalah jaminan saya sekarang! Jika nanti aunty-mu berhasil kembali ke sini, aku akan membiarkan kamu pergi!” lanjut Jayden.
Zakiyah menggenggam tangannya erat-erat, kuku-kukunya sedikit menancap ke telapak tangannya, menunjukkan betapa cemasnya ia. Pikirannya melayang, membayangkan skenario terburuk. Jika ia harus tinggal lebih lama di sini, apa yang akan terjadi? Apakah Jayden akan terus menuduhnya? Bagaimana jika aunty-nya, Siera, tidak dapat ditemukan?
Perlahan, rasa takut itu berubah menjadi keberanian kecil. Ia harus bertanya, ia harus menjelaskan posisinya.
Dengan suara yang sedikit gemetar, namun tetap terdengar jelas, Zakiyah memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa aku harus di sini dan menjadi jaminan, Uncle? Padahal aku hanya memberitahukan surat itu kepada Uncle saja. Aku tidak terlibat dalam rencana aunty Siera. Bahkan, aku juga nggak pernah tahu dengan semua ini. Sekarang kenapa aku yang malah menjadi jaminannya?”
Ia menatap Jayden dengan mata berkaca-kaca, mencoba meyakinkan Jayden bahwa ia tidak bersalah. Ia berharap Jayden bisa mempercayainya, bahwa ia hanya korban situasi ini juga. Ia hanya ingin semuanya cepat selesai dan ia bisa pulang ke rumah.
“Singkat saja, karena aku tidak dapat mempercayaimu! Apalagi kamu adalah keponakan Siera. Kemungkinannya besar, kalian sedang memainkan drama untuk mempermalukan ku, bukan?! Oh, astaga, aku lupa kalau Siera adalah ratu drama. Dan kemungkinan kmu juga memiliki darah yang sama,” tegas Jayden, suaranya dingin dan menusuk, menunjukkan betapa kuatnya kecurigaannya terhadap Zakiyah.
“Aku tidak seburuk yang kamu pikirkan, Uncle!” sanggah Zakiyah, suaranya bergetar, menunjukkan betapa tersinggungnya ia dengan tuduhan Jayden. Ia merasa tak terima diperlakukan seperti ini, ia hanya ingin menjelaskan posisinya. “Aku benar-benar hanya ingin memberitahumu tentang surat itu. Jika aku berniat buruk dan memiliki pikiran picik, mungkin aku akan membiarkan surat itu tanpa memberitahumu. Dan ketika acara pernikahan dimulai, kamu benar-benar akan malu dan merasa terpojok karena si mempelai wanita tak datang.” Ia mencoba menjelaskan dengan tenang, mencoba meyakinkan Jayden bahwa ia tidak bersalah.
“Oh!” Suara Jayden berubah menjadi lebih tajam dan dingin, nada bicaranya sarat dengan ancaman terselubung. Ia melirik ke arah Zakiyah dengan tatapan yang sama tajamnya seperti tatapan saat ia marah sebelumnya. Tatapan itu begitu intens sehingga membuat nyali Zakiyah yang semula cukup besar langsung menciut seketika. Ia merasa terpojok dan ketakutan. “Jadi, kamu memang memikirkan hal licik itu? Apakah kecurigaanku benar, bahwa kamu juga terlibat dalam rencana jahat Siera?! Secara kamu benar-benar mengatakannya secara lugas!” pertanyaan Jayden terdengar seperti tuduhan.
Zakiyah langsung menggelengkan kepala dengan kuat, mencoba meyakinkan Jayden bahwa ia tidak bersalah. “Sumpah, Uncle! Aku benar-benar hanya ingin memberitahumu. Tidak lebih dan tidak kurang. Kenapa kamu nggak mempercayai ucapan aku yang penuh kejujuran ini, tanpa dibuat-buat pula?”
“Ya sudah, kalau kamu merasa begitu. Kamu harus tetap di sini untuk membuktikan ucapanmu! Dan turuti perintahku atau ….” Jayden membiarkan kalimatnya menggantung, menciptakan rasa takut dan ketidakpastian di hati Zakiyah.